Tuesday, October 23, 2007

SIAPA YANG PANTAS !!!
(Menyoal PILKADA & Delapan Tahun Propinsi Maluku Utara)

Oleh: Asmar Hi. Daud
Dosen Unkhair Ternate
Sekretaris DPD-HNSI Propinsi Maluku Utara

“Apa yang akan kalian lakukan jika suatu ketika kalian melihat aku menyimpang dari kepemimpinan ini”

Kurang-lebih demikian sebait kata-kata bijak yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah seorang pemimpin besar yang pernah dikenal oleh umat manusia. Kata-kata di atas, lahir dari seorang pemimpin di depan para pendukung setianya, ketika ia dilantik-dibait (diberi amanat) menjadi pememimpin umatnya. Dialah Umar bin Khattab, singa padang pasir, yang dikenal bertampremen tinggi, berwatak keras, tegas, tetapi sangat bijaksana, sehingga ia begitu dihormati, disegani oleh umatnya, para sahabat, maupun lawan-lawannya.

Kata-kata yang keluar dari mulut seorang Umar r.a, tentu bukanlah ucapan basa-basi belaka, tetapi kata-kata tersebut menunjukan sosok seorang pemimpin umat yang selalu siap untuk dikritik. “Jika sedikit saja kami melihat engkau menyimpang dari kepemimpinananmu, niscaya pedang kami inilah yang akan meluruskannya!”. Subuhanallah. Sungguh Luar biasa !,. Prosesi pembaitan (pelantikan) sang pemimpin diwarnai dengan sebuah dialog yang membangkitkan bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya. Pertanyaan seorang pemimpin besar yang disegani, ternyata disahuti secara spontan oleh para pendukung fanatisnya, dengan pedang sebagai jaminan-taruhan atas koreksi kesalahan mana kala sang pemimpin tersebut menyimpan dari kepemimpinannya.

Sebuah dialog monumental yang hanya akan lahir dari sebuah kepemimpinan yang bersih, berwibawah, amanah dan selalu ditopang oleh para pendukung yang cerdas, kritis, tegas dan berani terhadap nilai-nilai kebenaran dan perjuangan politik kearah moral yang lebih beradab. Sebuah sesi sejarah, di mana sang pemimpin dan rakyat (umat) yang dipimpinnya begitu terbuka untuk saling mengingatkan, yang jarang, bahkan mungkin tidak terulang pada suatu komunitas, wilayah, daerah, negara yang dikenal sangat demokratis sekali pun.
Dalam sejarah kepemimipinan mereka, pun tidak pernah kita dengar ada istilah tiem sukses. Kendati dibelakang mereka, dalam sebuah suksesi ada sederetan nama-nama besar yang sama-sama memiliki pengaruh dan keutamaannya masing-masing. Mengapa itu tidak terjadi? Karena umat tahu siapa mereka, dan umat juga sadar akan nilai dan semangat perjuangannya. Fanatisme mereka juga bukan karena sang figure (ketokohannya), melainkan pada semangat bagaimana membangun umat dan peradabannya. Sehingga ketika siapa yang diangkat menjadi pemimpin, umat kemudian tunduk dan patuh kepada perintahnya. Bukan takut karena kekuasaan !. Atau karena kemudian mereka takut tidak mendapatkan tetesan kekayaan dari sang penguasa, sebab dalam torehan sejarah, di belakang mereka selalu saja ada pemiskinan materi. Meski ada di antara mereka yang kaya, namun kekayaan itupun digunakan hanya semata-mata untuk membangun kepentingan umat dan masa depan peradabannya.
Agama, kemudian menjadi satu-satunya sandaran spritual dan patokan realitas - simbol etis - moral dalam sebuah kepemimpinan . Hidup sederhana, bersikap jujur, berlaku adil, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, menghargai dan membelah kebenaran, bertaqwa, dan perjuangan menegakannya adalah tujuan mereka. Tanpa perjuangan kearah itu, mustahil ada kemajuan peradaban yang begitu termahsur terbangun pada saat itu. Meski dalam sejarah kepemimpinan itu, ada dari mereka yang harus berakhir (mati) di ujung pedang umatnya sendiri. (baca: Khalifah).

“Sedikit saja engkau menyimpang, niscaya pedang kami inilah yang akan meluruskannya”. Sebuah ucapan, kata-kata yang lahir dari suatu komunitas (umat) yang begitu mencintai sang pemimpinnya. Sebuah teguran keras yang nyaris tak terdengar lagi, bahkan mungkin telah terkubur oleh zaman di mana demokrasi begitu tinggi terpasung di atas mimbar kekuasaan. Lantas, apakah generasi islam kita telah tiada ?. Pertanyaan ini kemudian muncul! Jawabannya tentu tidak ! Karena kita ada, bahkan dominan di negeri ini. Tidak kurang dari fenomena itu, kita pun secara kolektif terdidik dan dibesarkan oleh institusi-institusi yang berbasis islam. Lalu di mana semangat kecerdasan dan perjuangan spritualiltas politik itu kita tegakkan ?. Terlampau murah kita gadaikan idealisme, dan memasung harapan umat di atas optimisme tragis. Fanatisme kita juga bukan semata-semata pada sang figure yang komit pada persoalan-persoalan kerakyatan, atau upaya menegkkan keadilan serta kebersamaan dan kemaslahatan umat, pada sisi yang lain, justru semangat perjuangan kita hanya karena pertimbangan seberapa besar sang figure memberikan nilai materi kepada kita. Kita tenggelam dalam budaya apolonia, mengejar-ngejar kesenangan yang menyedihkan, dan mendewakan kegersangan intelektual kita di atas perhitungan untung - rugi.

Sedemikian usang dunia politik-demokrasi itu yang kita terjemahkan dengan jalan pikiran kita yang naif. Kita tegakkan demokrasi di atas fondasi politik yang keropos. Entah atas nama apa dan siapa kita berjuang, dan untuk kepentingan apa dan siapa kita perjuangkan ? Sehingga oleh masyarakat menjadi benar bahwa politik- demokrasi hanya dipahami sebagai instrumen utama terjadinya berbagai ketegangan dan konflik yang hanya akan melahirkan pertumpahan darah, dan tidak lebih dipahami sebagai wahana simbolis bagi penguasa untuk tetap bertahan, atau bahkan untuk merebut kekuasaan itu sendiri.

Tujuan perjuangan politik-demokrasi yang diperjuangkan tidak lagi pada prinsip atau dasar-dasar etis-moral, kejujuran, (atau apapun namanya yang dekat dengan itu). Tetapi tujuan kegiatan politik hanya untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan. Seolah Kehidupan ini hanya dicermati dan disikapi sebagai sebuah pertarungan terus menerus, dan realitasnya, di hadapan kita direpresentasikan sebagai wacana kalah-menang yang peraksis ditundukkan atau menundukkan. Dan untuk mencapai dua tujuan ini, hampir semua cara kita dihalalkan!

