Wednesday, September 26, 2007

Pulau Jiuw (Pulau Terluar MU -NKRI)."Keunikan,Peluang dan Pengelolaannya" Asmar H. Daud, Nurchalis Wahidin, M.Sc. Thamrin H.Ibrahim, Mufti Abd. Murhum

Pendahuluan
Latar Belakang
Pulau Jiuw merupakan salah satu pulau kecil yang berada di bibir Samudera Pasific pada sisi sebelah Timur Pulau Halmahera. Pulau ini berbatasan langsung dengan Republik Palau dan secara adminstratif berada pada wilayah administrasi Kabupaten Halmahera tengah. Selain pulau terluar, secara bio-ekologis pulau Jiew memiliki keunikan sumberdaya alam baik flora dan fauna. Selain flora dan fauna tersebut di atas pulau ini juga terdapat berbagai jenis biota laut yang sampai saat ini belum teridentifikasi baik jenis dan jumlahnya. Keberadaan pulau Yiew yang agak terpencil (jauh dari pemukuman penduduk) dan sebagai salah satu pulau terdepan perbatasan Indonesia dengan Negara lain (Dirjen P3K DKP RI, 2002) sehingga memungkinkan adanya ganguan dari masyarakat negara dan daerah lain.
Mengingat pulau Jiuw merupakan pulau kecil dan terluar yang memiliki keterbatasan sumberdaya daratan dan aksesibilitasnya, maka upaya pengembangan hendaknya didasarkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya lautnya yang tentu saja harus terpadu dengan potensi sumberdaya daratannya dengan realitas sosial budaya masyarakat yang ada disekitarnya.
Penyusunan Profil Pulau Jiuw ini merupakan salah satu upaya dalam mendukung perencanaan pembangunan pulau kecil dan pulau terluar di kawasan pulau Jiuw dan sekitarnya. Berbagai informasi, baik biogeofisik maupun sosial budaya disajikan dalam profil ini dengan harapan dapat menjadi gambaran bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) dan dapat menggunakannya dalam rangka mengelola dan membangun pulau Jiuw.
Tujuan Dan Manfaat
Tujuan peyusunan profil Pulau Jiuw adalah untuk mengidentifikasi potensi dan realitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lngkungan serta aspek sosial budaya; Mengkaji peluang pengembangan dan pengelolaan Pulau Jiuw sebagai kawasan konservasi yang berbasis wisata alam; Memberikan arahan bagi pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Jiuw.
Manfaat dari keberadaan profil Pulau Jiuw ini adalah tersedianya informasi tentang potensi, realitas dan permasalahan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan informasi dasar dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dan terluar.

DIMENSI GEOGRAFI DAN ADMINISTRASI
Secara administratif Pulau Jiuw merupakan bagian dari wilayah kecamatan Patani Utara, Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara yang berjarak kurang lebih 36 mil laut dari Desa Gemia. Secara geografis Pulau Jiew terletak pada posisi 1270 08’44.1” - 1270 08’57.1” BT dan 00040’43.5” - 00040’50.2” LU memiliki luas kurang lebih 181.747,84 m2, atau 18,17 ha yang dikelilingi oleh tebing batu karang, ditumbuhi oleh vegetasi campuran dan terdapat hamparan pasir putih kurang lebih 50 m di bagian utara. Selain itu pada sisi bagian Barat dan Timur terdapat pulau karang yang berukuran kecil dan juga ditumbuhi vegetasi pantai.
Kawasan Pulau Jiuw
Realitas Geofisik
Topografi, Jenis Tanah dan Geologi
Tebing Batu dan Pasir PutihTopografi pulau Jiuw pada umumnya merupakan dataran rendah (relative datar) dengan kemiringan rata-rata di bawah 2 %. Tipologi pantai dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu pantai terjal berkarang dan pantai landai berpasir putih. Pantai terjal berkarang ditemukan hampir pada seluruh lingkaran pulau, sedangkan pantai landai berpasir putih hanya ditemukan pada sisi bagian Utara Pulau dengan panjang kurang lebih 50 m dan lebar ke arah darat 30 meter.
Batuan Penyusun Pulau JiuwPada bagian darat dari pulau Jiuw umumnya merupakan vegetasi campuran yang ditumbuhi vegetasi pantai dan hutan tropis. Vegetasi pantai didominasi oleh formasi Baringtonia dan Pascarpae, sedangkan vegetasi hutan tropis adalah kayu besi dan rotan yang tumbuh secara alami serta tanaman pisang dan papaya yang diintroduksi oleh penduduk dari pulau besar daratan Halmahera. Sebagian besar wilayah daratan pulau Jiuw terbentuk dari batu gamping hasil pengendapan batuan karang yang mati dan muncul ke permukaan (coral espouse) dan pada beberapa sisi ditemukan jenis tanah rensina yang memiliki ciri tanah muda dan akan berkembang. Jenis tanah entisol dangkal bahkan hingga sangat berpasir. Kesesuaian tanah jenis ini sangat rendah bagi keperluan pertanian tanaman semusim.
Iklim Dan Kondisi Fisik Perairan
Pulau Jiuw beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Dalam pembagian empat wilayah iklim Provinsi Maluku Utara, maka pulau Jiuw dipengaruhi oleh daerah iklim Halmahera Tengah/Barat. Musim Utara terjadi pada bulan Oktober-Maret yang diselingi angin Barat pancaroba pada bulan April. Musim Selatan terjadi pada bulan Mei-Agustus diselingi angin Timur pancaroba pada bulan September.
Karena dipengaruhi oleh kondisi iklim tersebut maka relatif perairan disekitar pulau Jiuw mendapat hempasan gelombang hampir sepanjang tahun. Pola arus di perairan sekitar pulau Jiuw dipengaruhi oleh pola arus Samudera Pasific bagian Selatan. Arah arus permukaan bergerak ke arah Timur dengan kecepatan 19 – 39 cm/detik, dimulai pada bulan Februari samapi Juli. Pada Bulan Agustus arah arus berubah ke arah Barat dengan kecepatan 22 – 78 cm/detik. Salinitas tahunan relatif stabil yaitu berkisar antara 32 – 34 o/00. Salinitas pada bulan Desember – Mei sekitar 34,5 o/00 sedangkan pada bulan Juni – Nopember sekitar 32 o/00\. Suhu perairan hampir tidak mengalami perubahan tahunan, yaitu sekitar 30 oC. Demikian juga kandungan oksigen terlarut cukup stabil yaitu 4,5 mg/l (P2O-LIPI, 2002).
Realitas Sumberdaya Hayati
Kenaekaragaman Hayati
Vegetasi Pantai Formasi BarringtoniaSecara umum tipe flora di Pulau Jiuw merupakan vegetasi campuran yang didominasi oleh vegetasi hutan pantai formasi Baringtonia dan Pescaprae dan vegetasi hutan tropis. Vegetasi pantai dari formasi Barringtonia yang dapat dijumpai adalah : Butun (Barringtonia asiatica), Bintangor laut (Calophyllum inophyllum), Ketapang (Terminalia catappa), Bintaro (Cerbera manghas), Malapari (Pongamia pinnata), Waru (Hisbiscus tiliaceus), Waru Lot (Thespesia populnea), Jati Pasir (Guettarda speciosa), Kenyere laut (Desmodium umbellatum), Sentigi (Pemphis acidula), Kayu wesen (Dodonaea visoca) dan Bidara Laut (Ximenia americana). Formasi Pescaprae disusun oleh jenis-jeinis : Daun katang-katang (Ipomoea pescaprae), Kacang laut (Canavalia maritima), Rumput Kacang (Vigna marina), Glinting Segara (Thuarea involuta), Jelutung laut (Euphorbia atoto) dan Pandan Pantai (Pandanus tectorius). Sedangkan Vegetasi darat yang juga ditemukan adalah vegetasi hutan tropis yaitu kayu besi (Diospyros, spp) dan Rotan serta vegetasi tanaman semusim yaitu Pepaya (Psidium aguaeum) dan Pohon Pisang (Musa paradisiaca).
Kepiting Kenari (Birgus latro)
Burung Juna Emas (Coleonas nicobarica)Selain flora, terdapat beberapa jenis fauna yang dikategorikan jenis satwa liar, umunya terdiri dari beberapa jenis burung. Pulau Jiuw juga merupakan habitat untuk berkembang biaknya burung langka Junai Emas Menata (Caleonas nicobarica). Keunikan dari burung emas adalah memanfaatkan pulau ini selama 6 bulan sebagai waktu untuk berkembang biak (bertelur dan membesarkan anaknya), terjadi pada musim Utara kemudian berpindah lagi ketempat lain untuk mencari makan, dan kembali lagi pada saat yang sama untuk bertelur. Sedangkan pada musim Selatan burung ini tidak ditemukan. Jenis burung lain yang terdapat di Pulau Jiuw adalah burung elang coklat (Haliastur indus) dan menurut informasi beberapa warga masyaralat terdapat juga burung Maleu.
Selain jenis-jenis burung fauna yang yang juga terdapat di Pulau Jiuw adalah Kepiting Kenari (Birgus latro) dan beberapa jenis penyu yang biasanya memanfaatkan daerah pantai berpasir dibagian utara untuk bertelur.
Hanya terdapat sumberdaya alam hayati laut berupa komunitas karang yang tumbuh pada dasar perairan berbatu. Secara umum ekosistem terumbu karang di sekitar perairan Pulau Jiuw memiiki keanekaragaman yang sedang dengan nilai estetika yang memikat. Hampir pada semua bagian lokasi terumbu karang hidup pada tebing batu pada sisi terluar pulau sampai pada kedalaman 25 meter, pada beberapa sisi terdapat goa-goa bawah air dan lorong-lorong yang dibentuk oleh palung laut.
Potensi Wisata Bawah AirKomunitas karang seluruhnya menghadap ke laut lepas berupa terumbu karang tepi memiliki koloni relatif kecil dan bentuk pertumbuhannya merayap (Encrusting) atau bercabang pendek kekar. Jenis karang yang hidup di daerah ini terdiri dari jenis Montipora denae, Montipora verucisa, Acropora cuneata, Acropoara nobilis, Acropora palifera Pochyllopora demicornis, Styllopora pistilata Porite nigrescen dan Porites lobata. Komunitas karang seperti ini sering juga disebut dengan Komunitas ”Acropoid” dan ”Pochilloporoid”.
Pada rataan terumbu berupa lorong-lorong banyak ditemukan kumpulan karang Goniastrea retiformis, Montastrea curta, Leptoria phygyra, Euphyllia sp dan Porites lobata. Selain jenis-jenis karang tersebut juga terdapat jenis-jenis karang lunak yaitu : Leader coral dari jenis Sarcophyton, Nepthea, Sinularia dan Xenia. Fauna lain juga juga ikut menyusun komunitas karang di pulau Jiuw adalah Anemon Laut dan Kima raksasa (Tridagna sp).
Sumberdaya Ikan
Jenis-Jenis Ikan Di Pulau JiuwKomunitas ikan yang terdapat di sekitar perairan pulau Jiuw memiliki keanekaragaman yang tinggi, terbagi secara umum atas ikan hias/indikator dan ikan konsumsi. Dari hasil pengamatan yang dilakukan dijumpai sekitar 122 jenis ikan, terdiri dari 29 jenis ikan kepe-kepe (Famili Chaetodontidae), 67 jenis dari Famili Pomachentridae, 6 jenis ikan Famili Achanturidae 12 jenis ikan Famili Lutjanidae, 2 jenis ikan Famili Carangidae dan 6 Jenis ikan Famili Blastidae.
Potensi Wisata Alam
Kegiatan Diving
Bangkai Cangkai Penyu SisikPotensi Wisata alam yang dapat dikembangkan di pulau Jiuw adalah wisata alam hutan untuk pengamamatan satwa liar (tingkah laku dan cara hidup) burung langka Junai Emas (Caleonas nicobarica) yang hanya bisa ditemukan pada musim Utara (bulan Oktober – Maret). Selama musim Utara burung emas melakukan aktifitas perkembangbiakan (bertelur) kemudian membesarkan anaknya kemudian akan bermigrasi ke tempat lain menjelang musim Selatan (Bulan Mei – Agustus), sehinga pada musim selatan relatif tidak ditemukan. Daerah penyebaran burung emas berdasarkan catatan buku ”A Photographic Guide to The Birds of Indonesia (Oey, 2002) adalah daerah Asia Timur bagian selatan sampai ke Papua Nugini. Sifat hidupnya selalu mengembara untuk berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya, relatif mendiami pulau-pulau kecil dan juga tercatat ditemukan pada beberapa pulau besar termasuk sebagian Sulawesi (Sulawesi Tengah).
Pengamatan terhadap tingkah laku satwa juga dapat dilakukan terhadap burung elang coklat (Haliastur indus) yang hidup dan membuat sarangnya pada-pohon-pohon besar. Selain itu menurut informasi beberapa warga masyarakat dan pada saat dilakukan pengamatan ditemukan bekas-bekas sarang burung Maleo dan sarang burung Walet di beberapa lokasi (dalam goa dan celah-celah tebing batu).
Berdasarkan hasil wawancara, pada saat menjelang musim Utara atau menjelang datangnya burung Emas terdapat aktifitas bertelur penyu hijau dan penyu belimbing di daerah hamparan pasir putih (bagian Utara pulau Jiuw).
Potensi Wisata Goa Tete MialangPotensi wisata alam lain yang terdapat di pulau Jiuw adalah Goa dengan lebar mulut 1,5 meter, tinggi 2 meter, kedalaman 3 meter (terdapat di bagian Barat Pulau Jiuw) yang oleh masyarakat desa Wayamli Kecematan Maba dan Gemia (Kecamatan Patani Utara) dinamakan ”Goa Tete Mialang”. Goa ini terbentuk dari dinding batu yang kokoh dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berlindung ketika tiba di pulau Jiuw pada saat terjadi badai. Potensi wisata bahari yang dapat dikembangkan adalah wisata diving untuk menikmati keindahan panorama bawah laut yang menampilkan fariasi jenis-jenis ikan dan bentuk topografi dasar perairan yang unik terdiri dari pesona terumbu karang.
DIMENSI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA
Sejarah Penamaan Pulau Jiuw
Pulau Jiuw pertama kali disebut oleh masyarakat Halmahera Timur (Maba-Wayamli) dan Masyarakat Halmahera Tengah (Gemia-Patani) dengan nama IAW yang artinya pulau burung karena di pulau ini terdapat Burung Emas yang oleh masyarakat wayamli (Maba) dan Patani (Gemia) disebut IAW. Atas dasar penyebutan ini yang kemudian menjadi cikal bakal penamaan pulau JIUW sampai saat ini.
Secara yuridis pulau Jiew merupakan bagian dari wilayah kesultanan Tidore yang ditertibkan pada masa pemerintahan Sultan Tidore pertama Bakir Nakir Asfarisani pada tahun 1306. Sebelum pemekaran wilayah, nama asli patani adalah poton, yang artinya adalah yang punya tanah ini. Dan kemudian Pada masa pemerintahan Sultan Jou Barakati Ikhtibar Sjah Raja Cililiati (1403-1443) raja ke-9 yang menetapkan pulau Jiuw sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Tidore (Hasil wawancara dengan H. Abdul Djalil H. Abdullah Ikhtibar Sjah).
Mitos Dan Ritual Pulau Jiuw.
Seperti biasanya, setiap masyarakat tradisional memiliki sistim kepercayaan tersendiri dalam hubungannya dengan alam. Ritual-ritual atau sesajian biasanya dilakukan untuk menghormati sesuatu yang dipandang oleh mereka memiliki nilai keramat/magis. Demikian juga dengan masyarakat wayamli dan Gemia terhadap pulau Jiew. Pulau Jiew dipercaya oleh masyarakat Halmahera Timur (desa Wayamli) dan masyarakat Desa Gemia Halmahera Tengah (Patani) memiliki penjaga pulau. Oleh karenanya, setiap orang/masyarakat yang hendak ke pulau tersebut harus melakukan ritual khusus sebelum pergi ke sana. Sesaji yang dilakukan adalah menyiapkan buah pinang, sirih dan tembakau (bahasa lokal : tabako) diletakan di atas piring putih dengan jumlah yang ganjil yang menurut masyarakat setempat bernama (ngale-ngale) dan diletakan di tempat yang sudah ditetapkan di pulau tersebut. Orang yang secara turun temurun dipercaya masyarakat desa Wayamli dan Gemia adalah
Ritual Setelah Tiba Di Pulau Jiuw keturunan Borfa, yang sekarang ini adalah Ridwan Hi. Mialang. Apabila sesaji tidak dilakukan maka akan terjadi sesuatu yang tidak inginkan. Pantangan lain ketika sampai dipula Jiuw tersebut adalah burung-burung hasil tangkapan tidak bisa dibunuh dan jatuh ke permukaan air laut. Kalau hal ini diabaikan/dilakukan maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya tiba-tiba terjadi angin ribut atau ombak yang akan menghalangi mereka untuk kembali ke daratan pulau besar Halmahera.
Aspek Ekonomi
Meskipun keberadaan pulau Jiuw sangat jauh dari pulau Halmahera, dan ditempuh dengan berjam-jam dengan resiko yang sangat tinggi, namun ternyata sudah sejak lama pulau tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Halamhera tengah dan Halmahera Timur (Patani, Maba, Wayamli dan sekitarnya). Salah satu bukti adalah adanya tanaman kelapa yang sudah berumur ratusan tahun dan pohon pisang yang terdapat di pulau itu.
Aktifitas Penangkapan Ikan Mengunakan Panah (Spare Fishing) Di Pulau JiuwKehadiran orang-orang/masyarakat di pulau Jiew sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan burung Mas. Karena pulau ini merupakan tempat berkembang biaknya burung-burung tersebut selama musim utara berlangsung yakni selama 6 bulan (dari bulan September sampai bulan Februari). Selama melakukan aktifitas bertelur itulah kesempatan terbaik bagi siapa saja yang sampai di pulau itu untuk mengeksploitasi (menangkap dan mengambil telur-telurnya). Selain daging dan telurnya yang enak untuk dimakan, orang-orang yang beruntung sampai pulau Jiew pada musim bertelur akan mendapatkan keuntungan lebih karena hasil eksploitasi ini akan dijual ketika mereka sampai ke daratan Halmahera. Belum lagi Ketam Kenari yang melimpah dan telur-telur Penyu yang terdapat di pulau tersebut.
Kekuatiran akan semakin berkurangnya keberadaan burung mas di pulau ini, pada tahun 1970-an perna dilakukan upaya-upaya konservasi terhadap burung mas di pulau Jiew, yaitu tepatnya pada masa kepemimpinan Abdullah Nebo (kepala desa Gemia). Apabila ada masyarakat yang ketahuan mengambil burung mas dan membawa pulang ke desa asalnya maka burung-burung tersebut akan dikembalikan atau diterbangkan kembali.
Namun dapat dipastikan bahwa keberadaan pulau Jiew dengan segenap potensi sumber daya alam daratan dan laut yang dimilikinya lebih banyak memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dari luar Halmahera. Terutama nelayan-nelayan asing seperti Pilipina dan nelayan dari Sulawesi. Hal ini terjadi selain karena keberadaan pulau Jiew sangat jauh dari pulau induk Halmahera, masyarakat Halmahera (Patani, maba dan sekitarnya) juga memiliki akses yang terbatas untuk sampai ke pulau tersebut. Meskipun mereka bisa sampai ke sana, waktu yang dibutuhkan sangat bergantung pada persediaan yang mereka bawa.
ISU UTAMA DAN ARAHAN PENGELOLAAN
Isu Utama
Isu utama yang berkembang dalam pengelolaan sumberdaya alam di pulau Jiuw adalah :
1. Pengelolaan Pulau Kecil dan Terluar.
Dengan ukuran pulau kurang lebih 18,17 ha, maka pulau Jiuw tergolong sebagai pulau kecil (lebih besar dari 10 ha dan lebih kecil dari 2000 ha), memiliki beberapa permasalahan utama. Keterisolasian membentuk lingkungan fisik pulau kecil bersifat khas (unique) dengan proporsi (jumlah) spesies endemik relatif tinggi, dan catchments area relatif kecil sehingga kebanyakan air hujan dan sedimen langsung teralirkan ke laut. Keterisolasian juga membentuk lingkungan sosial-budaya pulau kecil bersifat unique, berbeda dari pulau kontinen.
2. Pengembangan Sumberdaya Alam Secara Optimal dan Lestari
Pengembangan Wisata PantaiEkosistem yang ada di pulau Jiuw perlu dikelola secara baik agar potensinya dapat dimanfaatkan secara otpimal dan lestari. Pemanfaatan kawasan yang dapat dikembangkan meliputi : pariwisata pantai dan pariwisata bahari. Pemanfaatan potensi ini dapat dikembangkan secara sinergis melalui kegiatan wisata antara lain : snorkling, penyelaman (scuba diving), rekreasi, memancing dan beberapa kegiatan perikanan lainnya. Pemanfaatan potensi sumberdaya alam melalui kegiatan lainnya antara lain melalui, ecotourism, agrofisheries dan agroforestry.
3. Perlindungan Satwa Liar dan Biota Potensial.
Keberadaan burung Junai Emas (Coleanus nicobarica), Burung elang coklat, Burung Maleu, Kepiting Kenari (Birgus latro) dan beberapa jenis penyu yang memanfaatkan pulau Jiuw sebagai tempat memijah (spawning ground) dan tempat mencari makan (feeding ground), terancam oleh beberapa kegiatan yakni, kunjungan masyarakat lokal untuk mengambil/memanfaatkan potensi tersebut yang sebagian besar untuk dikonsumsi dan pemanfaatan untuk dijual oleh beberapa masyarakat pendatang.

