Tuesday, October 23, 2007

SIAPA YANG PANTAS !!!
(Menyoal PILKADA & Delapan Tahun Propinsi Maluku Utara)

Oleh: Asmar Hi. Daud
Dosen Unkhair Ternate
Sekretaris DPD-HNSI Propinsi Maluku Utara

“Apa yang akan kalian lakukan jika suatu ketika kalian melihat aku menyimpang dari kepemimpinan ini”

Kurang-lebih demikian sebait kata-kata bijak yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah seorang pemimpin besar yang pernah dikenal oleh umat manusia. Kata-kata di atas, lahir dari seorang pemimpin di depan para pendukung setianya, ketika ia dilantik-dibait (diberi amanat) menjadi pememimpin umatnya. Dialah Umar bin Khattab, singa padang pasir, yang dikenal bertampremen tinggi, berwatak keras, tegas, tetapi sangat bijaksana, sehingga ia begitu dihormati, disegani oleh umatnya, para sahabat, maupun lawan-lawannya.

Kata-kata yang keluar dari mulut seorang Umar r.a, tentu bukanlah ucapan basa-basi belaka, tetapi kata-kata tersebut menunjukan sosok seorang pemimpin umat yang selalu siap untuk dikritik. “Jika sedikit saja kami melihat engkau menyimpang dari kepemimpinananmu, niscaya pedang kami inilah yang akan meluruskannya!”. Subuhanallah. Sungguh Luar biasa !,. Prosesi pembaitan (pelantikan) sang pemimpin diwarnai dengan sebuah dialog yang membangkitkan bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya. Pertanyaan seorang pemimpin besar yang disegani, ternyata disahuti secara spontan oleh para pendukung fanatisnya, dengan pedang sebagai jaminan-taruhan atas koreksi kesalahan mana kala sang pemimpin tersebut menyimpan dari kepemimpinannya.

Sebuah dialog monumental yang hanya akan lahir dari sebuah kepemimpinan yang bersih, berwibawah, amanah dan selalu ditopang oleh para pendukung yang cerdas, kritis, tegas dan berani terhadap nilai-nilai kebenaran dan perjuangan politik kearah moral yang lebih beradab. Sebuah sesi sejarah, di mana sang pemimpin dan rakyat (umat) yang dipimpinnya begitu terbuka untuk saling mengingatkan, yang jarang, bahkan mungkin tidak terulang pada suatu komunitas, wilayah, daerah, negara yang dikenal sangat demokratis sekali pun.
Dalam sejarah kepemimipinan mereka, pun tidak pernah kita dengar ada istilah tiem sukses. Kendati dibelakang mereka, dalam sebuah suksesi ada sederetan nama-nama besar yang sama-sama memiliki pengaruh dan keutamaannya masing-masing. Mengapa itu tidak terjadi? Karena umat tahu siapa mereka, dan umat juga sadar akan nilai dan semangat perjuangannya. Fanatisme mereka juga bukan karena sang figure (ketokohannya), melainkan pada semangat bagaimana membangun umat dan peradabannya. Sehingga ketika siapa yang diangkat menjadi pemimpin, umat kemudian tunduk dan patuh kepada perintahnya. Bukan takut karena kekuasaan !. Atau karena kemudian mereka takut tidak mendapatkan tetesan kekayaan dari sang penguasa, sebab dalam torehan sejarah, di belakang mereka selalu saja ada pemiskinan materi. Meski ada di antara mereka yang kaya, namun kekayaan itupun digunakan hanya semata-mata untuk membangun kepentingan umat dan masa depan peradabannya.
Agama, kemudian menjadi satu-satunya sandaran spritual dan patokan realitas - simbol etis - moral dalam sebuah kepemimpinan . Hidup sederhana, bersikap jujur, berlaku adil, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, menghargai dan membelah kebenaran, bertaqwa, dan perjuangan menegakannya adalah tujuan mereka. Tanpa perjuangan kearah itu, mustahil ada kemajuan peradaban yang begitu termahsur terbangun pada saat itu. Meski dalam sejarah kepemimpinan itu, ada dari mereka yang harus berakhir (mati) di ujung pedang umatnya sendiri. (baca: Khalifah).