Di antara kejahatan moral yang sering kali kita lakukan adalah memfitnah (menyebar issu), bahkan tak jarang kita akali (menipu). Saingan/lawan atau apa pun namanya, tidak sekedar kita kalahkan – kita tunduhkan, lebih dari itu adalah musuh yang harus kita singkirkan. Sebuah keharusan untuk mencapai kemenangan bagi para politikus. Kita jatuhkan kehormatan lawan atau siapa saja yang kita anggap sebagai musuh dengan memberikan gelar dan sebutan yang buruk. Dan untuk bisa mencapai kekuasaan, setiap orang yang berambisi kearah itu (kekuasaan) harus belajar untuk menipu. Bila kita bisa menang dengan menipu untuk apa kita harus berbuat adil dan berkata jujur? Jikalau keadilan dan kejujuran hanya untuk membuat kita kalah. Hukum politik modern ala Machiavelli dan tradisi Goebbels pun dilanjutkan serta dipakai sebagai pembenaran berpolitik. Realitasnya, kemudian melahirkan Falsafah kalah – menang (win/lose) tidak lagi diterima dengan besar hati. Karena memang tidak ada persaingan yang sehat yang dapat melahirkan prestasi keadilan politik, atau sebaliknya, kejujuran tidak akan pernah melahirkan kemenangan politik.

Dalam konteks Maluku Utara, kita sebenarnya sudah berada di penghujung jalan. Pendakiannya memang belum sampai ke puncak, tetapi gendang perang soal PILKADAL dan siapa yang konon katanya lebih pantas menjadi orang nomor satu di negeri para raja ini terus saja bernyanyi. Rakyat kebanyakan (masyarakat awam) kian menjadi bingung menyaksikan fenomena politik yang terjadi saat ini. Sifat rakus, ambisius, haus akan kekuasaan, dan tidak mau kalah, diperparah dengan instrumen politik yang tidak tegas, tidak adil dan cenderung tidak independen, serta fanatisme buta sebagian pendukung yang tidak cerdas, telah membuat agenda politik demokrasi di daerah ini menjadi tidak khusyuh menjalankan ritual politiknya. Dan sadar atau pun tidak, ritual politik yang bernama demokrasi itu telah memakan banyak korban di negeri ini.

Siapa yang salah jika sudah terjadi gesekan ?. Pluralisme kemudian menjadi ancaman dan kambing hitam dalam sebuah wacana demokrasi yang tidak cerdas kita bangun. Kita bahkan tidak pernah memberikan pembelajaran politik dan pendewasaan berdemokrasi yang lebih etis dan bermoral kepada masyarakat. Dalam kondisi Maluku Utara yang sedemikian plural, kita justru menampilkan perbedaan itu sebagai ancaman. Dengan kefasihan bicara, kita tanamkan fanatisme buta (suku, agama dan ras ) seolah menjadi sesuatu yang luar biasa bedanya di negeri ini.

Ada klaim kebenaran yang menyesatkan yang acap kali terdengar di lorong-lorong pembelajaran demokrasi. Kata-kata seperti kita lebih pantas, kita lebih unggul, kita lebih terhormat, kita lebih cerdas, dan kita yang paling hebat adalah bahasa kepongahan dan idiologi sesat yang sengaja kita hembuskan untuk meracuni akal/pikiran masyarakat yang kita anggap masih bodoh pemahamannya tentang demokrasi. Ahirnya, masyarakat Maluku utara yang sedemikian plural itu secara mendasar masing-masing telah mempertahankan eksistensi golongannya, sukunya dan atau kelompoknya.

Seolah kita memberi pesan kepada masyarakat bahwa PILKADAL Gubernur Maluku Utara sesungguhnya adalah pertarungan/perang antar golongan, suku atau kelompok itu, yang akibatnya apabila salah satu kandidat (calon gubernur) Maluku Utara kalah dalam PILKADAL nanti maka secara alamiah kandidat yang lain dari suku atau kelompok yang lain akan tereleminasi atau terasing di negeri ini.

Apakah benar, seseorang atau orang-orang yang kemudian baik secara moral, cerdas secara intelektual, dan secara kompetitif profesional mampu bekerja dan bertanggung secara moral (amanah) kepada masyarakat, pemimpin dan kepada TuhanNya, tereleminasi/terasing atau tidak dipakai hanya karena persoalan GUBERNURnya dari suku TUGUTIL ?. Atau sebaliknya, masyarakat TUGUTIL terabaikan hak-haknya, hanya karena gara-gara Gubernurnya dari suku MORO. Sungguh, sebuah ketakutan yang tidak beralasan bagi hati yang gelisa, pikiran yang kacau, yang takut akan kehilangan jabatan dan kekuasaan yang selama ini mereka nikmat, enak dan sudah terbiasa tidur di atas ranjang empuk, beralaskan bantal yang berisi RUPIAH.

Lantas suku apa, golongan siapa, dan dari kelompok mana, yang lebih layak dikatakan bodoh yang tidak bisa memimpin umat dan negeri ini?. Kita tak bedanya seperti Hitler yang berhasil menyihir jutaan akal manusia untuk menjadikan kepongan sebagai idiologi, dan berhasil menciptakan robot-robot bag bulduzer yang siap mati hanya untuk membelah Ras Aria. Rakyat terpengaruh oleh penampilan kita, meski sering dibohongi. Agar membuat mereka tetap percaya, kita pilih bahasa yang paling santun. Kebohongan itupun diulang-ulang, sampai ia dipercaya oleh masyarakat sebagai kebenaran, tertanam, bahkan menjadi idiologi masyarakat. Jurus politik modern ala Hitler inilah yang dipakai dalam rangka meraih tujuan kekuasaan itu. Namun, bagi mereka yang masih waras, orang-orang normal yang tidak termakan sihir para punggawa Rahwana, tentunya akan bertanya, dan memberikan pertimbangan yang lebih arif dan nyata, bahwa untuk apa memilih golongan kami, suku kita, atau kelompok mereka, kalau wajah kehidupan seluruh kompenen masyarakat dan negeri ini masih saja tetap tidak berubah.

Agama pun tak kalah di politisir. Kita mengambil (Qur’an Surat Al Maidah: 51) sebagai patokan realitas. Padahal, tidak sedikit pemimpin dari kalangan kita sendiri (umat islam) yang berbuat zalim terhadap umatnya. . Ini berarti, orang yang beragama bukan jaminan niscaya akan elok moralnya. Juga berarti iman bukan sayarat mutlak psikologis buat moral. Sebab iman juga akan hancur jika bangunannya tanpa keihlasan. Kata Tuhan ”DIA tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. Lalu bagimana dalam konteks politik demokrasi ini ada figur seorang pemimpin dari agama lain tetapi dia berbuat adil dan tidak menzalimi kita ?. Apakah sama, seorang pemimpin (imam) di masjid, dengan atas nama demokrasi seorang Nasrani atau Yahudi menjadi pemimpin di sebuah negeri yang sangat plural?. Kita lupa membaca dan menafsirkan Qur’an Surat al-Maidah ayat 2, al-Hujaraat (13), as-Syuura (38), atau Qur’an Surat al-Imran (145) secara bijak.