Monday, September 24, 2007

“TUTEBA” (Sebuah Fenomena baru dalam Prostitusi Di Ternate)

Irza Arnyta Djafaar

Seorang gadis cantik dengan body aduhai berlenggak lenggok dengan dandanan yang cukup menor. Dengan gincu merah darah dan bedak tebal ditambah dengan celana jeans ketat dan blus kaos yang super ketat sehinnga memperlihatkan lekak lekuk tubuhnya yang cukup sexy itu dia berusaha untuk menarik perhatian setiap lelaki hidung belang yang ada disekitarnya. Tidak lama kemudian aksinya itu mengundang seorang lelaki hidung belang menghampirinya, tampak mereka berdua terlibat percakapan yang serius diiringi dengan tawa cekikikan dari mulut si perempuan, tidak lama kemudian si perempuan sexy itu sudah menggelayut manja di tangan sang lelaki, mereka berduapun hilang ditengah kegelapan malam. Tampaknya transaksi telah berlangsung mulus. Perempuan itu tidak sendiri, karena disekitar dia masih banyak perempuan-perempuan lain yang seprofesi dengan dirinya.
Ilustrasi di atas adalah sebuah kisah nyata yang terjadi dihadapan kita, karena kejadiannya di kota yang sangat kita cintai ini. Tuteba yang diambil dari salah satu bahasa daerah Maluku Utara (bahasa Makian Luar) yang artinya mengambil sedikit-demi sedikit di berbagai tempat (mencomot). Sebenarnya istilah ini bernada positif karena mengumpulkan sesuatu sedikit demi sedikit, akhirnya lama-lama akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Tapi pada akhirnya istilah ini berubah menjadi negative setelah ditempelkan ke profesi prostitusi. Selain istilah tuteba, dikalangan anak-anak muda kota Ternate dikenal juga dengan istilah “Lopis” dan “Portugal”. Lopis nama dari sejenis kue yang terbuat dari ketan/singkong yang memakai kelapa dan gula merah dijadikan singkatan menjadi Lonte pinggir swering, sedangkan “Portugal” adalah singkatan dari persatuan orang tua gatal. Bahasa-bahasa prokem sepeti ini banyak sekali berkembang dikalangan kaum muda Ternate sama halnya dengan bahasa slank /prokem yang banyak dipakai oleh anak-anak gaul Jakarta.
Psikologi perempuan Kartini Kartono dalam bukunya “Psikologi Abnormal dan Pathologi Sex” mengemukakan, bahwa perempuan dan laki-laki dapat disebut normal dan dewasa, bila mampu mengadakan relasi social dalam bentuk normal dan bertanggung jawab, bahwa kedua belah pihak menyadari konsekwensinya dan berani bertanggung jawab terhadapnya, contohnya mau menikah dan memelihara anak yang menjadi produk dari relasi social yang telah dilakukan.
Relasi sex yang abnormal dan perverse (buruk) adalah relasi sex yang tidak bertanggung jawab, didorong oleh kompulsi yang abnormal. Hal demikian bertentangan dengan norma social, hukum, maupun agama. Abnormalitas dalam pemuasaan sex menurutnya antara lain adalah Prostitution atau pelacuran, yang pada umumnya dilakukan oleh kaum perempuan dalam melayani pria hidung belang karena dorongan ekonomi, kekecewaan, atau balas dendam
Prostitusi dan Masalah Sosial
Membicarakan masalah prostitusi sama saja dengan mengunyah masalah yang dianggap paling purba dalam kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Masalah prostitusi atau pelacuran merupakan masalah klasik namun tetap terasa baru dan hangat untuk dibicarakan. Tidak ada seorangpun yang tau pasti kapan dan bagaimana prostitusi itu pertama kali muncul, sebab sangat sulit ditentukan. Namun bisa dikatakan bahwa sejak ada norma perkawinan, diduga sejak itu pulalah muncul prostitusi.
Prostitusi merupakan masalah social sebab keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sering membuat keresahan dan menggangu ketentraman kehidupan social masyarakat. Selain dituding sebagai penyebab degradasi moral masyarakat, prostitusi juga menjadi penyebab utama penyebaran penyakit kelamin. Ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas,prostitusi tidak bisa dipandang sebagai masalah moral cultural belaka, sebab bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari realitas social maupun kondisi ekonomi dan politik yang melatarbelaknginya.
Di tempat-tempat dimana dijumpai praktek-praktek prostitusi, sering terjadi kontaversi pandangan dan kepentingan antara masyarakat di satu pihak dan pemerintah dan penguasa di lain pihak. Hal ini terlihat dari kebijakan –kebijakan yang ditetapkan yang diambil oleh pemerintah, terhadap masalah prostitusi sering kali kurang tegas karena dihadapkan pada berbagai pilihan dan kepentingan.
Bagaimanapun pandangan masyarakat terhadap prostitusi, kenyataan tetap membuktikan bahwa pelacuran itu fungsional di dalam sistim social masyarakat. Hal ini terbukti dengan keberadaannya sejak berabad-abad yang lalu tanpa ada satu kekuatan pun yang mampu menghapuskan dari muka bumi. Hukum selama masih ada permintaan dan penawaran terhadap kebutuhann seks, prostitusi akan tetap eksis sebab ia merupakan salah satu atribut kehidupan umat manusia sejak dahulu kala.
Sementara prostitusi yang terang-terangan dan terorganisir atau prostitusi komersial muncul dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota dengan spesialisasi yang semakin lama semakin bervariasi dan kompleks. Dalam konteks ini, prostitusi sering dipandang sebagi profesi sekelompok orang marginal yang karena desakan social-ekonomi atau faktor lainnya, terceraabut dari akarnya di daeah asal namun tidak mampu mendapatkan pekerjaan di perkotaan karena banyaknya saingan dan terbatasnya pilihan pekerrjaan untuk mereka. Dengan demikian, tumbuh dan berkembangnya prostitusi seperti ini lebih cendrung sebagai ekses perkembangan social ekonomi yang terjadi dalam suatu masyarakat . Prostitusi yang bersifat komersial ini diibaratkan sebagai sebuah drama, suatu konflik kepentingan dan adu kekuatan, sebab seringkali bersifat paksaan, tak bepeikemanusiaan, dan sangat eksploatif, serta didalamnya terdapat beberapa komponen yang memiliki peran sendiri-sendiri. Pelacur merupakan salah satu komponen unsur yang penting dalam prostitusi komersial.
Berkembangnya prostitusi disebabkan oleh berbagai aspek dan sangat kompleks. Selama ini aspek ekonomi (kemiskinan) dipandang sebagai penyebab utama seorang perempuan terjun kedunia hitam, sehingga prostitusi terus bekembang dan tidak mudah dihapuskan. Tetapi apakah hal seperti ini sepenuhnya benar? Pandangan semacam itu kiranya perlu dikaji ulang, sebab tidak selamanya tekanan social-ekonomi/kemiskinan membuahkan pelacuran. Kalau penyebabnya adalah factor ekonomi mengutip pendapat Koentjoro , mengapa ada orang miskin yang menjadi pelacur dan ada orang miskin yang tidak menjadi pelacur? Padahal mereka berasal dari kondisi social dan ekonomi yang sama.
Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuan langsung dari Kasubdin Pelayanan Kesejatraan Sosial Dinas Sulawesi Utara, menurutnya kini banyak oknum PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang diduga melakukan kerja sampingan sebagai PSK (Pekerja Sex Komersial). Menurutnya oknum PNS ke kantor dengan menggunakan pakaian dinas pada jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore dengan alasan mendapat tugas dari kantor, mereka bisa leluasa menjalani profesi sampingannya dan bahakan mendapat nilai yang lebih tinggi, gengsi mereka naik karena profesinya juga sebagai PNS. Hal ini sama dengan di kota-kota besar, dimana mahasiswa yang merangkap profesi sebagai pelacur. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa factor ekonomi bukan satu-satunya alasan, banyak factor lainnya sehingga perempuan banyak yang terjerumus dalam lingkaran prostitusi. (Malut Pos, 8 Juni 2005)
Prostitusi dan Dampaknya tehadap penyakit Kelamin
Prostitusi merupakan masalah social sebab pada hakekatnya aktivitas prostitusi menggangu ketentraman dan keselamatan, baik jasmani, rohani, maupun social dari kehidupan masyarakat. Selain dipandang sebagai bentuk penyimpangan dari norma kehidupan masyarakat dan penyebab degradasi moral manusia, prostitusi juga menjadi penyebab utama perluasan penyebaran penyakit kelamin.
Di Ternate, perluasan penyebaran penyakit kelamin yang disebabkan oleh maraknya praktek-paktek prostitusi sampai sejauh ini belum dapat didata, hal ini disebabkan karena praktek postitusi yang ada dikawasan Maluku Utara belum dilegalkan, masih liar, sehingga dengan demikian agak susah untuk mencari sampai sejauh mana penyebaran penyakit kelamin yang ada di Maluku Utara. Kalaupun ada dipastikan pengidap penyakit kelamin akibat berhubungan sex dengan perempuan pelacur tidak akan mau mengakuinya.
Penyakit kelamin yang diidap dan ditularkan oleh para pelacur ini macam-macam antara lain kencing nanah, genorhea, shiplis dan lain-lain, tapi yang lebih parah sekarang ini adalah virus HIV/AIDS yaitu virus yang paling rentan didapat ketika berhubungan intim dengan pelacur yang tidak “bersih”. Dan karena virus HIV terjangkitnya lewat hubungan sex, maka dengan mudah akan menyebar ke anak-istri di rumah apabila si suami telah terjangkit dari orang lain dalam hal ini dari perempuan pelacur. Dengan demikian sudah selayaknya untuk kaum laki-laki (suami) untuk selalu menjaga dirinya dari berbagai macam bahaya penyakit yang ditularkan dari hubungan sexual yang tidak bertanggung jawab, karena bukan hanya anda yang akan menderita, tapi terlebih keluarga, dalam hal ini anak dan istripun akan tertular.
Tanggung Jawab Siapa?
Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah tanggung jawab siapa untuk bisa meminimalisir keberadaan kaum PSK ini, karena kalau bicara menghilangkan keberadaan mereka tampaknya hal yang mustahil atau tidak masuk diakal, karena dalam sejarahnya kaum PSK ini tidak mungkin dihilangkan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melokalisasi keberadaan mereka. Tapi nampaknya hal ini juga menjadi mustahil, karena kota Ternate sudah dicanangkan oleh wali kota kita sebagai kota Madani, yang didalamnya tersimpan ketaqwaan, dan keimanan yang tentu saja beliau tidak akan menyetujui ide ini. Tapi cobalah kita renungkan, bahwa tentu saja kita tidak mau menjadi bangsa yang munafik,setiap hari kita Sholat kita bicara tentang dosa dan neraka, sementara kita sering plesir ke luar kota untuk refresing dan dan berpesta sex dengan para PSK di kota-kota besar seperti Jakarta, karena sudah menjadi rahasia umum para pejabat kita sering ke Jakarta untuk “refresing”.
Yang paling penting untuk saat ini adalah kita harus bersatu padu antara pemerintah daerah, Dinas Sosial, LSM, dan semua orang yang merasa dirinya sebagai pemerhati perempuan dan keluarga, untuk turun tangan langsung menangani masalah ini, karena semuanya menjadi tanggung jawab kita bersama, jangan lagi terjadi kasus “Ternate Lautan Hot” yang berimplikasi bahwa pemerannya aadalah seorang PSK professional. Selain di swering yang menjadi tempat mangkal mereka, ada lagi tempat mangkal baru mereka, yaitu di ruko-ruko yang berhadapan langsung dengan Mesjid Raya. Ditengarai setiap malam terjadi transaksi sex bebas antara kaum PSK liar dengan lelaki-lelaki hidung belang di kota Ternate yang konon katanya mengedepankan perberadaban Madani. Sangat ironis!