“Sedikit saja engkau menyimpang, niscaya pedang kami inilah yang akan meluruskannya”. Sebuah ucapan, kata-kata yang lahir dari suatu komunitas (umat) yang begitu mencintai sang pemimpinnya. Sebuah teguran keras yang nyaris tak terdengar lagi, bahkan mungkin telah terkubur oleh zaman di mana demokrasi begitu tinggi terpasung di atas mimbar kekuasaan. Lantas, apakah generasi islam kita telah tiada ?. Pertanyaan ini kemudian muncul! Jawabannya tentu tidak ! Karena kita ada, bahkan dominan di negeri ini. Tidak kurang dari fenomena itu, kita pun secara kolektif terdidik dan dibesarkan oleh institusi-institusi yang berbasis islam. Lalu di mana semangat kecerdasan dan perjuangan spritualiltas politik itu kita tegakkan ?. Terlampau murah kita gadaikan idealisme, dan memasung harapan umat di atas optimisme tragis. Fanatisme kita juga bukan semata-semata pada sang figure yang komit pada persoalan-persoalan kerakyatan, atau upaya menegkkan keadilan serta kebersamaan dan kemaslahatan umat, pada sisi yang lain, justru semangat perjuangan kita hanya karena pertimbangan seberapa besar sang figure memberikan nilai materi kepada kita. Kita tenggelam dalam budaya apolonia, mengejar-ngejar kesenangan yang menyedihkan, dan mendewakan kegersangan intelektual kita di atas perhitungan untung - rugi.

Sedemikian usang dunia politik-demokrasi itu yang kita terjemahkan dengan jalan pikiran kita yang naif. Kita tegakkan demokrasi di atas fondasi politik yang keropos. Entah atas nama apa dan siapa kita berjuang, dan untuk kepentingan apa dan siapa kita perjuangkan ? Sehingga oleh masyarakat menjadi benar bahwa politik- demokrasi hanya dipahami sebagai instrumen utama terjadinya berbagai ketegangan dan konflik yang hanya akan melahirkan pertumpahan darah, dan tidak lebih dipahami sebagai wahana simbolis bagi penguasa untuk tetap bertahan, atau bahkan untuk merebut kekuasaan itu sendiri.

Tujuan perjuangan politik-demokrasi yang diperjuangkan tidak lagi pada prinsip atau dasar-dasar etis-moral, kejujuran, (atau apapun namanya yang dekat dengan itu). Tetapi tujuan kegiatan politik hanya untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan. Seolah Kehidupan ini hanya dicermati dan disikapi sebagai sebuah pertarungan terus menerus, dan realitasnya, di hadapan kita direpresentasikan sebagai wacana kalah-menang yang peraksis ditundukkan atau menundukkan. Dan untuk mencapai dua tujuan ini, hampir semua cara kita dihalalkan!

Di antara kejahatan moral yang sering kali kita lakukan adalah memfitnah (menyebar issu), bahkan tak jarang kita akali (menipu). Saingan/lawan atau apa pun namanya, tidak sekedar kita kalahkan – kita tunduhkan, lebih dari itu adalah musuh yang harus kita singkirkan. Sebuah keharusan untuk mencapai kemenangan bagi para politikus. Kita jatuhkan kehormatan lawan atau siapa saja yang kita anggap sebagai musuh dengan memberikan gelar dan sebutan yang buruk. Dan untuk bisa mencapai kekuasaan, setiap orang yang berambisi kearah itu (kekuasaan) harus belajar untuk menipu. Bila kita bisa menang dengan menipu untuk apa kita harus berbuat adil dan berkata jujur? Jikalau keadilan dan kejujuran hanya untuk membuat kita kalah. Hukum politik modern ala Machiavelli dan tradisi Goebbels pun dilanjutkan serta dipakai sebagai pembenaran berpolitik. Realitasnya, kemudian melahirkan Falsafah kalah – menang (win/lose) tidak lagi diterima dengan besar hati. Karena memang tidak ada persaingan yang sehat yang dapat melahirkan prestasi keadilan politik, atau sebaliknya, kejujuran tidak akan pernah melahirkan kemenangan politik.

Dalam konteks Maluku Utara, kita sebenarnya sudah berada di penghujung jalan. Pendakiannya memang belum sampai ke puncak, tetapi gendang perang soal PILKADAL dan siapa yang konon katanya lebih pantas menjadi orang nomor satu di negeri para raja ini terus saja bernyanyi. Rakyat kebanyakan (masyarakat awam) kian menjadi bingung menyaksikan fenomena politik yang terjadi saat ini. Sifat rakus, ambisius, haus akan kekuasaan, dan tidak mau kalah, diperparah dengan instrumen politik yang tidak tegas, tidak adil dan cenderung tidak independen, serta fanatisme buta sebagian pendukung yang tidak cerdas, telah membuat agenda politik demokrasi di daerah ini menjadi tidak khusyuh menjalankan ritual politiknya. Dan sadar atau pun tidak, ritual politik yang bernama demokrasi itu telah memakan banyak korban di negeri ini.