Kita paksakan sebuah versi keberagaman dan mengeleminasi keragaman. Keberkahan yang sebenarnya milik semua orang, lintas keragaman dan keberagamaan ternyata di justifikasi milik satu kelompok atau golongan saja. Seolah kelompok kita yang paling benar, paling suci dan paling hebat. Dengan itu pula kita memonopoli jalan menuju Tuhan. Atas dasar itu pula, agama kemudian menjadi corrupted religion yang carakternya selain klaim kebenaran yang absolute, kepanutan yang membuta, dan deklerasi “perang suci” juga cenderung menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Watak terakhir ini mengantar penganutnya pada aneka tindakan yang sering merugikan pihak lain. Dalam sebuah wacana pertarungan politik seperti saat ini, hanya karena mungkin kita takut kalah, perbedaan sering kali kita jadikan alasan untuk membunuh karakter seseorang.

Dimikianlah, kita menyaksikan fenomena politik yang dilakoni oleh beberapa kandidat yang berambisi menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dan coba perhatikan perilaku politik sekolompok orang-orang cerdas yang mengusung dan berjuang di belakang mereka. Hanya karena keinginan untuk menjadi pemimpin, dan lagi-lagi untuk mencapai kepentingan kelompok mereka, sudah berapa banyak nilai materi yang mereka korbankan untuk mencapai tujuan itu?. Lantas Ikhlaskah mereka membangun negeri ini ?. Dan jika kemudian mereka menang, apakah tahta kekuasaan itu akan dipersembahkan hanya untuk rakyat ?. Dua pertanyaan yang hampir pasti sulit untuk dijawab. Apalagi secara tegas kita nyatakan, iya !. Berulang kali kita mengharapkan agar kekuasaan jangan hanya sekedar sebagai tujuan, apalagi hanya untuk memenuhi kepentingan segilintir orang yang katanya telah berjuang dan berkorban di belakang mereka. Tahta itu mestinya milik rakyat, dan dipersembahkan semata-mata untuk rakyat. Kekuasaan itupun, idealnya adalah untuk melayani kepentingan rakyat dan memperbaiki kehidupannya!. Bukan kebalikannya!!!

Siapa pun yang masih punya nurani dan peduli terhadap negeri ini pasti akan sedih menyaksikan harapan-harapan rakyat yang hanya terpasung di atas kenikmatan segelintir orang. Kemajuan dan kesejahteraan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat - rakyat kebanyakan, lintas pluralis, selama kurun waktu delapan tahun terahir sejak negeri ini bernama Propinsi Maluku Utara, ternyata hanya dimiliki dan dinikmati oleh sekolompok kecil manusia yang secara politik dan sangat nepotis berada dilevel kekuasaan saja. Dan karena sifat egois dan nafsu serakah kuasa mereka yang besar melebihi keinginan sederhana yang dipunyai oleh masyarakatnya, kemudian melahirkan perilaku dan karakter masyarakat yang peminta, dan cenderung mengemis kepada penguasanya.
Negeri Maluku Utara dibuat semakin tidak berwibawah di mata tetangga negeri yang lain. Tercabik-cabik harga dirinya, dan dilecehkan sebagai negeri yang rentan dengan konflik, nepotis, kolusi dan korupsi. Kekayaan sumberdaya alamnya terisolir, tidak mampu dikelola dengan baik, dan lebih banyak dikuras habis oleh orang lain seiring dengan ketidak mampuan metabolisme masyarakat dan ketidak berdayaannya. Anehnya, orang-orang cerdas, kaum intelektual yang secara moral diharapkan mampu merubah keadaan tersebut, justru terkesan tidak memiliki energi dan cenderung sengaja membiarkan keadaan negeri ini bertambah parah.
Lalu dimana semangat perjuangan kita delapan tahun yang lalu, yang tanpa membedakan, tanpa melihat siapa orang Halmahera, siapa orang Sanana, siapa orang Tidore, siapa orang Makean, siapa orang Bacan, siapa orang Ternate, Suku Tugutil atau Orang Moro ketika kita berteriak, berjuang menuntut negeri ini dimekarkan menjadi Propinsi? Apakah semangat perjuangan kita saat itu hanya sekedar merasakan kerongkongan yang kering, keringat yang bercucuran, pinggul yang letih, ataukah hanya sekedar merasakan tulang kering kita yang sakit ?. Hanya sebatas itukah imbalan perjuangan yang kita dapatkan ?. Dan kemudian kita berhenti berteriak berjuang ketika menyaksikan segilintir kelompok manusia berhati kakus menari menikmati sakitnya penderitaan rakyat di negeri ini. Dimana mereka ketika itu, yang sementara ini lagi asyik merasakan dan menikmati manisnya kesenangan dari keberkahan perjuangan kita delapan tahun yang lalu, saat kerongkongan kering kita sakit berteriak PEMEKARAN..!!! Kita ditertawakan. Bahkan dicibir. Seolah-seolah kita adalah sekolompok orang gila yang hanya menghayal, ketika mereka menyaksikan lelah, letih dan sakitnya perjuangan pemekaran daerah ini menjadi PROPINSI.

Negeri ini hancur,,,dan benar-benar dibuat tidak menarik untuk diberkahi..dengan ketidak berdayaan masyarakatnya. Padahal ia dibangun di atas fondasi KALIMATULLAH. Ingat,,,!!! Ia hancur dan tidak berdaya bukan lantaran terlalu banyaknya orang-orang jahat di negeri ini. Bukan pula karena banyaknya para koruptor yang bergentayangan melebarkan sayap rakusnya. Atau karena penguasa yang zalim yang berbuat semena-mena terhadap masyarakat dan negeri ini. Akan tetapi kehancuran negeri ini lantaran terlalu banyak orang-orang cerdas yang menggadaikan harga diri dan idealismenya kepada penguasa hanya untuk kesenangan dan kenikmatan sesaat. Dan terlalu sedikit kelompok intelektual yang cerdas secara moral yang takut bicara dan relah sahid (mati) untuk menyuarakan kebenaran.
Pada momentum PILKADAL Gubernur Maluku Utara saat ini, bukan persoalan siapa yang pantas atau tidak layak memimpin negeri ini. Siapa pun bisa, dan berhak menyandang predikat orang nomor satu. Tidak peduli dari mana asalnya, tidak pandang dari mana latar belakang atau gololongannya. Yang terpenting adalah keihlasannya, punya itikad baik, amanah, dan punya komitmen yang kuat untuk menjalankan VISI dan MISI kerakyatannya. Serta di depan dan di belakang kepemimpinannya itu selalu ditopang dan dikawal oleh generasi-generasi ideal yang cerdas, bermoral, tegas, terbuka dan slalu siap untuk mengeritik dan meluruskan bila ada perilaku pemimpinnya yang menyimpang. Jangan bertingka dan berprilaku seperti generasi bedong – generasi becek yang rela menyeburkan diri dan menggadaikan idealismenya pada penguasa hanya pada hal-hal yang serba instan (kepentingan sesaat).

Kita tentunya sangat merindukan fajar yang baru menyingsing di negeri ini. Perubahan dan perbaikan tidak lain adalah dua kata kunci untuk mendapatkan sang Fajar itu. persoalan sekarang adalah, dari mana kita harus memulainya? Kalau bukan dari jajaran elite penguasa !!!. Jika hal ini kita lakoni dan benar-benar kita lakukan, saya yakin, masyarakat dan negeri ini akan jauh lebih baik dan lebih terhormat. Tapi jika tidak, maka siapa pun yang akan terpilih/menang dalam PILKADAL Gubernur Maluku Utara nanti, pasti akan tetap menjadi Rahwana baru. Dan masyarakat Maluku Utara akan tetap hidup di negeri kayangan, yang seribu satu macam keindahan, kesenangan, kedamaian dan kesejahteraannya hanya ada dalam cerita (mitos). Semoga Tidak !!!