“MANUSIA ½ DEWA TERGUGAT”


(Memaknai Sebuah Simbol ‘Agama’ dalam Kasus Iwan Fals)
Dra. Irza Arnyta Djafaar M. Hum

Seorang Iwan Fals akhirnya tersandung juga, lantaran cover di album terbarunya yang berjudul “Manusia 1/2 Dewa” , ia dikritik oleh Forum Intelektual Muda Hindu Dharma (FIMHD). Mereka tidak setuju bahkan sangat tersinggung ketika Iwan Fals mencantumkan sosok seorang Dewa yang dianggap sakral oleh agama Hindu itu dikomersilkan. Ketua FIMHD Aria Wedakarna menyatakan bahwa dengan pencantuman gambar Wisnu itu berarti melecehkan umat Hindu. Hal ini lebih diperparah ketika salah satu lirik lagu dalam “Manusia ½ Dewa” itu Iwan berkata, “Aku sedang susah, Rasanya ingin menjadi Hanoman atau Janggo”. Hanoman disamakan dengan Janggo, si koboy pahlawan Amerika pembasmi kejahatan. Ini sungguh suatu pelecehan. Menurut ketua FIMHD , kalau mau mencantumkan gambar-gambar atau simbol-simbol dewa sebaiknya mencari agama yang penganutnya sudah tidak ada di muka bumi ini, atau minimal diberi keterangan gambar yang menyatakan sosok dewa tersebut dan menyebutkan namanya. Aria kecolongan, rupanya dalam kasus ini Iwan banyak dibantu oleh musisi dan seniman Bali, salah satunya Dewa Budjana, juga Forum Parisade Hindu Pusat yang menyatakan tidak ada unsur pelecehan dalam albumnya. Selesaikah kasus “Manusia ½ Dewa” Iwan Fals?
Ternyata tidak !, Iwan tersandung lagi, masalahnya salah satu lirik di album “Manusia ½ Dewa” dalam lagunya yang berjudul “17 Juli 1966”, Iwan mengatakan dengan lirik sebagai berikut: “Sengkuni kilik sana sini, Kurawa dan Pandawa rugi, Dewa-dewa kerjanya berpesta Sambil nyogok bangsa manusia (para kuli tinta)”. Iwan pun kembali dipermasalahkan oleh salah seorang Raja Bali, dengan alasan pelecahan lagi, karena Dewa mereka dalam kitab sucinya tidak pernah berpesta pora sambil menyogok manusia. Iwan pun tergugat lagi !
Kasus serupa belum lama juga terjadi pada seorang novelis perempuan, yang juga terkenal sebagai penyanyi yang tergabung dalam mantan grup RDS (Rida, Sita, Dewi). Perempuan yang melejit namanya lewat Trilogi novelnya Super Nova ini, ketika menulis novelnya yang kedua “Akar”, Dewi atau Dee mencantumkan gambar/simbol “Om” (salah satu simbol Hindu) pada sampulnya. Serta merta Aria Wedakarna bereaksi dan berbicara ke setiap media infoteinment bahwa Dee melecehkan agama Hindu. Persoalannya adalah siapakah yang sesungguhnya tidak memahami arti dan lambang dari agama Hindu ini. Memang orang yang bukan penganut Hindu akan sangat awam dalam memahami agama ini, apakah Hindu dipandang sebatas kebudayaan, ataukah memang ia (Hindu) benar-benar sebuah agama?
Mempelajari agama Hindu tidaklah segampang yang diperkirakan orang, karena sangat kompleks, menyangkut banyak dewa yang harus disembah, banyak simbol-simbol yang dipelajari terutama menyangkut kepercayaan kepada tiga dewa (Trimurti) yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa yang menciptakan, memelihara dan membinasakan. Dengan demikian dewa-dewa Hindu beserta simbol-simbol yang ada didalamnya tidaklah begitu muda kita memakainya, karena sesuatu yang kita anggap lumrah dan biasa-biasa saja, ternyata sangat berbeda dengan mereka ( Hindu). Contoh Hanoman dalam lirik lagu Iwan Fals, (Hanoman adalah seekor kera). Untuk kita “Kera” adalah hewan yang sering kita pakai untuk umpatan, makian dan yang berkonotasi jelek, tapi bagi masyarakat Hindu Kera adalah hewan yang menyelamatkan Dewi Sinta dari Rahwana seorang raksasa jahat dari kerajaan Alengka. Demikian halnya dengan hewan sapi atau lembu, di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu sangat menghormati sapi, hewan ini tidak dapat di usir apabila dia nyasar dan duduk di tengah-tengah jalan raya, lebih baik bagi mereka adalah berbalik arah daripada harus mengusir hewan tersebut, hewan ini akan dibiarkan sampai pergi sendiri. Bagi kita mungkin ini terlalu berlebihan, tapi tidak bagi mereka, karena sapi adalah kendaraan bagi Dewa Ciwa, dan sapi ini dalam kepercayaan agama Hindu namanya adalah Nandi atau sering disebut sebagai “Lembu Nandi”.
Untuk memahami agama Hindu, kita harus mengenal Kitab yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran dari dewa-dewa kepercayaan mereka, seperti halnya ketika kita mempelajari Al-qur`an, Injil, Taurat dan Zabur, yang isinya adalah ajaran-ajaran dari Tuhan yang disampaikan melalui para Nabi.
Agama Hindu mengakui bahwa Tuhan mereka adalah satu tetapi mempunyai tiga badan, atau disebut “Trimurti“ yang maksudnya adalah Dewa yang tertinggi (Icwara) yang menjadikan dan menguasai alam semesta. Dewa ini berbadan tiga, sesuai dengan kekuasaan Icwara yang tiga macam : mencipta, memelihara atau melangsungkan dan membinasakan. Ketiga macam kekuasaan yang masing-masing diwakili oleh satu badan dewa ini kemudian menjadi diwakili oleh seorang dewa. Demikianlah dewa pencipta adalah Brahma, dewa pemelihara adalah Wisnu dan dewa pembinasaan adalah dewa waktu (Ciwa).
Di antara ketiga dewa tertinggi ini hanya Wisnu dan Ciwa yang mendapat pemujaan luar biasa. Hal ini adalah wajar, kalau kita mengingat bahwa yang dihadapi manusia ialah apa yang sudah tercipta. Maka dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, manusia lebih cenderung lebih memperhatikan apa-apa yang sudah diciptkan. Pun kenyataannya bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.
Dengan demikian tidaklah salah ketika seorang penyanyi kharismatik sebesar Iwan Fals memilih Wisnu sebagai simbol di sampul kasetnya. Sebuah kebanggaan sebenarnya bagi umat Hindu, karena dengan demikian mereka tidak perlu lagi bersusah payah untuk menyiarkan agamanya, karena Iwan Fals telah mempopulerkannya lewat lagunya “Manusia ½ Dewa” yang dalam beberapa lagunya menggambarkan tentang dewa-dewa serta makna simbol dari agama Hindu. Dalam lirik lagunya “Matahari Bulan dan Bintang” Iwan yang sedang susah meminta bantuan Hanoman, karena Hanoman dipercaya dapat menyelamatkannya, seperti halnya ketika Hanoman menyelamatkan Dewi Shinta dari Rahwana. Demikian juga ketika Iwan mencantumkan gambar Wisnu di sampul kasetnya. Penulis bisa menangkap bahwa Wisnu yang digambarkan sini adalah Wisnu yang dapat memelihara apa yang sudah diciptakan Brahma. Dalam segala bentuk dan perwujudannya Wisnu tetaplah dewa yang memelihara dan melangsungkan alam semesta. Maka sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam kesalamatan dunia. Untuk keperluan ini Wisnu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan macamnya bahaya. Penjelmaan ini disebut Awatara. Bagi Iwan ini merupakan sebuah sindiran bagi politisi kita dan bagi siapa saja yang tidak bisa menjaga alam yang sudah ada, maunya hanya mengeksploitasi dan merusak apa yang sudah diciptakan.
Kendaraan atau alat angkut bagi dewa Wisnu adalah burung Garuda. Di sampul kasetnya, Iwan melukiskan dengan apik Dewa Wisnu yang lagi mengendarai Garuda, yang sekarang dipakai oleh bangsa Indonesia sebagai lambang negara.
Kalau berbicara tentang lambang, maka tidak terhitung jumlahnya lambang Hindu yang dipakai oleh bangsa Indonesia. Salah satu contoh, untuk logo Universitas yang ada di Indonesia yaitu Institut Tekhnologi Bandung memakai Ganesha sebagai logonya. Ganesha adalah anak dari dewa Ciwa, Ganesha adalah dewa berkepala gajah yang disembah sebagai dewa Ilmu dan dewa penyingkir rintangan-rintangan. Seperti di ketahui dewa dalam agama Hindu bisa menikah dan mempunyai anak. Istri Ciwa adalah Durga yang mempunyai kendaraan yaitu singa. Selain beranakkan Ganesha, Ciwa juga mempunyai anak yang bernama Kartikeya yaitu dewa yang selalu digambarkan sebagai kanak-kanak naik burung merak dan mempunyai kedudukan sebagai dewa perang.
Demikian juga dengan logo Universitas tertua di Maluku Utara yaitu Universitas Hairun, Ganesha dipakai juga sebagai lambang, yang jadi masalah disini adalah, Maluku Utara tidak mengenal dan terpengaruh dengan agama Hindu, tapi kenapa lambang ini dipakai. Dengan demikian logo Unkhair harus diganti. Jangan-jangan kita juga akan diprotes oleh FMHD karena dianggap melecehkan agama Hindu. Tapi ini tidaklah masalah karena seiring dengan penegrian Unkair yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno Puteri, Unkhair telah menyelenggarakan lomba logo yang menggambarkan potensi kekayaan alam serta simbol-simbol yang memuat filosofi dari daerah Maluku Utara sendiri.
Kembali kepada agama Hindu, dalam perkembangan selanjutnya, agama yang bersifat kerakyatan ini tidak dapat menghindarkan diri dari anasir-anasir filsafat dan Mystik oleh karena kuatnya kepercayaannya akan hukum karma dan cita-cita akan moksa.
Kegaiban-kegaiban yang meliputi para dewa, tempat manusia menyandarkan nasibnya dan memohonkan kurnianya, menimbulkan berbagai pemikiran. Meskipun kepada dewa-dewa dikenakan sifat-sifat seperti manusia, namun mereka sangat berbeda juga. Dewa itu kekal, tidak dapat dan tidak akan mati seperti manusia. Maka bertentanganlah kalau (yang kekal) itu berbuat, karena perbuatan itu ada mulanya dan ada akhirnya.
Dengan demikian setelah membaca uraian yang ada di atas menyangkut agama Hindu, masihkah kita bisa memakai lambang atau simbol-simbol yang ada dalam agama ini, tergantung anda, bagaimana anda menilainya apakah Agama Hindu kita lihat sebatas agama, ataukah dari segi kebudayaannya., karena batasannya sangat tipis, seorang penyanyi pop yang digilai anak-anak muda Avril Lavigne, dalam video klipnya “Knocing on Heaven`s door” salah seorang modelnya mempertontonkan lambang “om” yang digambar di telapak tangannya, lambang ini sama dengan sampul bukunya Dewi Lestari. Dewi diprotes, sementara Lavigne tidak. Lambang Swastika yang identik dan menjadi simbol dari Nazi Jerman, juga tidak diprotes, bahkan mungkin sebagian orang tidak memahami bahwa swastika adalah lambang dari sebuah agama. Ataukah karena akar sejarahnya Hindu menyangkut ras Arya, sehinnga bisa ditarik benang merahnya, antara Hindu dengan ras Arya Jerman, karena seperti kita ketahui bangsa Arya yang merupakan induk bangsa Indo-Eropa, memasuki daerah hulu sungai Sindhu yang terkenal dengan nama Panjab (5 sungai) pada kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi. Disini mereka membangun kota-kota yang sangat modern yaitu Mohenjo Daro dan Harappa.
Kesimpulannya orang Hindu harus bangga, bahwa agamanya sangat Universal. Bisa melewati batas suku, ras bahkan agama itu sendiri. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan Indonesia telah mulai mengalami perubahan besar dengan adanya agama Hindu. Pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki jaman sejarah, tetapi juga membawa perubahan dalam susunan masyaraktanya, yaitu timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan, dan dalam alam pemikiran pula dengan adanya bentuk keagamaan yang baru. Dengan sendirinya penghidupan dan adat kebiasaan ikut berubah.
Maka biarkanlah imajinasi manusia terbebaskan, tidak di pasung untuk kepentingan sekelompok orang yang mengatas namakan agama, sehingga kita bisa hidup secara damai, tidak ada lagi ketakutan ketika kreatifitas kita mengembara, karena kebebasan manusia satu-satunya yang ada di dunia ini, adalah ketika dia dapat berimajinasi dengan bebas, baik melalui lagu, maupun tulisan.