Siapa yang salah jika sudah terjadi gesekan ?. Pluralisme kemudian menjadi ancaman dan kambing hitam dalam sebuah wacana demokrasi yang tidak cerdas kita bangun. Kita bahkan tidak pernah memberikan pembelajaran politik dan pendewasaan berdemokrasi yang lebih etis dan bermoral kepada masyarakat. Dalam kondisi Maluku Utara yang sedemikian plural, kita justru menampilkan perbedaan itu sebagai ancaman. Dengan kefasihan bicara, kita tanamkan fanatisme buta (suku, agama dan ras ) seolah menjadi sesuatu yang luar biasa bedanya di negeri ini.

Ada klaim kebenaran yang menyesatkan yang acap kali terdengar di lorong-lorong pembelajaran demokrasi. Kata-kata seperti kita lebih pantas, kita lebih unggul, kita lebih terhormat, kita lebih cerdas, dan kita yang paling hebat adalah bahasa kepongahan dan idiologi sesat yang sengaja kita hembuskan untuk meracuni akal/pikiran masyarakat yang kita anggap masih bodoh pemahamannya tentang demokrasi. Ahirnya, masyarakat Maluku utara yang sedemikian plural itu secara mendasar masing-masing telah mempertahankan eksistensi golongannya, sukunya dan atau kelompoknya.

Seolah kita memberi pesan kepada masyarakat bahwa PILKADAL Gubernur Maluku Utara sesungguhnya adalah pertarungan/perang antar golongan, suku atau kelompok itu, yang akibatnya apabila salah satu kandidat (calon gubernur) Maluku Utara kalah dalam PILKADAL nanti maka secara alamiah kandidat yang lain dari suku atau kelompok yang lain akan tereleminasi atau terasing di negeri ini.

Apakah benar, seseorang atau orang-orang yang kemudian baik secara moral, cerdas secara intelektual, dan secara kompetitif profesional mampu bekerja dan bertanggung secara moral (amanah) kepada masyarakat, pemimpin dan kepada TuhanNya, tereleminasi/terasing atau tidak dipakai hanya karena persoalan GUBERNURnya dari suku TUGUTIL ?. Atau sebaliknya, masyarakat TUGUTIL terabaikan hak-haknya, hanya karena gara-gara Gubernurnya dari suku MORO. Sungguh, sebuah ketakutan yang tidak beralasan bagi hati yang gelisa, pikiran yang kacau, yang takut akan kehilangan jabatan dan kekuasaan yang selama ini mereka nikmat, enak dan sudah terbiasa tidur di atas ranjang empuk, beralaskan bantal yang berisi RUPIAH.

Lantas suku apa, golongan siapa, dan dari kelompok mana, yang lebih layak dikatakan bodoh yang tidak bisa memimpin umat dan negeri ini?. Kita tak bedanya seperti Hitler yang berhasil menyihir jutaan akal manusia untuk menjadikan kepongan sebagai idiologi, dan berhasil menciptakan robot-robot bag bulduzer yang siap mati hanya untuk membelah Ras Aria. Rakyat terpengaruh oleh penampilan kita, meski sering dibohongi. Agar membuat mereka tetap percaya, kita pilih bahasa yang paling santun. Kebohongan itupun diulang-ulang, sampai ia dipercaya oleh masyarakat sebagai kebenaran, tertanam, bahkan menjadi idiologi masyarakat. Jurus politik modern ala Hitler inilah yang dipakai dalam rangka meraih tujuan kekuasaan itu. Namun, bagi mereka yang masih waras, orang-orang normal yang tidak termakan sihir para punggawa Rahwana, tentunya akan bertanya, dan memberikan pertimbangan yang lebih arif dan nyata, bahwa untuk apa memilih golongan kami, suku kita, atau kelompok mereka, kalau wajah kehidupan seluruh kompenen masyarakat dan negeri ini masih saja tetap tidak berubah.