Wednesday, September 26, 2007

Pulau Jiuw (Pulau Terluar MU -NKRI)."Keunikan,Peluang dan Pengelolaannya" Asmar H. Daud, Nurchalis Wahidin, M.Sc. Thamrin H.Ibrahim, Mufti Abd. Murhum

Pendahuluan
Latar Belakang
Pulau Jiuw merupakan salah satu pulau kecil yang berada di bibir Samudera Pasific pada sisi sebelah Timur Pulau Halmahera. Pulau ini berbatasan langsung dengan Republik Palau dan secara adminstratif berada pada wilayah administrasi Kabupaten Halmahera tengah. Selain pulau terluar, secara bio-ekologis pulau Jiew memiliki keunikan sumberdaya alam baik flora dan fauna. Selain flora dan fauna tersebut di atas pulau ini juga terdapat berbagai jenis biota laut yang sampai saat ini belum teridentifikasi baik jenis dan jumlahnya. Keberadaan pulau Yiew yang agak terpencil (jauh dari pemukuman penduduk) dan sebagai salah satu pulau terdepan perbatasan Indonesia dengan Negara lain (Dirjen P3K DKP RI, 2002) sehingga memungkinkan adanya ganguan dari masyarakat negara dan daerah lain.
Mengingat pulau Jiuw merupakan pulau kecil dan terluar yang memiliki keterbatasan sumberdaya daratan dan aksesibilitasnya, maka upaya pengembangan hendaknya didasarkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya lautnya yang tentu saja harus terpadu dengan potensi sumberdaya daratannya dengan realitas sosial budaya masyarakat yang ada disekitarnya.
Penyusunan Profil Pulau Jiuw ini merupakan salah satu upaya dalam mendukung perencanaan pembangunan pulau kecil dan pulau terluar di kawasan pulau Jiuw dan sekitarnya. Berbagai informasi, baik biogeofisik maupun sosial budaya disajikan dalam profil ini dengan harapan dapat menjadi gambaran bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) dan dapat menggunakannya dalam rangka mengelola dan membangun pulau Jiuw.
Tujuan Dan Manfaat
Tujuan peyusunan profil Pulau Jiuw adalah untuk mengidentifikasi potensi dan realitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lngkungan serta aspek sosial budaya; Mengkaji peluang pengembangan dan pengelolaan Pulau Jiuw sebagai kawasan konservasi yang berbasis wisata alam; Memberikan arahan bagi pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Jiuw.
Manfaat dari keberadaan profil Pulau Jiuw ini adalah tersedianya informasi tentang potensi, realitas dan permasalahan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan informasi dasar dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dan terluar.