”Penduduk Asli/Masyarakat Adat dan Pelestarian Lingkungan”

Irza Arnyta Djafaar , M. Hum

Menurut The World Conservation Union, dari sekitar 6.000 kebudayaan di dunia, 4.000 – 5.000 di antaranya adalah masyarakat adat/suku asli. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70 – 80 persen dari semua masyarakat budaya di dunia. Sebuah jumlah yang cukup besar yang tidak boleh dipandang remeh, kendati dalam kerangka dominasi ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mereka selalu dipinggirkan dan diabaikan.
Masyarakat adat dalam hal ini suku asli, selalu diabaikan dan dipinggirkan karena menurut anggapan masyarakat modern, masyarakat adat adalah masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah dengan demikian pemahaman tentang lingkungan juga dianggap rendah karena keterbatasan pengetahuan dalam hal ini adalah pendidikan. Padahal dalam kenyataannya justru merekalah yang paling concern dalam menjaga alam dan lingkungannya.
Hal yang paling fundamental dari perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat di seluruh dunia yang memandang dirinya, alam dan relasi di antara keduanya dalam perspektif religius, perspektif spiritual. Maka, alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional/masyarakat adat sebagai sakral, sebagai hal yang suci. Spiritualitas merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan mewarnai seluruh relasi dari semua ciptaan di alam semesta, termasuk relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib atau yang suci. Demikian pula, spiritualisasi akan selalu menjiwai, mewarnai dan menandai setiap aktivitas manusia, yang tidak lain adalah aktivitas dalam alam yang sakral itu.
Dalam perspektif kesakralan tersebut, agama dipahami dan hayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Dalam penghayatan agama seperti itu, masyarakat adat selalu ingin mencari dan membangun harmoni diantara manusia, alam, masyarakat dan dunia gaib, dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Harmoni dan keseimbangan sekaligus juga dipahami sebagai prinsip atau nilai paling penting dalam tatanan kosmis.
Pengaruh langsungnya adalah setiap perilaku manusia, bahkan sikap batin yang paling tersembunyi di lubuk hatinya, harus ditempatkan dalam konteks yang sakral, dalam spiritualitas. Maka, baik secara individu maupun kelompok, terhadap diri sendiri, sesama manusia, harus murni, bersih, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik, yang tidak boleh dirusak dengan prilaku yang merugikan, menjadi prinsip moral yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan upacara religius- adat.
Dalam arti itu, moralitas adalah tuntutan setiap masyarakat adat. Moralitas ini tidak hanya menyangkut perilaku manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan dirinya dan juga dengan alam. Ada keyakinan religius moral, bahwa sikap batin dan prilaku yang salah, yang bengkok, yang merusak hubungan dengan sesama dan alam, akan mendatangkan malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun bagi komunitas. Dalam konteks itu bisa dipahami bahwa semua bencana alam- banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan merupakan konsekuensi dari kesalahan sikap batin dan perilaku manusia, baik terhadap sesama maupun terhadap alam. Dengan demikian maka perlu adanya rekonsiliasi dalam bentuk upacara religius, upacara adat, dengan membawa korban baik untuk sesama yang dirugikan maupun untuk alam yang telah dirusak. Perlu ada pemulihan kembali relasi yang rusak. Dengan kata lain, perilaku moral, baik terhadap sesama maupun terhadap alam, adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan, dari etika masyarakat adat tersebut.
Masyarakat adat/suku asli memandang dirinya sebagai bagian integral dari komunitas ekologis, komunitas alam. Maka, mereka berkembang menjadi dirinya, baik secara individu maupun secara kelompok, dalam ikatan dan relasi dengan alam semesta seluruhnya, dengan seluruh makhluk di alam semesta. Mereka tidak pernah berusaha menjalani hidup yang hanya mementingkan hubungan dengan sesama. Yang juga penting bagi mereka adalah relasi dengan alam sekitarnya : dengan hutan, dengan laut, dengan danau, dengan sungai, dengan gunung, dan dengan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan di alam. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa cara berpikir, berperilaku, dan seluruh ekspresi serta penghayatan budaya masyarakat adat sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh relasi dengan alam sebagai bagian dari hidup dan eksistensi dirinya.
Dalam komunitas ekologis itu, masyarakat adat – sebagai mana misalnya yang ditemukan pada suku Maori dan suku- suku di India- memahami segala sesuatu di alam semesta ini sebagai terkait dan saling tergantung satu sama lain. Begitu juga dengan suku-suku yang ada di Maluku Utara, Makian misalnya. Dalam tradisi membuka lahan baru (menebang hutang untuk berkebun), atau tradisi oleh masyarakat nelayan tradisional Ternate sebelum melaut harus lebih dulu dilakukan upacara ritual untuk menghormati alam sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai atau kekuatan magis, maka sesajen-sesajenpun harus diberikan kepada roh-roh penunggu alam semesta. Ketika alam murka dan gunung memuntahkan laharnya, tradisi Kolili Kie adalah sebuah solusi dimana masyarakat bersama Sultannya mengelilingi pulau Ternate dengan memakai perahu-perahu tradisional, mereka meminta supaya alam jangan lagi murka, dan percaya atau tidak, alampun bersahabat lagi dengan manusia. Alam dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Sebaliknya, dan perkembangan kehidupan manusia menyatu dengan proses evolusi dan perkembangan kehidupan alam semesta seluruhnya. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang didasarkan pada kekerabatan hidup dan hidup layak sebagai manusia dalam arti seluas-luas dan sepenuhnya, manusia bergantung pada alam, bukan hanya pada sesama manusia.
Mengapa kearifan tradisional yang dikenal di seluruh dunia mengalami erosi, kalau bukan punah? Ada beberapa jawaban yang bisa diberikan di sini, yaitu terjadi proses de-sakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Alam yang dipahami sebagai sakral oleh masyarakat adat dan menyimpan sejuta misteri yang sulit bisa dijelaskan dengan menggunakan akal budi, sehingga membangkitkan sikap kagum penuh rasa hormat, kehilangan sakralitas dan misterinya dalam terang ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Orang tidak lagi memandang gunung, hutan dan laut beserta isinya sebagai tempat yang sakral. Gunung Gammalama yang dulunya menghimpun berjuta misteri karena didalamnya tersimpan berbagai macam mitos dan takhyul serta kepercayaan yang akan menyelamatkan alam, sekarang diabaikan. Atas nama ilmu pengetahuan yang selalu dikaitkan dengan logika dan segelintir orang yang tidak mau dicap kampungan karena selalu merasa dirinya orang modern, mereka tidak lagi memperdulikan kelestarian tempat-tempat yang dianggap sakral. Sepanjang jalan menuju ke puncak Gammalama bertebaran sampah-sampah an-organik yang tidak akan musnah meskipun tulang belulang kita telah musnah, pohon-pohon besar yang menyimpan begitu banyak misteri, sekujur tubuhnya dipenuhi dengan coretan-coretan yang tidak bermakna, alampun menangis!
Bersama dengan itu, kekuatan magis alam menjadi hilang. Terjadi desakralisasi alam, yang membuat alam tidak lagi menarik untuk dihormati, disembah, dan dipelihara penuh takjub. Maka, manusia pun melihat dirinya begitu agung dan superior berhadapan dengan alam yang tidak berarti sama sekali. Oleh karena itu, sikap hormat, perilaku merawat, mencintai dan menjaga keharmonisan atau hubungan baik dengan alam menjadi tidak relevan dan tidak punya tempat lagi.
Penduduk asli merupakan satu-satunya penjaga habitat-habitat luas yang tidak terganggu di bagian-bagian terpencil setiap benua. Wilayah-wilayah ini, yang kalau digabungkan meliputi suatu daerah yang lebih luas dari pada Australia, memberikan pelayanan -pelayanan ekologi yang penting : mereka itu mengatur siklus air, mempertahankan stabilitas iklim setempat dan global, dan memuat kekayaan hayati serta keanekaragaman genetik. Memang, tempat tinggal penduduk asli boleh jadi merupakan tempat perlindungan yang aman bagi lebih banyak spesies tumbuhan dan binatang yang terancam dari pada seluruh cagar alam di dunia. Apalagi penduduk asli kerapkali memegang kunci gudang-gudang keanekaragaman hayati ini. Mereka mempunyai kumpulan pengetahuan ekologi yang tertulis dalam bahasa, kebiasaan, dan praktek-praktek subsistensi mereka yang menyaingi perpustakaan-perpustakaan ilmu pengetahuan modern.
Di seluruh dunia, penduduk asli/masyarakat adat sedang berjuang untuk memperoleh wilayah nenek moyang mereka. Mereka berjuang di pengadilan-pengadilan dan parlemen-parlemen nasional, mendapatkan kekuasaan melalui gerakan-gerakan massa baru serta kampanye-kampanye international, dan sebagaimana di lereng-lereng Gunung Apo membela warisan mereka dengan nyawa mereka, Pertanyaannya adalah, Siapakah yang akan berjuang bersama mereka?.
Penduduk asli (atau penduduk “setempat” atau “suku-suku”) ditemukan di setiap benua dan di kebanyakan negara. Amat beragamnya cara hidup mereka serta keadaan mereka sekarang memustahilkan membuat batasan yang gampang. Memang, banyak ahli antropologi menegaskan bahwa penduduk asli/masyarakat adat hanya didefinisikan oleh cara mereka mendefinisikan diri mereka sendiri. mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai anggota bangsa yang khusus. Namun, banyak kebudayaan asli mempunyai sejumlah sifat yang sama sehingga mempermudah untuk melukiskannya, kalau tidak mendefinisikannya.
Jadi siapakah yang dapat digolongkan kedalam penduduk asli itu? Mereka biasanya keturunan penduduk asli suatu wilayah yang diambil alih oleh orang-orang luar yang lebih kuat. Mereka berbeda dengan kelompok dominan negara mereka dalam hal bahasa, budaya atau agama. Kebanyakan mempunyai konsep penjagaan terhadap tanah serta daya sumber daya lain, sehingga dengan mendefinisikan diri mereka sendiri dalam hubungannya ke habitat tersebut tempat mereka mencari nafkah. Lazimnya mereka hidup di dalam atau mempertahankan hubungan-hubungan yang kuat dengan ekonomi subsistensi : banyak yang menjadi atau keturunan dari pemburu- pengumpul, nelayan, penggembala, berpindah-pindah atau musiman, petani perambah hutan, atau petani subsistensi. Dan hubungan-hubungan sosial mereka kerapkali bersifat kesukuan, menyangkut pengelolaan bersama sumber daya –sumber daya alam, jaringan ikatan-ikatan yang sangat kuat antara individu-individu, dan pengambilan keputusan secara berkelompok, kerapkali dengan musyawarah di antara penatua.
Penebangan hutan, secara istimewa, merupakan ancaman karena begitu banyak penduduk asli tinggal di hutan–hutan, para kontraktor bangunan jepang, misalnya tengah melahap hutan-hutan kayu keras kuno di Kalimantan di wilayah tropis, tempat tinggal suku Penan dan suku-suku Dayak lainya. Hal ini terjadi juga di Maluku Utara, dengan rakusnya para pengusaha kayu dari Malaysia melahap habis hutan-hutan kita yang berada di daratan Halmahera, yang tinggal hanyalah hutan-hutan gundul yang merana. Para pengusaha kayu pulang dengan kekayaan melimpah sementara masyarakat asli hanya terpuruk meratapi nasib hutannya yang dilibas habis.
Akibat-akibat penambangan di tanah-tanah milik suku bersifat merusak juga. Pada akhir tahun 1980-an, misalnya, puluhan ribu pencari emas memasuki tempat hunian suku Yanomami di bagian utara Brasil yang sangat terpencil, kelompok besar terakhir dari penduduk asli di Amerika. Para penambang mengubah kali-kali menjadi tempat pembuangan tinja, mencemari lingkungan hidup itu dengan 1.000 ton merkuri beracun yang mereka gunakan untuk memurnikan emas, dan mempercepat datangnya wabah malaria yang membunuh lebih dari 1.000 anak-anak dan orang-orang tuanya.
Hal yang sama terjadi juga di daerah kita, sekarang ini banyak sekali penambangan-penambangan yang tidak memperdulikan kelestarian lingkungan, mulai dari penambangan emas, nikel dan lain sebaginnya, tanpa memperdulikan hak dari masyarakat adat/penduduk asli mereka menambang tanpa memikirkan dampaknya bagi keberlangsungan hidup umat manusia yang ada di sekitarnya. Kejadian di Brasil akan mungkin terjadi juga di kita, kalau kita tidak mengindahkan etika lingkungan yang selama ini kita sengaja abaikan.