Agama pun tak kalah di politisir. Kita mengambil (Qur’an Surat Al Maidah: 51) sebagai patokan realitas. Padahal, tidak sedikit pemimpin dari kalangan kita sendiri (umat islam) yang berbuat zalim terhadap umatnya. . Ini berarti, orang yang beragama bukan jaminan niscaya akan elok moralnya. Juga berarti iman bukan sayarat mutlak psikologis buat moral. Sebab iman juga akan hancur jika bangunannya tanpa keihlasan. Kata Tuhan ”DIA tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. Lalu bagimana dalam konteks politik demokrasi ini ada figur seorang pemimpin dari agama lain tetapi dia berbuat adil dan tidak menzalimi kita ?. Apakah sama, seorang pemimpin (imam) di masjid, dengan atas nama demokrasi seorang Nasrani atau Yahudi menjadi pemimpin di sebuah negeri yang sangat plural?. Kita lupa membaca dan menafsirkan Qur’an Surat al-Maidah ayat 2, al-Hujaraat (13), as-Syuura (38), atau Qur’an Surat al-Imran (145) secara bijak.

Kita paksakan sebuah versi keberagaman dan mengeleminasi keragaman. Keberkahan yang sebenarnya milik semua orang, lintas keragaman dan keberagamaan ternyata di justifikasi milik satu kelompok atau golongan saja. Seolah kelompok kita yang paling benar, paling suci dan paling hebat. Dengan itu pula kita memonopoli jalan menuju Tuhan. Atas dasar itu pula, agama kemudian menjadi corrupted religion yang carakternya selain klaim kebenaran yang absolute, kepanutan yang membuta, dan deklerasi “perang suci” juga cenderung menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Watak terakhir ini mengantar penganutnya pada aneka tindakan yang sering merugikan pihak lain. Dalam sebuah wacana pertarungan politik seperti saat ini, hanya karena mungkin kita takut kalah, perbedaan sering kali kita jadikan alasan untuk membunuh karakter seseorang.

Dimikianlah, kita menyaksikan fenomena politik yang dilakoni oleh beberapa kandidat yang berambisi menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dan coba perhatikan perilaku politik sekolompok orang-orang cerdas yang mengusung dan berjuang di belakang mereka. Hanya karena keinginan untuk menjadi pemimpin, dan lagi-lagi untuk mencapai kepentingan kelompok mereka, sudah berapa banyak nilai materi yang mereka korbankan untuk mencapai tujuan itu?. Lantas Ikhlaskah mereka membangun negeri ini ?. Dan jika kemudian mereka menang, apakah tahta kekuasaan itu akan dipersembahkan hanya untuk rakyat ?. Dua pertanyaan yang hampir pasti sulit untuk dijawab. Apalagi secara tegas kita nyatakan, iya !. Berulang kali kita mengharapkan agar kekuasaan jangan hanya sekedar sebagai tujuan, apalagi hanya untuk memenuhi kepentingan segilintir orang yang katanya telah berjuang dan berkorban di belakang mereka. Tahta itu mestinya milik rakyat, dan dipersembahkan semata-mata untuk rakyat. Kekuasaan itupun, idealnya adalah untuk melayani kepentingan rakyat dan memperbaiki kehidupannya!. Bukan kebalikannya!!!