DIMENSI GEOGRAFI DAN ADMINISTRASI
Secara administratif Pulau Jiuw merupakan bagian dari wilayah kecamatan Patani Utara, Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara yang berjarak kurang lebih 36 mil laut dari Desa Gemia. Secara geografis Pulau Jiew terletak pada posisi 1270 08’44.1” - 1270 08’57.1” BT dan 00040’43.5” - 00040’50.2” LU memiliki luas kurang lebih 181.747,84 m2, atau 18,17 ha yang dikelilingi oleh tebing batu karang, ditumbuhi oleh vegetasi campuran dan terdapat hamparan pasir putih kurang lebih 50 m di bagian utara. Selain itu pada sisi bagian Barat dan Timur terdapat pulau karang yang berukuran kecil dan juga ditumbuhi vegetasi pantai.
Kawasan Pulau Jiuw
Realitas Geofisik
Topografi, Jenis Tanah dan Geologi
Tebing Batu dan Pasir PutihTopografi pulau Jiuw pada umumnya merupakan dataran rendah (relative datar) dengan kemiringan rata-rata di bawah 2 %. Tipologi pantai dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu pantai terjal berkarang dan pantai landai berpasir putih. Pantai terjal berkarang ditemukan hampir pada seluruh lingkaran pulau, sedangkan pantai landai berpasir putih hanya ditemukan pada sisi bagian Utara Pulau dengan panjang kurang lebih 50 m dan lebar ke arah darat 30 meter.
Batuan Penyusun Pulau JiuwPada bagian darat dari pulau Jiuw umumnya merupakan vegetasi campuran yang ditumbuhi vegetasi pantai dan hutan tropis. Vegetasi pantai didominasi oleh formasi Baringtonia dan Pascarpae, sedangkan vegetasi hutan tropis adalah kayu besi dan rotan yang tumbuh secara alami serta tanaman pisang dan papaya yang diintroduksi oleh penduduk dari pulau besar daratan Halmahera. Sebagian besar wilayah daratan pulau Jiuw terbentuk dari batu gamping hasil pengendapan batuan karang yang mati dan muncul ke permukaan (coral espouse) dan pada beberapa sisi ditemukan jenis tanah rensina yang memiliki ciri tanah muda dan akan berkembang. Jenis tanah entisol dangkal bahkan hingga sangat berpasir. Kesesuaian tanah jenis ini sangat rendah bagi keperluan pertanian tanaman semusim.
Iklim Dan Kondisi Fisik Perairan
Pulau Jiuw beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Dalam pembagian empat wilayah iklim Provinsi Maluku Utara, maka pulau Jiuw dipengaruhi oleh daerah iklim Halmahera Tengah/Barat. Musim Utara terjadi pada bulan Oktober-Maret yang diselingi angin Barat pancaroba pada bulan April. Musim Selatan terjadi pada bulan Mei-Agustus diselingi angin Timur pancaroba pada bulan September.
Karena dipengaruhi oleh kondisi iklim tersebut maka relatif perairan disekitar pulau Jiuw mendapat hempasan gelombang hampir sepanjang tahun. Pola arus di perairan sekitar pulau Jiuw dipengaruhi oleh pola arus Samudera Pasific bagian Selatan. Arah arus permukaan bergerak ke arah Timur dengan kecepatan 19 – 39 cm/detik, dimulai pada bulan Februari samapi Juli. Pada Bulan Agustus arah arus berubah ke arah Barat dengan kecepatan 22 – 78 cm/detik. Salinitas tahunan relatif stabil yaitu berkisar antara 32 – 34 o/00. Salinitas pada bulan Desember – Mei sekitar 34,5 o/00 sedangkan pada bulan Juni – Nopember sekitar 32 o/00\. Suhu perairan hampir tidak mengalami perubahan tahunan, yaitu sekitar 30 oC. Demikian juga kandungan oksigen terlarut cukup stabil yaitu 4,5 mg/l (P2O-LIPI, 2002).
Realitas Sumberdaya Hayati
Kenaekaragaman Hayati
Vegetasi Pantai Formasi BarringtoniaSecara umum tipe flora di Pulau Jiuw merupakan vegetasi campuran yang didominasi oleh vegetasi hutan pantai formasi Baringtonia dan Pescaprae dan vegetasi hutan tropis. Vegetasi pantai dari formasi Barringtonia yang dapat dijumpai adalah : Butun (Barringtonia asiatica), Bintangor laut (Calophyllum inophyllum), Ketapang (Terminalia catappa), Bintaro (Cerbera manghas), Malapari (Pongamia pinnata), Waru (Hisbiscus tiliaceus), Waru Lot (Thespesia populnea), Jati Pasir (Guettarda speciosa), Kenyere laut (Desmodium umbellatum), Sentigi (Pemphis acidula), Kayu wesen (Dodonaea visoca) dan Bidara Laut (Ximenia americana). Formasi Pescaprae disusun oleh jenis-jeinis : Daun katang-katang (Ipomoea pescaprae), Kacang laut (Canavalia maritima), Rumput Kacang (Vigna marina), Glinting Segara (Thuarea involuta), Jelutung laut (Euphorbia atoto) dan Pandan Pantai (Pandanus tectorius). Sedangkan Vegetasi darat yang juga ditemukan adalah vegetasi hutan tropis yaitu kayu besi (Diospyros, spp) dan Rotan serta vegetasi tanaman semusim yaitu Pepaya (Psidium aguaeum) dan Pohon Pisang (Musa paradisiaca).
Kepiting Kenari (Birgus latro)
Burung Juna Emas (Coleonas nicobarica)Selain flora, terdapat beberapa jenis fauna yang dikategorikan jenis satwa liar, umunya terdiri dari beberapa jenis burung. Pulau Jiuw juga merupakan habitat untuk berkembang biaknya burung langka Junai Emas Menata (Caleonas nicobarica). Keunikan dari burung emas adalah memanfaatkan pulau ini selama 6 bulan sebagai waktu untuk berkembang biak (bertelur dan membesarkan anaknya), terjadi pada musim Utara kemudian berpindah lagi ketempat lain untuk mencari makan, dan kembali lagi pada saat yang sama untuk bertelur. Sedangkan pada musim Selatan burung ini tidak ditemukan. Jenis burung lain yang terdapat di Pulau Jiuw adalah burung elang coklat (Haliastur indus) dan menurut informasi beberapa warga masyaralat terdapat juga burung Maleu.
Selain jenis-jenis burung fauna yang yang juga terdapat di Pulau Jiuw adalah Kepiting Kenari (Birgus latro) dan beberapa jenis penyu yang biasanya memanfaatkan daerah pantai berpasir dibagian utara untuk bertelur.
Hanya terdapat sumberdaya alam hayati laut berupa komunitas karang yang tumbuh pada dasar perairan berbatu. Secara umum ekosistem terumbu karang di sekitar perairan Pulau Jiuw memiiki keanekaragaman yang sedang dengan nilai estetika yang memikat. Hampir pada semua bagian lokasi terumbu karang hidup pada tebing batu pada sisi terluar pulau sampai pada kedalaman 25 meter, pada beberapa sisi terdapat goa-goa bawah air dan lorong-lorong yang dibentuk oleh palung laut.
Potensi Wisata Bawah AirKomunitas karang seluruhnya menghadap ke laut lepas berupa terumbu karang tepi memiliki koloni relatif kecil dan bentuk pertumbuhannya merayap (Encrusting) atau bercabang pendek kekar. Jenis karang yang hidup di daerah ini terdiri dari jenis Montipora denae, Montipora verucisa, Acropora cuneata, Acropoara nobilis, Acropora palifera Pochyllopora demicornis, Styllopora pistilata Porite nigrescen dan Porites lobata. Komunitas karang seperti ini sering juga disebut dengan Komunitas ”Acropoid” dan ”Pochilloporoid”.
Pada rataan terumbu berupa lorong-lorong banyak ditemukan kumpulan karang Goniastrea retiformis, Montastrea curta, Leptoria phygyra, Euphyllia sp dan Porites lobata. Selain jenis-jenis karang tersebut juga terdapat jenis-jenis karang lunak yaitu : Leader coral dari jenis Sarcophyton, Nepthea, Sinularia dan Xenia. Fauna lain juga juga ikut menyusun komunitas karang di pulau Jiuw adalah Anemon Laut dan Kima raksasa (Tridagna sp).
Sumberdaya Ikan
Jenis-Jenis Ikan Di Pulau JiuwKomunitas ikan yang terdapat di sekitar perairan pulau Jiuw memiliki keanekaragaman yang tinggi, terbagi secara umum atas ikan hias/indikator dan ikan konsumsi. Dari hasil pengamatan yang dilakukan dijumpai sekitar 122 jenis ikan, terdiri dari 29 jenis ikan kepe-kepe (Famili Chaetodontidae), 67 jenis dari Famili Pomachentridae, 6 jenis ikan Famili Achanturidae 12 jenis ikan Famili Lutjanidae, 2 jenis ikan Famili Carangidae dan 6 Jenis ikan Famili Blastidae.
Potensi Wisata Alam
Kegiatan Diving
Bangkai Cangkai Penyu SisikPotensi Wisata alam yang dapat dikembangkan di pulau Jiuw adalah wisata alam hutan untuk pengamamatan satwa liar (tingkah laku dan cara hidup) burung langka Junai Emas (Caleonas nicobarica) yang hanya bisa ditemukan pada musim Utara (bulan Oktober – Maret). Selama musim Utara burung emas melakukan aktifitas perkembangbiakan (bertelur) kemudian membesarkan anaknya kemudian akan bermigrasi ke tempat lain menjelang musim Selatan (Bulan Mei – Agustus), sehinga pada musim selatan relatif tidak ditemukan. Daerah penyebaran burung emas berdasarkan catatan buku ”A Photographic Guide to The Birds of Indonesia (Oey, 2002) adalah daerah Asia Timur bagian selatan sampai ke Papua Nugini. Sifat hidupnya selalu mengembara untuk berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya, relatif mendiami pulau-pulau kecil dan juga tercatat ditemukan pada beberapa pulau besar termasuk sebagian Sulawesi (Sulawesi Tengah).