ANAK JALANAN DAN KONVENSI HAK ANAK

IRZA ARNYTA DJAFAAR M. HUM

Apa hadiah terbaik untuk anak? Masa kanak-kanak! Demikianlah kata orang bijak. Segala macam hadiah permainan dan benda tidak berharga kalau dibandingkan dengan masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak seharusnya masa yang penuh canda, permainan, dan kesempatan untuk belajar semaksimal mungkin, karena masa-masa antara menangis dan tertawa hanya berjarak pendek. Periode dalam hidup kita mudah diberikan kata-kata manis dan lembut serta belaian kasih dapat diharapkan setiap saat, dan tingkah manja dapat memperoleh tanggapan positif. Ini yang dialami oleh kita semua. Kita bermain dan belajar sampai mencapai usia 18 tahun. Bagi beberapa di antara kita bahkan sampai usia 25 tahun belum mempunyai tanggung jawab yang cukup besar. Bagaimana dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa di usia yang sangat dini mereka mempunyai tanggung jawab yang sangat bersar untuk dirinya sendiri dan keluarganya.
Amin, yang berusia 11 tahun, sehari-hari hidupnya di jalanan di depan Bank BNI, tugasnya sehari-hari adalah menutup kendaraan roda dua (motor) dari cuaca panas, sekaligus menjaga keamanan dari motor tersebut. Demikian juga halnya dengan Umar, berumur 10 tahun dan duduk dibangku Sekolah Dasar kelas IV, pekerjaannya sama dengan Amir. Yang membedakan mereka adalah lokasi tempat mereka mengais rejeki, kalau Amin di seputaran Swering, Umar di depan salah satu Mini Market (Swalayan) di Kota Ternate. Selain mereka berdua masih banyak lagi anak-anak usia sekolah yang mengais rejeki di jalanan.
Tanggung jawab mereka cukup besar, karena tanpa kontribusi tenaganya maka orang tuanya akan sangat kesulitan untuk menafkahi hidupnya. Amin, mempunyai penghasilan sehari rata-rata Rp. 10.000. Rp.5000 diberikan kepada ibunya untuk makan mereka sehari-hari, dan Rp.5000 nya lagi untuk ditabung, tabungannya nanti dibongkar ketika Amin memerlukan untuk membeli seragam atau buku-buku sekolahnya serta membayar uang sumbangan pendidikan. Untuk pekerjaannya sekali menutup motor Amin akan diberikan uang jasa antara Rp.500 sampai Rp.1000 tergantung kebaikan dari yang empunya motor.
Uang yang mereka terima tidak sepadan dengan keselamatan dan kesehatan mereka di jalanan. Dari segi keselamatan mereka tentu saja tidak aman, karena sering terjadi kecelakaan di saat mereka memburu kenderaan yang mau mereka jaga, karena ketika motor belum berhenti mereka akan berebutan, belum lagi dengan lalulalang kenderaan di jalanan yang ngebut seenaknya sangat membahayakan jiwa mereka. Dari segi kesehatan, mereka setiap hari menghirup asap knalpot yang mengandung gas beracun, sehingga penyakit seperti paru-paru dan sakit mata akan sangat rentan terjangkit, belum lagi penyakit kulit, karena sering terkena panas matahari dan kena pengaruh udara malam yang dingin. Jadi dalam segala hal anak-anak jalanan ini akan sangat dirugikan. Selain resiko fisik anak juga harus menanggung beban psikis, seperti mendapat perlakuan dan perkataan kasar, pelecehan seksual dan lain sebagainya.
Di seluruh dunia saat ini diperkirakan terdapat 300 juta anak yang terpaksa bekerja, setengahnya atau sekitar 100-150 juta terdapat di Asia, kebanyakan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jumlah pekerja anak di seluruh dunia bertambah dengan 80.000 anak perhari. Di Indonesia sendiri perkiraan resmi mengenai jumlah pekerja anak berkisar 2, 45 juta anak, dan bakal bertambah banyak lagi kalau sudah di survey sampai ke Maluku Utara mengingat bahwa pasca konflik pasti meninggalkan dampak, salah satunya adalah anak-anak jalanan yang bermunculan. Sebelun konflik horisontal terjadi di Maluku Utara pada era 90-an pernahkah kita melihat anak-anak jalanan?
Ada beberapa sebab penyebab keberadaan pekerja anak, salah satunya dan yang utama adalah “Kemiskinan”. Jika kelangsungan hudup keluarga menjadi terancam oleh kemiskinan, maka seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak terpaksa dikerahkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Padahal Convention on the Right of the Children atau Konvensi Hak anak yang dibuat di Jenewa pada tahun 1989 merupakan wujud upaya penangulangan atas keprihatinan negara-negara terhadap permasalahan anak termasuk di dalamnya adalah anak jalanan. Indonesia sebagai salah satu negara yang menyepakati, meratifikasi CRC pada tahun 1990. Pasca event ini permasalahan anak lebih mendapat perhatian. Beberapa program dibuat untuk mengatasi permasalahan anak-anak, baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun lembaga-lemabaga Swadaya non pemerintah. Dengan program-program ini ada identifikasi sektor-sektor yang melibatkan anak dalam kerja juga gambaran eksploitasi yang terjadi, misalnya keterlibatan anak di jalanan, nelayan, industri dan perkebunan. Mudah-mudahan hal ini sudah disentuh oleh pemerintah daerah kita dan lembaga-lembaga swadaya lainnya, karena suatu permasalahan yang tidak diungkap, akan tenggelam begitu saja, tidak ada keberpihakan, perjuangan, perubahan terhadap pihak-pihak yang tercerabut hak-haknya dalam hal ini adalah anak-anak jalanan yang penulis yakin, ditangan merekalah terjamin masa depan sebuah bangsa. Selamat Hari Anak!

“Mau Maju dalam Pendidikan, Belajarlah dari Jembrana dan Tanah Datar”

Irza Arnyta Djafaar M. Hum
Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Khairun Ternate
(Pemerhati Pendidikan)

Bagi orang Jembrana di Bali yang namanya pendidikan dan kesehatan bukanlah barang mewah dan mahal, begitu juga untuk maasyarakat Tanah Datar di Sumatera Barat, bagi mereka pendidikan adalah hal murah yang bisa mereka nikmati sepuas-puasnya. Sebuah hal yang sangat langka bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, karena untuk Indonesia pendidikan dan kesehatan tetaplah menjadi barang mewah, hal ini disebabkan karena ketidakperpihakan pemerintah daerah untuk mau memperhatikan kedua hal tersebut. Di daerah lain di Indonesia orang akan enggan berobat karena mahalnya tarif dokter dan mahalnya obat-obatan, kalaupun ada dan murah pasti pelayanannya yang sangat kurang. Demikian juga untuk bidang pendidikan, berbagai uang pungutan selalu ada dengan berbagai macam dalih dan alasan yang ujung-ujungnya selalu menyusahkan orang tua murid.
Hal ini berbeda dengan Pemda Jembrana, Pemda telah menyubsidi seluruh kebutuhan Sekolah Negeri dari tingkat dasar hingga menengah atas. Seluruh ongkos belajar mengajar didalam kelas, hingga ekstra kurikuler murid disekolah ditanggung Pemda. Jumlah subsidi berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi sekolah, terutama jumlah murid dan pengajar. Dan untuk meningkatkan kualitas dan mutu guru terdapat sejumlah program bagi guru yakni pemberian insentif tambahan untuk guru setiap jam Rp. 5000,- (diluar tunjangan guru) dan bonus Rp. 1.000.000,- setiap tahun atau sebagai gaji ke 14.
Terbuka pula kesempatan melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi bagi guru dengan biaya sebagian ditanggung Pemda Jembrana. Guna membayar insentif guru itu saja Pemda Jembrana mengalokasikan Rp. 5,1 Milyar pada tahun 2004. Tidak heran muncul kelakar diantara pegawai Pemda bahwa profesi paling enak saat ini di Jembrana adalah menjadi seorang guru. Dengan demikian yang namanya impian guru Indonesia bisa sama dengan guru di negara Jepang yaitu profesi mulia karena terhormat dan mendapatkan fasilitas yang memadai bisa juga terjadi di negara kita.
Dana untuk membayar intensif dan lain-lain diperoleh dari PAD Jembrana yang hanya Rp. 11,5 Milyar. Jika ditambahkan dengan total pembagian dari pusat, total APBD Rp. 232 Milyar. Dan yang membanggakan, berdasarkan APBD 2004 Jembrana tidak berutang sama sekali. Hal ini dikarenakan beberapa kebijakan yang cukup ekstrim yang diambil oleh Pemda Jembrana antara lain perampingan dan penyederhanaan organisasi. Jumlah karyawan tidak dipotong, akan tetapi jumlah pejabat eselon IIb, IIIb, IVa, dikurangi drastis. Otomatis tunjangan jabatannya berkurang. Mobil dinas cukup dengan menyewa karena jauh lebih murah, tidak perlu perawatan, dan dapat selalu memilih jenis terbaru. Demikian pula dengan fasilitas rumah. Efisiensinya luar biasa mereka bisa mendapatkan Rp. 2 Milyar mulai tahun 2003. Dengan upaya dasar kualitas hidup itu diharapkan warga Jembrana menjadi sehat dan cerdas. Yang saat ini masih kanak-kanak begitu dewasa mampu menginterfensi keluarga dan masyarakatnya. Ujungnya, visi Jembrana adalah sejahtera, adil, iman, dan budaya tidak lagi menjadi sebuah khayalan atau mimpi kosong. Kapan masyarakat Maluku Utara bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.
Bupati Jembrana Prof. Dr. drg I Gede Winasa menyebutkan Jembrana bisa membebaskan biaya pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas utnuk semua murid sekolah negeri dan memberi beasiswa yang besarnya antara Rp. 7.500,- hingga Rp. 20.000,- per bulan untuk siswa SD hingga SLTA Swasta yang berprestasi gurupun diberi kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan.
Dalam efisisensi sarana Winasa menyatukan semua kantor kabuten didalam satu lokasi sehingga menghemat biaya listrik dan mempercepat rantai komando. Peningakatan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan melaui sistem Bolck Grant dan bukan proyek sehingga efisiensi penggunaan dana meningkat sebanyak 15 – 30 persen selain meningkatkan partisipasi masyarakat dalm pendidikan yang rata-rata sampai 40 persen karena yang mengerjakan adalah komite sekolah.
Senada dengan Bupati Jembrana, Bupati Tanah Datar Masriadi mengatakan bahwa langkah pertama pelayanan unggul untuk pendidikan adalah penetapan rasio guru dan murid. Ia berpendapat idealnya seorang guru membina maksimal 25 murid supaya terjadi komunikasi intensif dalam proses belajar mengajar. Guru tak hanya mengajar, tapi tahu betul keadaan murid dirumah dan lingkungannya.
Penyediaan sarana dan prasarana dasar untuk kelangsungan pendidikan, seperti gedung sekolah, guru, dan kurikulum adalah tanggung jawab pemerintah. Begitu juga terselenggaranya pendidikan yang baik aman dan lancar. Dengan demikian setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya setelah mengenyam pendidikan minimal tertentu. Namun partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk terlaksananya pendidikan tersebut serta peningkatan kualitasnya. Partisipasi tersebut antara lain melalui Komite sekolah, pembayaran uang sekolah, dan bantuan lain sesuai dengan kemampuan.
Dana partisipasi pendidikan oleh masyarakat itu digunakan untuk membayar gaji guru honor, menambah buku perpustakaan, mengadakan alat peraga pendidikan dan kebutuhan lain untuk peningkatan kualitas sekolah yang bersangkutan. Di Tanah Datar dana partisipasi masyarakat seperti uang sekolah tak begitu besar : Rp. 10.000 hingga Rp. 30.000 per bulan. Kebijakan lanjutan dari sokongan masyarakat ini adalah apabila suatu sekolah tak mancapai kemajuan, Kepala Sekolahnya diganti oleh yang mampu dan punya kompetensi lulus TOEFL ujian bahasa Inggris.
Berkaitan dengan upaya peningkatan peningkatan mutu guru dan kesiapan memasuki era globalisasi., pemda Tanah Datar telah mengirimkan 15 guru bahasa Inggris SMU di Tanah Datar mengikuti kursus singkat di Adelaide Language School, Australia. Sepulang dari Australia setiap guru selain menularkan pengalamannya kepada guru lainnya, juga diminta menyiapkan pola dan strategi yang cocok untuk pengajaran bahasa Inggris dan membentuk English Club. Di Tanah Datar setiap sekolah punya satu laboratorium komputer. Melalui program One School One Computer Laboratorium, peserta didik ditargetkan dapat menggunakan komputer dan internet. Kini sudah ada 400 unit komputer yang menyebar diberbagai sekolah. Tahun 2005 ini akan ada tambahan sebanyak 1.000 unit. Pemerintah kabupaten Tanah Datar merencanakan dalam tiga tahun ini memfasilitasi pembentukan laboratorium komputer di SLTA, SLTP, Madrasah dan SD sehingga rasio peserta didik dan komputer nanti akan 1 : 50.
Salah satu indikator meningkatnya mutu pendidikan di Kabupaten Tanah Datar dapat dilihat dengan terus menigkatnya jumlah mahasiswa asal Tanah Datar yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, baik melaui program tanpa tes, beasiswa maupun melalui tes sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Untuk Sumatera Barat, prestasi pendidikan di Kabupaten Tanah Datar sungguh mengejutkan. Tanggal 16 Agustus 2004 Bupati Masriadi Martunus meraih Piagam Penghargaan sebagai pengelolah pendidikan terbaik dari gubernur Sumatera Barat.
Jadi sudah selayaknya kita bercermin dan banyak belajar kepada dua orang Bupati dengan daerah yang dipimpinnya yaitu Jembrana dan Tanah Datar, karena Lembaga bergengsi semacam Lembaga International Partnership dan Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, sebagai satu dari tujuh Kapubaten terbaik dari 400 lebih kabupaten dan kota di Indonesia.
Maluku Utara belum tertingal, yang penting kita masih punya keinginan yang kuat untuk memperbaiki diri, hal ini bukanlah hal mustahil yang tidak bisa dilakukan. Bukankah Tanah Datar yang menjadi salah satu kabupaten terkecil di Sumatera Barat (luas 133.600 hektar) dengan jumlah penduduk 329. 962 jiwa pada awalnya tidak pernah dikenal dan nyaris tidak pernah tersentuh prestasi yang membanggakan, sekarang bisa bangkit dan dikenal oleh daerah-daerah lain di Indonesia bahkan di luar negari.