Siapa pun yang masih punya nurani dan peduli terhadap negeri ini pasti akan sedih menyaksikan harapan-harapan rakyat yang hanya terpasung di atas kenikmatan segelintir orang. Kemajuan dan kesejahteraan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat - rakyat kebanyakan, lintas pluralis, selama kurun waktu delapan tahun terahir sejak negeri ini bernama Propinsi Maluku Utara, ternyata hanya dimiliki dan dinikmati oleh sekolompok kecil manusia yang secara politik dan sangat nepotis berada dilevel kekuasaan saja. Dan karena sifat egois dan nafsu serakah kuasa mereka yang besar melebihi keinginan sederhana yang dipunyai oleh masyarakatnya, kemudian melahirkan perilaku dan karakter masyarakat yang peminta, dan cenderung mengemis kepada penguasanya.
Negeri Maluku Utara dibuat semakin tidak berwibawah di mata tetangga negeri yang lain. Tercabik-cabik harga dirinya, dan dilecehkan sebagai negeri yang rentan dengan konflik, nepotis, kolusi dan korupsi. Kekayaan sumberdaya alamnya terisolir, tidak mampu dikelola dengan baik, dan lebih banyak dikuras habis oleh orang lain seiring dengan ketidak mampuan metabolisme masyarakat dan ketidak berdayaannya. Anehnya, orang-orang cerdas, kaum intelektual yang secara moral diharapkan mampu merubah keadaan tersebut, justru terkesan tidak memiliki energi dan cenderung sengaja membiarkan keadaan negeri ini bertambah parah.
Lalu dimana semangat perjuangan kita delapan tahun yang lalu, yang tanpa membedakan, tanpa melihat siapa orang Halmahera, siapa orang Sanana, siapa orang Tidore, siapa orang Makean, siapa orang Bacan, siapa orang Ternate, Suku Tugutil atau Orang Moro ketika kita berteriak, berjuang menuntut negeri ini dimekarkan menjadi Propinsi? Apakah semangat perjuangan kita saat itu hanya sekedar merasakan kerongkongan yang kering, keringat yang bercucuran, pinggul yang letih, ataukah hanya sekedar merasakan tulang kering kita yang sakit ?. Hanya sebatas itukah imbalan perjuangan yang kita dapatkan ?. Dan kemudian kita berhenti berteriak berjuang ketika menyaksikan segilintir kelompok manusia berhati kakus menari menikmati sakitnya penderitaan rakyat di negeri ini. Dimana mereka ketika itu, yang sementara ini lagi asyik merasakan dan menikmati manisnya kesenangan dari keberkahan perjuangan kita delapan tahun yang lalu, saat kerongkongan kering kita sakit berteriak PEMEKARAN..!!! Kita ditertawakan. Bahkan dicibir. Seolah-seolah kita adalah sekolompok orang gila yang hanya menghayal, ketika mereka menyaksikan lelah, letih dan sakitnya perjuangan pemekaran daerah ini menjadi PROPINSI.

Negeri ini hancur,,,dan benar-benar dibuat tidak menarik untuk diberkahi..dengan ketidak berdayaan masyarakatnya. Padahal ia dibangun di atas fondasi KALIMATULLAH. Ingat,,,!!! Ia hancur dan tidak berdaya bukan lantaran terlalu banyaknya orang-orang jahat di negeri ini. Bukan pula karena banyaknya para koruptor yang bergentayangan melebarkan sayap rakusnya. Atau karena penguasa yang zalim yang berbuat semena-mena terhadap masyarakat dan negeri ini. Akan tetapi kehancuran negeri ini lantaran terlalu banyak orang-orang cerdas yang menggadaikan harga diri dan idealismenya kepada penguasa hanya untuk kesenangan dan kenikmatan sesaat. Dan terlalu sedikit kelompok intelektual yang cerdas secara moral yang takut bicara dan relah sahid (mati) untuk menyuarakan kebenaran.
Pada momentum PILKADAL Gubernur Maluku Utara saat ini, bukan persoalan siapa yang pantas atau tidak layak memimpin negeri ini. Siapa pun bisa, dan berhak menyandang predikat orang nomor satu. Tidak peduli dari mana asalnya, tidak pandang dari mana latar belakang atau gololongannya. Yang terpenting adalah keihlasannya, punya itikad baik, amanah, dan punya komitmen yang kuat untuk menjalankan VISI dan MISI kerakyatannya. Serta di depan dan di belakang kepemimpinannya itu selalu ditopang dan dikawal oleh generasi-generasi ideal yang cerdas, bermoral, tegas, terbuka dan slalu siap untuk mengeritik dan meluruskan bila ada perilaku pemimpinnya yang menyimpang. Jangan bertingka dan berprilaku seperti generasi bedong – generasi becek yang rela menyeburkan diri dan menggadaikan idealismenya pada penguasa hanya pada hal-hal yang serba instan (kepentingan sesaat).

Kita tentunya sangat merindukan fajar yang baru menyingsing di negeri ini. Perubahan dan perbaikan tidak lain adalah dua kata kunci untuk mendapatkan sang Fajar itu. persoalan sekarang adalah, dari mana kita harus memulainya? Kalau bukan dari jajaran elite penguasa !!!. Jika hal ini kita lakoni dan benar-benar kita lakukan, saya yakin, masyarakat dan negeri ini akan jauh lebih baik dan lebih terhormat. Tapi jika tidak, maka siapa pun yang akan terpilih/menang dalam PILKADAL Gubernur Maluku Utara nanti, pasti akan tetap menjadi Rahwana baru. Dan masyarakat Maluku Utara akan tetap hidup di negeri kayangan, yang seribu satu macam keindahan, kesenangan, kedamaian dan kesejahteraannya hanya ada dalam cerita (mitos). Semoga Tidak !!!