Pengamatan terhadap tingkah laku satwa juga dapat dilakukan terhadap burung elang coklat (Haliastur indus) yang hidup dan membuat sarangnya pada-pohon-pohon besar. Selain itu menurut informasi beberapa warga masyarakat dan pada saat dilakukan pengamatan ditemukan bekas-bekas sarang burung Maleo dan sarang burung Walet di beberapa lokasi (dalam goa dan celah-celah tebing batu).
Berdasarkan hasil wawancara, pada saat menjelang musim Utara atau menjelang datangnya burung Emas terdapat aktifitas bertelur penyu hijau dan penyu belimbing di daerah hamparan pasir putih (bagian Utara pulau Jiuw).
Potensi Wisata Goa Tete MialangPotensi wisata alam lain yang terdapat di pulau Jiuw adalah Goa dengan lebar mulut 1,5 meter, tinggi 2 meter, kedalaman 3 meter (terdapat di bagian Barat Pulau Jiuw) yang oleh masyarakat desa Wayamli Kecematan Maba dan Gemia (Kecamatan Patani Utara) dinamakan ”Goa Tete Mialang”. Goa ini terbentuk dari dinding batu yang kokoh dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berlindung ketika tiba di pulau Jiuw pada saat terjadi badai. Potensi wisata bahari yang dapat dikembangkan adalah wisata diving untuk menikmati keindahan panorama bawah laut yang menampilkan fariasi jenis-jenis ikan dan bentuk topografi dasar perairan yang unik terdiri dari pesona terumbu karang.
DIMENSI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA
Sejarah Penamaan Pulau Jiuw
Pulau Jiuw pertama kali disebut oleh masyarakat Halmahera Timur (Maba-Wayamli) dan Masyarakat Halmahera Tengah (Gemia-Patani) dengan nama IAW yang artinya pulau burung karena di pulau ini terdapat Burung Emas yang oleh masyarakat wayamli (Maba) dan Patani (Gemia) disebut IAW. Atas dasar penyebutan ini yang kemudian menjadi cikal bakal penamaan pulau JIUW sampai saat ini.
Secara yuridis pulau Jiew merupakan bagian dari wilayah kesultanan Tidore yang ditertibkan pada masa pemerintahan Sultan Tidore pertama Bakir Nakir Asfarisani pada tahun 1306. Sebelum pemekaran wilayah, nama asli patani adalah poton, yang artinya adalah yang punya tanah ini. Dan kemudian Pada masa pemerintahan Sultan Jou Barakati Ikhtibar Sjah Raja Cililiati (1403-1443) raja ke-9 yang menetapkan pulau Jiuw sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Tidore (Hasil wawancara dengan H. Abdul Djalil H. Abdullah Ikhtibar Sjah).
Mitos Dan Ritual Pulau Jiuw.
Seperti biasanya, setiap masyarakat tradisional memiliki sistim kepercayaan tersendiri dalam hubungannya dengan alam. Ritual-ritual atau sesajian biasanya dilakukan untuk menghormati sesuatu yang dipandang oleh mereka memiliki nilai keramat/magis. Demikian juga dengan masyarakat wayamli dan Gemia terhadap pulau Jiew. Pulau Jiew dipercaya oleh masyarakat Halmahera Timur (desa Wayamli) dan masyarakat Desa Gemia Halmahera Tengah (Patani) memiliki penjaga pulau. Oleh karenanya, setiap orang/masyarakat yang hendak ke pulau tersebut harus melakukan ritual khusus sebelum pergi ke sana. Sesaji yang dilakukan adalah menyiapkan buah pinang, sirih dan tembakau (bahasa lokal : tabako) diletakan di atas piring putih dengan jumlah yang ganjil yang menurut masyarakat setempat bernama (ngale-ngale) dan diletakan di tempat yang sudah ditetapkan di pulau tersebut. Orang yang secara turun temurun dipercaya masyarakat desa Wayamli dan Gemia adalah
Ritual Setelah Tiba Di Pulau Jiuw keturunan Borfa, yang sekarang ini adalah Ridwan Hi. Mialang. Apabila sesaji tidak dilakukan maka akan terjadi sesuatu yang tidak inginkan. Pantangan lain ketika sampai dipula Jiuw tersebut adalah burung-burung hasil tangkapan tidak bisa dibunuh dan jatuh ke permukaan air laut. Kalau hal ini diabaikan/dilakukan maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya tiba-tiba terjadi angin ribut atau ombak yang akan menghalangi mereka untuk kembali ke daratan pulau besar Halmahera.
Aspek Ekonomi
Meskipun keberadaan pulau Jiuw sangat jauh dari pulau Halmahera, dan ditempuh dengan berjam-jam dengan resiko yang sangat tinggi, namun ternyata sudah sejak lama pulau tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Halamhera tengah dan Halmahera Timur (Patani, Maba, Wayamli dan sekitarnya). Salah satu bukti adalah adanya tanaman kelapa yang sudah berumur ratusan tahun dan pohon pisang yang terdapat di pulau itu.
Aktifitas Penangkapan Ikan Mengunakan Panah (Spare Fishing) Di Pulau JiuwKehadiran orang-orang/masyarakat di pulau Jiew sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan burung Mas. Karena pulau ini merupakan tempat berkembang biaknya burung-burung tersebut selama musim utara berlangsung yakni selama 6 bulan (dari bulan September sampai bulan Februari). Selama melakukan aktifitas bertelur itulah kesempatan terbaik bagi siapa saja yang sampai di pulau itu untuk mengeksploitasi (menangkap dan mengambil telur-telurnya). Selain daging dan telurnya yang enak untuk dimakan, orang-orang yang beruntung sampai pulau Jiew pada musim bertelur akan mendapatkan keuntungan lebih karena hasil eksploitasi ini akan dijual ketika mereka sampai ke daratan Halmahera. Belum lagi Ketam Kenari yang melimpah dan telur-telur Penyu yang terdapat di pulau tersebut.
Kekuatiran akan semakin berkurangnya keberadaan burung mas di pulau ini, pada tahun 1970-an perna dilakukan upaya-upaya konservasi terhadap burung mas di pulau Jiew, yaitu tepatnya pada masa kepemimpinan Abdullah Nebo (kepala desa Gemia). Apabila ada masyarakat yang ketahuan mengambil burung mas dan membawa pulang ke desa asalnya maka burung-burung tersebut akan dikembalikan atau diterbangkan kembali.
Namun dapat dipastikan bahwa keberadaan pulau Jiew dengan segenap potensi sumber daya alam daratan dan laut yang dimilikinya lebih banyak memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dari luar Halmahera. Terutama nelayan-nelayan asing seperti Pilipina dan nelayan dari Sulawesi. Hal ini terjadi selain karena keberadaan pulau Jiew sangat jauh dari pulau induk Halmahera, masyarakat Halmahera (Patani, maba dan sekitarnya) juga memiliki akses yang terbatas untuk sampai ke pulau tersebut. Meskipun mereka bisa sampai ke sana, waktu yang dibutuhkan sangat bergantung pada persediaan yang mereka bawa.
ISU UTAMA DAN ARAHAN PENGELOLAAN
Isu Utama
Isu utama yang berkembang dalam pengelolaan sumberdaya alam di pulau Jiuw adalah :
1. Pengelolaan Pulau Kecil dan Terluar.
Dengan ukuran pulau kurang lebih 18,17 ha, maka pulau Jiuw tergolong sebagai pulau kecil (lebih besar dari 10 ha dan lebih kecil dari 2000 ha), memiliki beberapa permasalahan utama. Keterisolasian membentuk lingkungan fisik pulau kecil bersifat khas (unique) dengan proporsi (jumlah) spesies endemik relatif tinggi, dan catchments area relatif kecil sehingga kebanyakan air hujan dan sedimen langsung teralirkan ke laut. Keterisolasian juga membentuk lingkungan sosial-budaya pulau kecil bersifat unique, berbeda dari pulau kontinen.
2. Pengembangan Sumberdaya Alam Secara Optimal dan Lestari
Pengembangan Wisata PantaiEkosistem yang ada di pulau Jiuw perlu dikelola secara baik agar potensinya dapat dimanfaatkan secara otpimal dan lestari. Pemanfaatan kawasan yang dapat dikembangkan meliputi : pariwisata pantai dan pariwisata bahari. Pemanfaatan potensi ini dapat dikembangkan secara sinergis melalui kegiatan wisata antara lain : snorkling, penyelaman (scuba diving), rekreasi, memancing dan beberapa kegiatan perikanan lainnya. Pemanfaatan potensi sumberdaya alam melalui kegiatan lainnya antara lain melalui, ecotourism, agrofisheries dan agroforestry.
3. Perlindungan Satwa Liar dan Biota Potensial.
Keberadaan burung Junai Emas (Coleanus nicobarica), Burung elang coklat, Burung Maleu, Kepiting Kenari (Birgus latro) dan beberapa jenis penyu yang memanfaatkan pulau Jiuw sebagai tempat memijah (spawning ground) dan tempat mencari makan (feeding ground), terancam oleh beberapa kegiatan yakni, kunjungan masyarakat lokal untuk mengambil/memanfaatkan potensi tersebut yang sebagian besar untuk dikonsumsi dan pemanfaatan untuk dijual oleh beberapa masyarakat pendatang.