“Pengungsi dan Nurani Kemanusiaan Kita”

Irza Arnyta Djafaar
Dosen Fakultas Sastra Universitas Khairun Ternate

Terhenyak penulis ketika membaca sebuah media lokal dan nasional membeberkan tentang kondisi pengungsi yang ada di Maluku Utara (Kota Ternate).Sebagai manusia yang mempunyai hati nurani pernahkah kita pikirkan sejenak nasib mereka. Sebagai manusia terkadang kita lalai, karena hal-hal yang menjadi prioritas kita selalu bertumpu ke masalah hukum dengan korupsinya, ekonomi, politik sampai ke masalah budaya, itu yang selalu kita dengungkan, sementara yang ada di depan mata kita berpura-pura tidak tau, padahal masalah pengungsi ini dapat kita kaitkan kesemua aspek yang disebut tadi. Disini tidak akan dibahas menyangkut benar tidaknya atau atau siapa yang paling benar dalam hal ini, apakah pemerintah daerah kita ataukah para pengungsi, tetapi sampai sejauh mana nurani kita akan terketuk dengan sisi kemanusiaan.
Keadaan Pengungsi
Inilah fakta yang dikutip dari koran Kompas, 29 Mei 2005. Di lokasi penampungan pengungsi yang merupakan bekas gudang kopra milik sebuah perusahan minyak goreng (Gudang Bimoli) di daerah Tanah Raja, Kelurahan Muhajirin, Ternate Selatan, sekitar 300 keluarga pengungsi hidup berdesak-desakan. Meraka terbagi dalam tiga blok gudang dan hidup tersekat -sekat dalam bilik yang sebagian besar berdinding kardus. Setiap keluarga yang rata-rata terdiri atas empat hingga lima orang anggota itu tinggal di dalam bilik berukuran 3 x 4 meter. Bandingkanlah dengan keadaan kita yang biasanya menempati satu kamar untuk kita sendiri.
Atap Gedung yang rendah membuat udara dalam gudang terasa panas dan gelap. Meskipun siang hari, di dalam ruangan terlihat gelap. Bilik -bilik kardus yang berdesakan tak beraturan membuat suasananya semakin suram. Para pengungsi lebih memilih beraktivitas di luar gudang untuk memperoleh udara segar dan menghindari suasana sumpek. Sementara kita lebih menikmati kamar kita karena berpendingin udara yang akan membuat kita merasa betah dan nyaman.
Saluran air pun banyak yang mampat. Sejumlah genangan air hitam terdapat di sekitar lokasi pengungsian. Saat hujan turun, seperti yang sering terjadi , air pun masuk ke dalam gudang dan membanjiri bilik warga dengan ketingian air hingga sebatas betis orang dewasa.
Dalam lokasi pengungsian yang dihuni sekitar 1.300 jiwa tersebut hanya terdapat sebuah kamar mandi dan kakus. Sumber air pun hanya satu yang digunakan oleh warga secara bersama- sama. Saluran pembuangan dari kakus pun sudah rusak sehingga kotoran dan air limbah tercecer di mana-mana. Hewan piaraan seperti anjing bebas berkeliaran. Kita yang mempunyai tiga kamar mandi dengan lima orang penghuni kadang saja bisa antri karena menunggu, bagaimana dengan perbandingan 1.300 jiwa berbanding satu kamar mandi dan kakus. Coba kita renungkan, terlalu enak hidup kita dibandingkan mereka yang ada di pelupuk mata.
Rentan Penyakit
Kondisi sanitasi dan lingkungan yang buruk membuat para pengungsi rentan terhadap sejumlah penyakit. Penyakit yang sering menjangkit warga di antaranya adalah muntaber, malaria, dan sesak napas. Jika warga berobat ke puskesmas atau rumah sakit milik pemerintah, mereka tidak dikenai biaya, sedangkan bila berobat ke rumah sakit swasta, warga harus menanggung biayanya.
Karena buruknya sanitasi dan kondisi tempat tinggal yang jauh dari memadai, maka berbagai macam penyakit dengan mudah dapat menghinggapi mereka. Kondisi di tempat pengungsi lain di Ternate tidak jauh berbeda dengan di gudang Bimoli. Tempat lain yang di jadikan lokasi penampungan pengungsi di Ternate di antaranya bekas Bioskop Benteng dan bekas Pusat KUD Halmahera Jaya. Para pengungsi mendiami bekas gudang kopra tersebut sejak tahun 2003 setelah mereka di pulangkan dari Bitung dan Manado. Warga mengungsi dari Maluku Utara ke Sulawesi Utara akibat konflik yang terjadi tahun 1999. Sebanyak 125 keluarga dari 300 keluarga pulang dengan biaya sendiri.
Namun setelah kembali ke Ternate, warga bingung harus tinggal di mana. selama di pengungsian warga tidak punya gambaran untuk pulang karena rumah dan tanah milik mereka sudah di jual saat pergi mengungsi. Ada pun yang masih memiliki rumah, tetapi sudah dihuni pengungsi lain. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada mereka karena kalau kita diposisikan seperti mereka, kita juga akan melakukan tindakan seprti yang mereka ambil. Pada waktu terjadi konflik dalam keadan tertekan dan ketakutan mereka harus merelakan harta bendanya terutama rumah untuk dijual daripada rumah tersebut akan hancur dirusak massa. Bagaimana sakitnya perasaan kita ketika tempat tinggal kita yang dibangun dengan hasil kredit sedikit demi sedikit hancur dirusak orang. Daripada rusak lebih baik rumah tersebut dijual meskipun dengan harga yang tidak masuk akal. Bayangkan saja rumah-rumah tersebut di jual dengan harga ada yang cuma 12 juta, demi mendapatkan sedikit uang supaya bisa cepat-cepat keluar dari daerah konflik. Hal tersebutpun dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak mempunyai hati nurani. Ada yang rumahnya dititipi untuk dijaga nanti keadaan aman baru mereka pulang, ternyata dijual dengan memalsukan tandatangan dan semua berkas dari rumah tersebut. Akhirnya ketika pulang merekapun tidak mempunyai tempat tinggal lagi Karena itu, para pengungsi meminta untuk segera direlokasi ke daerah mana pun di Maluku Utara, khususnya ke Tobelo atau Jailolo.

Masalah Sosial
Yang tidak pernah terpikirkan dampak dari tempat tinggal pengungsi yang berjumlah banyak ini adalah masalah sosial. Diantaranya cepat atau lambat akan terjadi tindakan kriminalitas. Disamping itu masalah sosial lainnya adalah akan terjadi perbuatan-perbuatan a moral, hal ini dikarenakan yang hidup disini adalah keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anak. Kalau anak-anaknya masih kecil mungkin tidak masalah tapi kalau anak sudah besar, dia kan melihat hubungan orang dewasa yang tidak pantas dilihatnya, dan hal ini akan berakibat buruk bagi si anak tersebut bisa-bisa adegan tersebut dipraktekkan ke orang lain.
Kebutuhan biologis untuk orang dewasa juga akan semakin susah untuk bisa disalurkan, dan ini bisa berakibat yang negatif juga. Dan ketika mereka tidak mendapat pekerjaan tetap yang layak, maka pekerjaan-pekerjaan tidak halal pasti akan di lakukan, tidak menutup kemungkinan pekerjaan-pekerjaan yang mengarah pada masalah sosial prostitusi misalnya bisa menjadi alternatif bagi mereka. Dan sebelum hal ini terjadi, marilah kita bersama-sama mencari solusi yang tepat untuk para pengungsi, yang merupakan saudara-saudara kita juga karena mereka telah mendiami Ternate jauh sebelum kita diami. Kita tidak perlu mencari kambing hitam untuk mengatakan siapa yang benar dan salah, tapi mencari jalan keluar yang baik agar masalah-masalah sosial seperti yang digambarkan di atas jangan sampai terjadi, mumpung belum terjadi!

“MENANTI SANG PEMIMPIN YANG BERVISI KELAUTAN”

(Refleksi Untuk Calon Gubernur Maluku Utara 2007-2012)
Asmar Hi. Daud
Sekretaris DPD HNSI Maluku Utara
Fenomena Suksesi
Pemilihan kepala daerah (Gubernur) langsung Maluku Utara 2007-2012 masih terbilang satu tahun lagi. Dan saat ini wacana tentang siapa bakal calon ke depan sudah mulai ramai dibicarakan public. Tidak hanya di tingkat komunitas politik paling atas, pada level masyarakat paling bawah sekali pun fenomena suksesi Gubernur tersebut terasa begitu hangat di telinga kita. Di ruang publik apa saja, kapan, dan mana saja, pasti kita temukan perbincangan seputar hal itu. Mulai dari siapa saja bakal calon, dari mana asal-usul dan latar belakangnya, sampai seperti apa strategi dalam kepemimpinannya nanti menjadi wacana dan isu yang paling menarik diperbincangkan. Bahkan secara gamblang dan cerdas dipetakan oleh publik di negeri ini. Luarrr biasa memang! Kalau kita mencermati dan mengikuti terus perkembangan politik-demokrasi menjelang suksesi Gubernur Maluku Utara 2007-2012 itu.
Wacana dan isu-isu strategis dalam setiap kali pergantian kepemimpinan (suksesi) di mana pun dan negeri siapa pun, sudah menjadi suatu hal yang biasa. Apalagi masyarakat-rakyatnya hidup di sebuah negeri yang notabene sangat demokratis. Akan tetapi, yang sangat fenomenal tentunya adalah harapan dan cita-cita rakyat ketika itu. Rakyat tidak hanya ikut terlibat dalam pesta demokrasi, karena substansi dari demokrasi itu sesungguhnya adalah milik rakyat. Tetapi lebih dari itu, ada segudang harapan baru yang lahir di tengah-tengah mimpi-mimpi mereka. Rakyat tidak hanya sekedar menentukan siapa pemenangnya dalam sebuah adegan politik-demokrasi yang dilakoninya, Selebihnya, rakyat juga ingin ikut serta merekonstruksi dan menentukan arah kebijakan pembangunan di negerinya. Agar kelak orang-orang (figure) atau kandidat yang mereka pilih, harapan dari mimipi-mimpi dan cita-cita mereka itu dapat terwujud. Inilah yang semestinya disadari oleh setiap pemimpin yang telah diberikan amanat dan kepercayaan oleh rakyat kepadanya.
Dalam konteks ini, suksesi Gubernur Maluku Utara 2007-2012 nantinya merupakan momentum awal yang sangat strategis dan menentukan. Karena selain rakyat Maluku Utara sendiri yang melakoni proses tersebut untuk yang pertama kalinya dalam sejarah politik-demokrasi di negeri ini, sejak negeri Maluku Utara dimekarkan menjadi sebuah propinsi, masa depan kita dan negeri ini juga sangat ditentukan oleh siapa yang akan kita pilih (siapa yang akan memimpin kita nanti). Sudah tentu, ini merupakan kesempatan emas buat kita (rakyat Maluku Utara) untuk mengubah sejarah, masa depan dan negeri yang kita cintai ini. Maka tidak ada harapan lain, kecuali peristiwa politik-demokrasi yang akan kita lakoni nanti, dengan bekal kedewasaan dan kecerdesan kita semua, kita bisa melahirkan pemimpin yang cerdas, jujur, amanah, visioner serta punya komitmen yang kuat untuk membangun negeri Maluku Utara ke depan yang lebih baik.
Meski terkesan masih samar. Sekarangpun gendang perang itu sudah mulai ditabu. Dan untuk memenuhi ambisi politik mereka, hal apa yang tidak bisa mereka lakukan? Ya! Kalau bukan untuk menarik simpati rakyat!. Fenomena ini akan semakin jelas ketika masa kampanye mulai tiba. Saat itu tentu kita tidak sekedar disuguhkan sebuah tontonan biasa. Berbagai spanduk, poster, pampflet dan atribut kampanye lainnya, hingga debat para kandidat di media massa, menjadi ajang perang yang sangat menarik untuk disimak. Slogan-slogan dan yel-yel para pendukung masing-masing kandidat pun akan membahana memenuhi ruang public saat itu. Mereka pasti saling berlomba merebut simpati rakyat pemilihnya. Janji-janji manis bukan lagi hal yang baru. Dari masalah pokok-kebutuhan dasar masyarakat, isu pemberantasan KKN, penegakan hukum, transparansi, akuntabilitas, berpihak kepada rakyat, sampai pada apa yang belum pernah didengar oleh kita, menjadi pemanis bibir para kandidat. Demikian pula visi-misi dan strategi dalam memimpin, pasti tidak luput dari agenda itu. Angin surga perubahan sudah menjadi sesuatu yang umum, biasa, dan sering dihembuskan ke telinga rakyat dalam setiap kali kegiatan kampanye. Tidak hanya itu, siapa pun dia, dengan penuh semangat akan mewujudkan kesejahtreraan dan kemakmuran negeri dan rakyatnya, jika katanya “ia” dipilih atau terpilih menjadi pemimpin. Semoga saja!