Monday, September 24, 2007

“TUTEBA” (Sebuah Fenomena baru dalam Prostitusi Di Ternate)

Irza Arnyta Djafaar

Seorang gadis cantik dengan body aduhai berlenggak lenggok dengan dandanan yang cukup menor. Dengan gincu merah darah dan bedak tebal ditambah dengan celana jeans ketat dan blus kaos yang super ketat sehinnga memperlihatkan lekak lekuk tubuhnya yang cukup sexy itu dia berusaha untuk menarik perhatian setiap lelaki hidung belang yang ada disekitarnya. Tidak lama kemudian aksinya itu mengundang seorang lelaki hidung belang menghampirinya, tampak mereka berdua terlibat percakapan yang serius diiringi dengan tawa cekikikan dari mulut si perempuan, tidak lama kemudian si perempuan sexy itu sudah menggelayut manja di tangan sang lelaki, mereka berduapun hilang ditengah kegelapan malam. Tampaknya transaksi telah berlangsung mulus. Perempuan itu tidak sendiri, karena disekitar dia masih banyak perempuan-perempuan lain yang seprofesi dengan dirinya.
Ilustrasi di atas adalah sebuah kisah nyata yang terjadi dihadapan kita, karena kejadiannya di kota yang sangat kita cintai ini. Tuteba yang diambil dari salah satu bahasa daerah Maluku Utara (bahasa Makian Luar) yang artinya mengambil sedikit-demi sedikit di berbagai tempat (mencomot). Sebenarnya istilah ini bernada positif karena mengumpulkan sesuatu sedikit demi sedikit, akhirnya lama-lama akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Tapi pada akhirnya istilah ini berubah menjadi negative setelah ditempelkan ke profesi prostitusi. Selain istilah tuteba, dikalangan anak-anak muda kota Ternate dikenal juga dengan istilah “Lopis” dan “Portugal”. Lopis nama dari sejenis kue yang terbuat dari ketan/singkong yang memakai kelapa dan gula merah dijadikan singkatan menjadi Lonte pinggir swering, sedangkan “Portugal” adalah singkatan dari persatuan orang tua gatal. Bahasa-bahasa prokem sepeti ini banyak sekali berkembang dikalangan kaum muda Ternate sama halnya dengan bahasa slank /prokem yang banyak dipakai oleh anak-anak gaul Jakarta.
Psikologi perempuan Kartini Kartono dalam bukunya “Psikologi Abnormal dan Pathologi Sex” mengemukakan, bahwa perempuan dan laki-laki dapat disebut normal dan dewasa, bila mampu mengadakan relasi social dalam bentuk normal dan bertanggung jawab, bahwa kedua belah pihak menyadari konsekwensinya dan berani bertanggung jawab terhadapnya, contohnya mau menikah dan memelihara anak yang menjadi produk dari relasi social yang telah dilakukan.
Relasi sex yang abnormal dan perverse (buruk) adalah relasi sex yang tidak bertanggung jawab, didorong oleh kompulsi yang abnormal. Hal demikian bertentangan dengan norma social, hukum, maupun agama. Abnormalitas dalam pemuasaan sex menurutnya antara lain adalah Prostitution atau pelacuran, yang pada umumnya dilakukan oleh kaum perempuan dalam melayani pria hidung belang karena dorongan ekonomi, kekecewaan, atau balas dendam
Prostitusi dan Masalah Sosial
Membicarakan masalah prostitusi sama saja dengan mengunyah masalah yang dianggap paling purba dalam kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Masalah prostitusi atau pelacuran merupakan masalah klasik namun tetap terasa baru dan hangat untuk dibicarakan. Tidak ada seorangpun yang tau pasti kapan dan bagaimana prostitusi itu pertama kali muncul, sebab sangat sulit ditentukan. Namun bisa dikatakan bahwa sejak ada norma perkawinan, diduga sejak itu pulalah muncul prostitusi.
Prostitusi merupakan masalah social sebab keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sering membuat keresahan dan menggangu ketentraman kehidupan social masyarakat. Selain dituding sebagai penyebab degradasi moral masyarakat, prostitusi juga menjadi penyebab utama penyebaran penyakit kelamin. Ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas,prostitusi tidak bisa dipandang sebagai masalah moral cultural belaka, sebab bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari realitas social maupun kondisi ekonomi dan politik yang melatarbelaknginya.
Di tempat-tempat dimana dijumpai praktek-praktek prostitusi, sering terjadi kontaversi pandangan dan kepentingan antara masyarakat di satu pihak dan pemerintah dan penguasa di lain pihak. Hal ini terlihat dari kebijakan –kebijakan yang ditetapkan yang diambil oleh pemerintah, terhadap masalah prostitusi sering kali kurang tegas karena dihadapkan pada berbagai pilihan dan kepentingan.
Bagaimanapun pandangan masyarakat terhadap prostitusi, kenyataan tetap membuktikan bahwa pelacuran itu fungsional di dalam sistim social masyarakat. Hal ini terbukti dengan keberadaannya sejak berabad-abad yang lalu tanpa ada satu kekuatan pun yang mampu menghapuskan dari muka bumi. Hukum selama masih ada permintaan dan penawaran terhadap kebutuhann seks, prostitusi akan tetap eksis sebab ia merupakan salah satu atribut kehidupan umat manusia sejak dahulu kala.
Sementara prostitusi yang terang-terangan dan terorganisir atau prostitusi komersial muncul dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota dengan spesialisasi yang semakin lama semakin bervariasi dan kompleks. Dalam konteks ini, prostitusi sering dipandang sebagi profesi sekelompok orang marginal yang karena desakan social-ekonomi atau faktor lainnya, terceraabut dari akarnya di daeah asal namun tidak mampu mendapatkan pekerjaan di perkotaan karena banyaknya saingan dan terbatasnya pilihan pekerrjaan untuk mereka. Dengan demikian, tumbuh dan berkembangnya prostitusi seperti ini lebih cendrung sebagai ekses perkembangan social ekonomi yang terjadi dalam suatu masyarakat . Prostitusi yang bersifat komersial ini diibaratkan sebagai sebuah drama, suatu konflik kepentingan dan adu kekuatan, sebab seringkali bersifat paksaan, tak bepeikemanusiaan, dan sangat eksploatif, serta didalamnya terdapat beberapa komponen yang memiliki peran sendiri-sendiri. Pelacur merupakan salah satu komponen unsur yang penting dalam prostitusi komersial.
Berkembangnya prostitusi disebabkan oleh berbagai aspek dan sangat kompleks. Selama ini aspek ekonomi (kemiskinan) dipandang sebagai penyebab utama seorang perempuan terjun kedunia hitam, sehingga prostitusi terus bekembang dan tidak mudah dihapuskan. Tetapi apakah hal seperti ini sepenuhnya benar? Pandangan semacam itu kiranya perlu dikaji ulang, sebab tidak selamanya tekanan social-ekonomi/kemiskinan membuahkan pelacuran. Kalau penyebabnya adalah factor ekonomi mengutip pendapat Koentjoro , mengapa ada orang miskin yang menjadi pelacur dan ada orang miskin yang tidak menjadi pelacur? Padahal mereka berasal dari kondisi social dan ekonomi yang sama.
Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuan langsung dari Kasubdin Pelayanan Kesejatraan Sosial Dinas Sulawesi Utara, menurutnya kini banyak oknum PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang diduga melakukan kerja sampingan sebagai PSK (Pekerja Sex Komersial). Menurutnya oknum PNS ke kantor dengan menggunakan pakaian dinas pada jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore dengan alasan mendapat tugas dari kantor, mereka bisa leluasa menjalani profesi sampingannya dan bahakan mendapat nilai yang lebih tinggi, gengsi mereka naik karena profesinya juga sebagai PNS. Hal ini sama dengan di kota-kota besar, dimana mahasiswa yang merangkap profesi sebagai pelacur. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa factor ekonomi bukan satu-satunya alasan, banyak factor lainnya sehingga perempuan banyak yang terjerumus dalam lingkaran prostitusi. (Malut Pos, 8 Juni 2005)
Prostitusi dan Dampaknya tehadap penyakit Kelamin
Prostitusi merupakan masalah social sebab pada hakekatnya aktivitas prostitusi menggangu ketentraman dan keselamatan, baik jasmani, rohani, maupun social dari kehidupan masyarakat. Selain dipandang sebagai bentuk penyimpangan dari norma kehidupan masyarakat dan penyebab degradasi moral manusia, prostitusi juga menjadi penyebab utama perluasan penyebaran penyakit kelamin.
Di Ternate, perluasan penyebaran penyakit kelamin yang disebabkan oleh maraknya praktek-paktek prostitusi sampai sejauh ini belum dapat didata, hal ini disebabkan karena praktek postitusi yang ada dikawasan Maluku Utara belum dilegalkan, masih liar, sehingga dengan demikian agak susah untuk mencari sampai sejauh mana penyebaran penyakit kelamin yang ada di Maluku Utara. Kalaupun ada dipastikan pengidap penyakit kelamin akibat berhubungan sex dengan perempuan pelacur tidak akan mau mengakuinya.
Penyakit kelamin yang diidap dan ditularkan oleh para pelacur ini macam-macam antara lain kencing nanah, genorhea, shiplis dan lain-lain, tapi yang lebih parah sekarang ini adalah virus HIV/AIDS yaitu virus yang paling rentan didapat ketika berhubungan intim dengan pelacur yang tidak “bersih”. Dan karena virus HIV terjangkitnya lewat hubungan sex, maka dengan mudah akan menyebar ke anak-istri di rumah apabila si suami telah terjangkit dari orang lain dalam hal ini dari perempuan pelacur. Dengan demikian sudah selayaknya untuk kaum laki-laki (suami) untuk selalu menjaga dirinya dari berbagai macam bahaya penyakit yang ditularkan dari hubungan sexual yang tidak bertanggung jawab, karena bukan hanya anda yang akan menderita, tapi terlebih keluarga, dalam hal ini anak dan istripun akan tertular.
Tanggung Jawab Siapa?
Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah tanggung jawab siapa untuk bisa meminimalisir keberadaan kaum PSK ini, karena kalau bicara menghilangkan keberadaan mereka tampaknya hal yang mustahil atau tidak masuk diakal, karena dalam sejarahnya kaum PSK ini tidak mungkin dihilangkan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melokalisasi keberadaan mereka. Tapi nampaknya hal ini juga menjadi mustahil, karena kota Ternate sudah dicanangkan oleh wali kota kita sebagai kota Madani, yang didalamnya tersimpan ketaqwaan, dan keimanan yang tentu saja beliau tidak akan menyetujui ide ini. Tapi cobalah kita renungkan, bahwa tentu saja kita tidak mau menjadi bangsa yang munafik,setiap hari kita Sholat kita bicara tentang dosa dan neraka, sementara kita sering plesir ke luar kota untuk refresing dan dan berpesta sex dengan para PSK di kota-kota besar seperti Jakarta, karena sudah menjadi rahasia umum para pejabat kita sering ke Jakarta untuk “refresing”.
Yang paling penting untuk saat ini adalah kita harus bersatu padu antara pemerintah daerah, Dinas Sosial, LSM, dan semua orang yang merasa dirinya sebagai pemerhati perempuan dan keluarga, untuk turun tangan langsung menangani masalah ini, karena semuanya menjadi tanggung jawab kita bersama, jangan lagi terjadi kasus “Ternate Lautan Hot” yang berimplikasi bahwa pemerannya aadalah seorang PSK professional. Selain di swering yang menjadi tempat mangkal mereka, ada lagi tempat mangkal baru mereka, yaitu di ruko-ruko yang berhadapan langsung dengan Mesjid Raya. Ditengarai setiap malam terjadi transaksi sex bebas antara kaum PSK liar dengan lelaki-lelaki hidung belang di kota Ternate yang konon katanya mengedepankan perberadaban Madani. Sangat ironis!