Negeri Lautan Visinya Daratan
Dari semua dagelan politik yang dilakoni para kandidat dalam setiap kali kegiatan kampanye selama ini, entah itu di tingkat pusat maupun daerah, pemilihan anggota legislative atau kepala pemerintahan, kita nyaris seperti tidak mendengar ada seorang kandidat yang menampakan atau mewarnai kegiatan kampanyenya pada isu-isu pembangunan kelautan dan perikanan. Biasanya, mereka (para kandidat) lebih senang memfokuskan perhatian dan kepeduliannya pada sektor-sektor lain yang dipandang lebih menjanjikan. Kalaulah ada kandidat yang menyebut bidang kelautan dan perikanan , toh itu hanya, sekedar pemanis bibir belaka. “Visi dan misi serta strategi” mereka pun cenderung lebih pada pandangan pembangunan berorientasi daratan. Padahal, sesungguhnya sector kelautan adalah salah satu keunggulan negeri kita. Fakta sejarah, maupun kekayaan sumber daya alam menunjukan, bangsa kita tidak terlepas dari budaya bahari. Selama berabad-abad nenek moyang kita mampu dan tetap eksis dengan bertumpuh pada hasil laut. Tapi entah, apakah karena konstruksi budaya dari sebuah kolonial yang ditinggalkan sebagai warisan, ataukah memang kita sendiri yang sengaja melupakan darah bahari yang mangalir di dalam tubuh kita sendiri, sehingga setiap generasi yang lahir sebagai pemimpin di negeri yang pernah dijuluki oleh Koes Ploes sebagai negerinya “kolam susu”, tidak pernah mencerminkan visi kebaharian dalam setiap kali kepemimpinannya.
Pada masa Orde baru, pemenuhan kebutuhan nasional, baik pangan, maupun sandang, di genjot dengan mendirikan pabrik-pabrik besar. Pulau Jawa dipandang sebagai kawasan yang paling siap dan sangat representative untuk pengembangan manufaktur tersebut. Pada akhirnya pembangunan yang berbasis daratan tersebut menimbulkan kesanjangan yang luar biasa lebarnya antara kawasan Barat dan kawasan timur Indonesia, yang terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi laut itu. Ketika hal tersebut berjalan selama fase pemerintahan Orde baru, negara ini juga kemudian kebingungan mau mengarah menjadi negara apa? Agraris, ataukah negara industri?. Kebingungan para pelaku kebijakan (pemimpin bangsa) dalam menetapkan visinya, serta komitmen untuk membangunan negeri ini dimulai dari mana, telah menempatkan bangsa ini di ujung kehancuran. Kebijakan dan pertumbuhan ekonomi bangsa yang pernah dibanggakan, ternyata hanya dibangun di atas fondasi yang keropos, yang kemudian sangat rentan terhadap badai krisis. Terbukti, pada tahun 1997 ekonomi bangsa ini hancur berantakan diterpa badai krisis itu. Pertanyaan kemudian adalah, apakah benar kehancuran ekonomi bangsa ini lantaran kita telah memalingkan wajah asli kita yang sesungguhnya, entalah?. Hanya sejarah yang tahu!
Perubahan Paradigma vs Lemahnya Dukungan Kebijakan Sector Kelautan
Wacana tentang perubahan paradigma pembangunan nasional dari format inland oriented menjadi ocean oriented telah ramai diperbincangkan dan menjadi isu nasional pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Puncaknya ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden ketika itu. Kontribusi besar seorang Gus Dur dalam meletakan sejarah politik Kelauatan dan Perikanan (KP) dibuktikan dengan kebijakannya mendirikan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP. R.I). Semangat dan Visi Gus Dur tersebut patut disambut gembira, mengingat negara kita adalah negara kepulauan dengan luas wilayah dan besarnya potensi kekayaan hayati laut yang dimilikinya cukup menjanjikan (diperkirakan lebih dari 80 juta U$ yang bisa kita genjot dari potensi kelautan ini setiap tahunnya). Potensi sumberdaya perikanannya apalagi!. Bayangkan, kalau secara nasional kita punya potensi perikanan laut lestari (MSY) mencapai 6,8 juta ton per tahun, dan, kalau saja nelayan kita bisa menangkap separu dari itu, berapa besar sumbangsi terhadap pendapatan nelayan dan negara. Maka tidak salah, kalau kemudian DKP memiliki harapan besar untuk menjadikan sector kelautan dan perikanan sebagai sector unggulan (leading sector) dalam pembangunan nasional. Harapan besar ini tercermin dalam Rencana Strategis (RENSTRA) DKP R.I 2002-2004 sampai saat ini. Sejatinya, sector K&P diharapkan bisa menjadi salah satu solusi krisis keterpurukan ekonomi bangsa.
Yang terjadi justru adalah Spirit dan visi kelautan yang sudah susah paya dibangun, ternyata belum juga berkinerja dengan baik seperti yang diharapkan. Bahkan dalam perjalannya terseok-seok seiring dengan pergantian estalase kepemimpinan bangsa. Hal mana bisa di lihat, dengan tidak maksimalnya kepemimpinan Megawati Soekarno Putri pasca Gus Dur dalam memanfaatkan terobosan Gerbang Mina Bahari yang dirancang oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai salah satu pilar untuk mendongkrat sector riil. Toh, bagaimana pun juga, DKP adalah Departemen teknis yang tidak memiliki kekuatan politik lebih untuk memaksa instansi lain untuk tunduk pada platform yang dirancangnya. Sehingga semestinya Megawati yang diharapkan menjadi nakhoda perjalanan sector Kelautan dan Perikanan tersebut, dengan menyandang trade mark atau “sebutan” sebagai ibu kelautan gagal memperolehnya. Hal yang sama terjadi pada rezim baru dengan semangat baru “Bersatu Kita Bisa” yang dipimpin oleh Sosilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kala. Visi kebaharian bahkan tidak pernah menemukan bentuknya dalam kabinet SBY-JK ini. Bahkan pada waktu itu, ada kecenderungan Departemen K&P digabungkan kembali dengan departemen pertanian. Tapi untungnya hal itu tidak terjadi.
Pertanyaannya dibalik lemahnya posisi tawar sektor KP dalam kebijakan ekonomi bangsa ini dijawab secara “sederhana" oleh salah satu Pakar sosial ekonomi Perikanan Arif Satria, yaitu bahwa masalah sector kelautan dan perikanan bukan semata-mata pada persoalan tehnis (tehnologi, ekonomi, manajemen, social dan budaya), melainkan lebih pada persoalan politik. Dan persoalan politik yang melatar belakangi lemahnya spirit dan visi KP menurut catatannya dapat di cermati dari beberapa aspek:
Pertama; visi membangun sektor Kelautan & Perikanan berbasis rakyat terganggu oleh kepentingan politik. Politik selalu menetapkan kepentingannya pada indicator-indakotor ekonomi yang menakjubkan (mengejar kecepatan pertumbuhan ekonomi) sebagai citra rezim, sehingga setiap kebijakan dituntut membuahkkan hasil secara cepat, dengan demikian rezim dianggap sukses. Kondisi demikian mendorong terulangnya pragmatisme pembangunan, yang ujung-unjungnya selalu menempatkan pelaku besar saja yang berkipra. Sementara nelayan kecil kita hanya gigit jari menunggu giliran yang tak kunjung datang. Hal ini mengingat nelayan betapapun sulitnya dalam jangka pendek dan cepat harus memenuhi target-target politik tersebut. Situasi ini akan mengulang kondisi masa lalu di mana pembangunan hanya bertumpuh pada pelaku besar.
Kedua; visi anggota legislative terhadap pembangunan sektor Kelautan & Perikanan masih bersifat jangka pendek, padahal DPR sangat powerful dalam menentukan anggaran pembangunan. DPR hanya bermain pada hitungan-hitungan sederhana, bahwa anggaran pembangunan disesuaikan dengan sumbangannya pada sumber pamasukan APBN. Kalau Departemen K&P (DKP) mendapat jata satu triliun rupiah, artinya ia harus menyumbang pendapatan negara bukan pajak (PNBP) lebih dari satu triliun. Sementara DKP saat ini hanya mampu menyetor sekitar 300 meliar rupiah. Tuntutan legislative seperti itu sangat kontraproduktif terhadap upaya menciptakan iklim investasi yang kondusive. Karena untuk memenuhi tuntutan DPR tersebut, mau tidak mau DKP harus gencar melakukan pengutan non pajak, yang tentu sangat tidak disukai oleh nelayan. Sementara legislative tidak terlalu melihat efek pengganda (multplier effect) dari pembangunan KP itu, seperti meningkatkan ekspor, terserapnya tenaga kerja, pendapatan masyarakat, dan beberapa variable penopang pertumbuhan ekonomi lainnya yang bersifat tidak langsung. Belum lagi nilai geopolitis yang kita peroleh saat sector KP mapan, serta nilai social saat identitas sebagai bangsa bahari kembali kita raih. Sehingga legislative (DPR) berfikir jangka panjang, dan tidak menjadikan DKP sebagai mesin uang. Departemen adalah regulator, dan mesin uang adalah BUMN atau sawasta.
Ketiga; terpinggirkannya nelayan kecil (nelayan tradisional) dalam proses politik tersebut terjadi karena rendahnya posisi tawar nelayan. Juga karena hubungan nelayan dengan pelaku usaha kecil kelautan (UKK) dengan Partai Politik belum berupa ikatan instrumental moral, melainkan secara emosional primordial, baik keagamaan maupun ketokohan, yang kemudian tidak berdampak pada signifikansi dalam memperjuangkan hak-hak dan nasip nelayan. Kasus illegal fishing oleh nelayan asing yang sangat mengganggu nelayan local diberbagai daerah, pemberian izin penangkapan ikan oleh aparat yang tidak mempertimbangkan kondisi nelayan setempat, tertangkapnya kapal nelayan asing maupun daerah lain oleh aparat yang tidak memliki dokumen perizinan yang jelas, kemudian dilepas, serta penggusuaran nelayan diberbagai tempat, tanpa perlawanan dan advokasi dari kalangan politisi atau wakil rakyat merupakan buktinya.
Di sini, jelas bahwa rasionalitas politik nelayan belum menemukan bentuknya, juga kesamaan makna tentang laut antara nelayan dan masyarakat politik belum terbangun. Padahal rasionalitas ini diharapkan menjadi, atau merupakan basis bagi ikatan instrumental, dan juga merupakan dasar kekuatan ikatan moral. Meski ada pengakuan dikalangan politisi bahwa laut sangat kaya, tapi langka politik yang dilakukannya tidak pro nelayan. Persoalan lain yang mungkin tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi lemahnya visi kelauatan dan perikanan adalah bisa jadi karena setiap anak bangsa yang dilahirkan sebagai pemimpin di negeri ini bukan berasal dari anak “seribu pulau” (bukan dari anak-anak pesisir-nelayan).
Otonomisasi dan Visi Daerah
Pergeseran peta kekuasaan dari pemerintahan yang sentralistik, yakni otoritarian negara yang sangat kuat terhadap rakyat menjadi pemerintahan yang mengedepankan desentralisasi yang lebih partisipatif telah terbukti menciptakan harmonisasi hubungan antara negara dan rakyat. Dalam konsep pemerintahan yang desentralistik, posisi tawar-menawar (beganing position) keduanya sama kuat dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari suatu program yang dikerjakan. Adanya pengakuan dari negara kepada rakyat itulah yang menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam dapat berjalan secara berkelanjutan (sustainable) karena mansyarakat merasa memiliki terhadap sumberdaya yang ada.
Pergeseran kekuasaan yang kemudian disiasati dengan pilihan kebijakan otonomi daerah merupakan suatu langka yang sangat strategis untuk menciptakan keadilan ekonomi-politik, social dan budaya, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Itu berarti, dalam konteks otonomi, kebijakan pembangunan suatu daerah tidak semestinya merupakan turunan atau cerminan dari kebijakan pembangunan ekonomi bangsa-negara, karena substansinya jelas ada pada semangat otonomisasi tadi (Baca: Otonomisasi). Apalagi suatu daerah otonom memiliki spesifikasi sumber daya alam yang merupakan cirri unggulan dari daerah itu. Perbedaan lingkungan strategis antara satu daerah dengan daerah yang lain diharapkan dapat mempengaruhi proses kebijakan yang ditempu. Dalam scenario otonomisasi ini pula, kebijakan pemerintah daerah harus disesuaikan, atau paling tidak diarahkan pada lingkungan strategis sesuai dengan karakteristik sumber daya alam yang dimilikinya, baik kebijakan dari aspek politik, maupun kebijakan dari aspek ekonomi sesuai dengan tuntutan kebutuhan lingkungan strategis dimaksud, serta pertimbangan karakteristik social-budaya masyarakat sebagai pelaku utama (stake kholders) pada sumber daya ini.
Dalam konteks Maluku Utara, lingkungan strategis yang dimaksudkan tidak lain adalah pontensi kekayaan sumber daya kelautan yang dimiliki oleh daerah ini. Julukan Maluku Utara sebagai Propinsi kepulauan dan negeri maritime-bahari memang layak kita disandang. Betapa tidak! Karena fakta geografis menunjukan demikian. Propinsi ini ditaburi ribuan pulau, dengan meminjam istilah orang Jawa pedalaman, negeri yang dikelilingi oleh danau asin-kolam garam (negeri perairan). Tak kurang dari 1470-an pulau yang dimiliki oleh Maluku Utara (laporan DPN R.I), dengan kurang-lebihi 76 persen dari total luas wilayahnya adalah lauatan (106.977,32 km2). Jumlah pulau yang ada ini mungkin merupakan yang terbanyak dari seluruh propinsi di Indonesia, dan dari sisi potensi sumber daya hayati kelautan yang dimilikinya merupakan bagian terbesar atau representasi dari negerinya “kolam susu”yang pernah ada di nusantara ini.
Sebagai bagian dari negerinya “kolam susu,” Maluku Utara memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya. Mulai dari perikanan pelagis besar, seperti tuna dan cakalang, perikanan pelagis kecil, perikanan domersal, ikan karang,-kerang (seperti kima, mutiara, lobster, teripang, bulu babi, dll), alga (rumput laut), udang, kepiting, dan sebagainya, sampai pada keunikan ekosistem pendukung yang merupakan rumah bagi kehidupan biota laut tersebut (seperti ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta ekosistem hutan pantai yang dikenal dengan bakau atau mangrove itu).
Belum lagi potensi budi daya laut yang bisa dikembangkan (budi daya rumput laut, lobster, ikan kakap, kerapu dan boronang dll), potensi budi daya air payau dan tambak (udang, kepiting bakau dan bandeng). Plus, jasa-jasa lingkungan pesisir dan keindahan-panorama alam bawah laut dari ribuan pulau-pulau kecil yang dimiliki oleh negeri ini yang bisa dijual sebagai asset wisata bahari). Dan masih banyak lagi sumber daya pesisir dan lautan lain yang belum teridentifikasi, yang bisa digenjot dan dimanfaatkan untuk masa depan negeri ini, kesejahteraan serta kemakmuran masyarakatnya. Didukung dengan peta demografis yang kurang lebih 90 persen penduduknya terdistribusi dan bermukim di kawasan pesisir dari pulau-pulau tersebut. Kondisi masyarakat Maluku Utara yang demikian menunjukan bahwa metabolisme ketergantungan ekologis dan ekonomi terhadap sumber daya pesisir dan laut, baik dari jasa-jasa lingkungan maupun sumber daya hayati yang tersedia merupakan sebuah konsekuensi logis (sangat besar), dan secara sosio-kultural, karakter masyarakat Maluku Utara sesungguhnya sudah sejak lama terbangun pada, dan dari sumber daya ini.
Dari fakta geografis, dengan besarnya “estimasi” potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki, serta dukungan masyarakat yang begitu besar ketergantungannya terhadap sumber daya ini, tidak berlebihan jika di era otonomisasi ini, harapan kita, Visi-Misi dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi Maluku Utara di arahkan ke sana (dari laut) dengan menjadikan sector Kelautan & Perikanan (KP) sebagai mascotnya (leading sector) pembangunan ekonomi Maluku Utara. Namun, meski lingkungan strategis sumber daya itu mendukung, dan ada jaminan-harapan bahwa negeri Maluku Utara akan makmur dan sejahtera, jika kita mampu mengelola dengan cerdas, dan memanfaatkan sebaik mungkin segenap potensi kekayaan sumber daya tersebut secara optimal dan berkelanjutan maka tidaklah mustahil, harapan itu adalah sebuah keniscayaan. Tapi, ternyata dukungan politik (polical will) maupun kebijakan pembangunan terhadap sector KP Maluku Utara serta masyarakat pesisir-nelayan sebagai pelaku utama di sector ini (antara legislative-eksekutif) masih jauh dari harapan. Bahkan, sumber daya dan pelaku utama pembangunan sector KP masih tetap saja dianaktirikan.
Komitmen dari mana negeri Maluku Utara akan dibangun, dan dari sumber daya alam berbasis local apa yang harus dijadikan prioritas pembangunan ekonomi di daerah ini semakin tidak jelas implementasinya. Apalagi di dalam dokumen perencenaan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Maluku Utara 2004-2007, sector KP yang konon ‘katanya’ merupakan visi Gubernur Makuku Utara ternyata hanya berada di bawah sector-sektor yang lain. Ketidak berpihakan pemerintah daerah dalam membangunan sector-sektor unggulan berbasis sumber daya alam local seperti pada sector KP ini semakin memperjelas ketidak berdayaan masyarakat pesisir-nelayan lokal dan keterpurukan kondisi sumber daya alam tersebut. Betapa tidak?!!!. Di satu sisi Maluku Utara bangga dengan luas dan besarnya potensi sumber daya kelauatan-perikanan yang dimilikinya, pada saat yang bersamaan masyarakat pesisir-nelayan local kita dibiarkan tumbuh bergelut dengan ketidak berdayaannya, terputus dan terisolasi secara geografis, serta ketiadaan akses teknologi yang tidak memadai. Data kemiskin dari sumber independen yang bisa dipercaya menunjukan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat Maluku Utara miskin, dan peresentasinya jauh lebih besar kepada mereka yang berada pada garis pesisir (masyarakat pesisir-nelayan). Padahal, masyarakat pesisir-nelayan punya akses sumber daya alam yang melimpah. Ironi lain yang sungguh-sungguh sangat mengecewakan adalah, ternyata sumber daya alam perikanan kita yang begitu melimpah lebih banyak dikuras habis oleh nelayan dari negeri lain. Ironis memang, tapi apa yang bisa diperbuat? Dan ketika sumber daya alam laut (ikanya) dijarah-dicuri oleh nelayan asing, mereka (para nelayan local kita) hanya bisa menjadi penonton di wilayah perairannya sendiri.
Maraknya kasus illegal fishing oleh nelayan asing, dan sederetan kegiatan perikanan lain yang tidak bertanggung-jawab (penggunaan bom dan pembiusan), selain jelas-jelas membunuh produktifitas nelayan local kita (semakin menurunnya produksi hasil tangkapan dari tahun-ke tahun), colapsnya dunia usaha perikanan, yang lebih mengkuatirkan lagi dari kegiatan illgal fishing tersebut adalah, adanya kecenderungan sumber daya perikanan utama di wilayah ini terancam habis. Gejala ini semakin jelas dengan ditandai semakin berkurang atau langkanya beberapa jenis ikan ekonomis penting di pasaran, dan ikan hasil tangkapan nelayan yang sudah mulai menunjukan ketidak sesuaian ukuran ikan yang layak tangkap. Jeritan kerugian meliyaran rupaih setiap tahun oleh beberapa Perusahaan Perikanan yang sudah lama eksis di daerah ini (seperti PT. Usaha Mina di Bacan), ancaman pemutusan hubungan kerja ratusan karyawan oleh PT. Bayatri dan Usaha Mina, serta ancaman utang-piutang yang tidak mampu dilunasi oleh nelayan plasma (nelayaan binaan perusahaan PT. Mitra Mas Cabang Ternate) adalah sederetan persoalan yang tidak habis pikir di tengah gencarnya semangat impotensi pemerintah daerah dalam merangsang dunia investasi di sektor KP.
Demikian juga Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi yang merupakan satu-satunya institusi yang diharapkan mampu menjembatani dan menjadi motor penggerak pembangunan sector KP di Maluku Utara terkesan tidak memiliki konsep yang jelas bagaimana seharusnya, dan tidak mempunyai komitmen yang kuat untuk membangun sector KP di Maluku Utara?. Padahal sebagai lembaga yang mempunyai otoritas penuh di sector KP, DKP Propinsi seharusnya mampu memformulasikan konsep-konsep strategis yang lebih efisien dan efektif yang pada gilirannya diharapkan mampu menjadi terobosan dan orientasi baru dalam menggerakan kegiatan ekonomi masyarakat local berbasis pada sumber daya alam ini.
Kemauan inilah yang nampaknya tidak dimiliki oleh Dinas KP Propinsi, sehingga berapa pun besarnya penggunaan anggaran - dana yang dikolah oleh Dinas tidak berdampak signifikan bagi perkembangan nelayan dan peningkatan kapasitas SDM nelayannya., termasuk nilai-kontribusi pada daerah (PAD) di sector ini. Idikator lain dari lemahnya komitmen Dinas K&P Propinsi Maluku Utara dalam mengusung visi besar DKP RI dapat di lihat dari tidak maksimalnya Dinas Propinsi dalam memberdayakan masyarakat pesisir-nelayannya. Terkait dengan pemberian paket bantuan misalnya, secara tehnis justru nelayan tidak bisa mengoperasikan armada tangkap yang diberikan. Proses diversifikasi yang kita harapkan bisa dijembatani sampai nelayan benar-benar berdaya, dan cerdas secara teknis, ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Nelayan hanya sekedar diberikan bantuan, tanpa adanya proses pendampingan. Bahkan ada beberapa kelompok nelayan yang mengeluhkan paket bantuannya tidak layak pakai. Belum lagi paket-paket bantuan lain yang dikemas dalam bentuk program, seperti program pengembangan budi daya laut, program rehabilitasi ekosistim pesisir (transplantasi karang-rehabilitasi hutan mangrove) dan lain sebagainya, hampir dapat dipastikan menuai kegagalan. Setelah dianalisis, problem yang sangat mendasar dari proses kegagalan ini terletak pada strategi pendekatannya. Artinya bahwa pendekatan dari hampir semua kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas K&P selama ini tidak berbasis science (program).
Meskipun demikan, Menurut saya, Kita belum terlambat untuk membangunan sector K&P di Maluku Utara. Asalkan ada dukungan politik dan sentuhan kebijakan pemerintah daerah yang benar-benar pro pada sector ini. Demikian juga nelayan dan semua pelaku utama (strake kholders) di bidang tersebut, secara sinergis harus mampu memainkan perannya sebagai subjek sekaligus menjadi instrument dalam rencana pengelolaan dan pemanfatannya, serta ikut berperan aktif dalam proses pengawasan pembangunan dan keberlanjutan sumber daya alam tersebut. Karena untuk mewujudkan Citra Propinsi Maluku Utara sebagai daerah kepulauan dan negeri “maritime”, (ia) butuh keseriusan semua pihak, keterlibatan semua stake holders, dan sentuhan kebijakan sebagai daerah maritime dengan kesadaran terintegral. Citra ini bisa terkukuhkan, manakala Visi-Misi dan strategi kebijakan pembangunan daerah di arahkan ke sana (dari laut). Tanpa itu, mustahil Propinsi Maluku Utara tidak akan pernah menjadi terdepan sebagai Negeri Bahari.
Memang tidak muda untuk merubah paradigma itu, akan tetapi sekali lagi, ke depan kita tidak memiliki pilihan lain, selain untuk mewujudkan Citra itu. Konsekuensi logis dari pencitraan ini, tentu ada pada sektor-sektor unggulan berbasis sumber daya alam local. Dan upaya untuk mewujudkannya tidak lain kecuali sector KP harus benar-benar menjadi skala prioritas bagi pembangunan ekonomi daerah. Hal ini akan berjalan maksimal jika semua sektor di belakangnya juga secara sinergis ikut serta membangun sektor unggulan tersebut. Untuk itu, Visi kebaharian harus diperbaharui! Dan komitmen untuk membangunannya, harus dipertegas dalam bentuk rencana strategis kebijakan pembangunan daerah, enta kemudian tertuang dalam bentuk Midle Term Programe (RPJM) atau Long term Programe (RPJA).
Persoalan kemudian adalah, bagaimana meyakinkan publik dan masyarakat politik di negeri ini bahwa laut sebagai masa depan Maluku Utara, menumbuhkan kembali optimisme serta keyakinan akan potensi KP dan keberadaan kita sebagai masyarakat pesisir dan negeri bahari sebagaimana yang sudah pernah ditunjukan oleh sejarah nenek moyang kita di negeri ini. Sehingga mereka memiliki konsep pemahaman yang sama dengan masyarakat KP tentang makna laut secara ekonomi, budaya, eklogis dan politik. Ini menjadi sangat penting artinya, karena selama ini persoalan kelautan dianggap hanya semata-mata kepentingan, atau persoalan nelayan dan bukan kepentingan atau persoalan kita bersama. Untuk itu, diharapkan para politisi pun menyadari, dan kemudian ikut ambil bagian dalam perjuangannya membangun sektor KP. Di sini, peran media masa juga sangat penting dalam membentuk opini publik. Karena selama ini laut masih dianggap belum punya nilai berita, sehingga masih sangat jarang menjadi topik utama pemberitaan media masa lokal.
Tampaknya inilah yang akan menjadi PR besar, sekaligus tantangan bagi calon pemimpin Gubernur Maluku Utara produk 2007. sungguh pun selama satu priode masa pemerintahan Gubernur di bawah kepemimpinan Taib Armain telah diupayakan pembangunan KP dengan Visi besarnya “Terdepan Sebagai Negeri Kepulauan Berbasis Sumber daya Alam Lokal”, tetapi itu baru merupakan pijakan dasar dan masih jauh dari hasil yang diharapkan. Apalagi Maluku Utara diperhadapkan dengan masa pemulihan pasca konflik, tentu lima tahun adalah waktu yang amat singkat untuk sebuah program membangun negeri Maluku Utara sebagai negeri bahari yang maju dan mandiri.
Untuk itu, menakar platform pasangan cagub dan wagub pada suksesi Maluku Utara 2007-2012 nanti boleh jadi harapan itu akan terlaksana, jika rana kebaharian dapat disentuh dan memancing kepedulian para kandidat. Hal ini bukan saja akan turut menguak pemahaman dan kepedulian publik pada bidang kebaharian, tetapi sekaligus meletakan dasar-dasar strategi kebijakan pembangunan sektor KP sebagai bagian dari proyek besar bagi masa depan pembangunan ekonomi Maluku Utara.
Dan, kalau Gubernur sekarang (Taib Armain) telah diberi gelar sebagai “Bapak rekonsiliasi dan Bapak pembangunan pasca konflik selama kepemimpinan lima tahunnya” maka Gubernur pada periode 2007-2012 nanti diharapkan mampu mengembalikan harkat dan citra Propinsi Maluku Utara sebagai negeri maritim-bahari, yang pada akhirnya seluruh komponen masyarakat di negeri ini secara tulus dapat memberikan gelar sebagai “Bapak Kemaritiman Maluku Utara”. Hanya persoalannya siapakah di antara para kandidat pemimpin Gubernur Maluku Utara 2007-2012 yang memiliki visi kemaritiman itu? Enta siapa dia? Kami, masyarakat perikanan Maluku Utara dan seluruh komponen pesisir di negeri ini tentu akan sangat merindukan kehadirannya!!!