“MANUSIA ½ DEWA TERGUGAT”


(Memaknai Sebuah Simbol ‘Agama’ dalam Kasus Iwan Fals)
Dra. Irza Arnyta Djafaar M. Hum

Seorang Iwan Fals akhirnya tersandung juga, lantaran cover di album terbarunya yang berjudul “Manusia 1/2 Dewa” , ia dikritik oleh Forum Intelektual Muda Hindu Dharma (FIMHD). Mereka tidak setuju bahkan sangat tersinggung ketika Iwan Fals mencantumkan sosok seorang Dewa yang dianggap sakral oleh agama Hindu itu dikomersilkan. Ketua FIMHD Aria Wedakarna menyatakan bahwa dengan pencantuman gambar Wisnu itu berarti melecehkan umat Hindu. Hal ini lebih diperparah ketika salah satu lirik lagu dalam “Manusia ½ Dewa” itu Iwan berkata, “Aku sedang susah, Rasanya ingin menjadi Hanoman atau Janggo”. Hanoman disamakan dengan Janggo, si koboy pahlawan Amerika pembasmi kejahatan. Ini sungguh suatu pelecehan. Menurut ketua FIMHD , kalau mau mencantumkan gambar-gambar atau simbol-simbol dewa sebaiknya mencari agama yang penganutnya sudah tidak ada di muka bumi ini, atau minimal diberi keterangan gambar yang menyatakan sosok dewa tersebut dan menyebutkan namanya. Aria kecolongan, rupanya dalam kasus ini Iwan banyak dibantu oleh musisi dan seniman Bali, salah satunya Dewa Budjana, juga Forum Parisade Hindu Pusat yang menyatakan tidak ada unsur pelecehan dalam albumnya. Selesaikah kasus “Manusia ½ Dewa” Iwan Fals?
Ternyata tidak !, Iwan tersandung lagi, masalahnya salah satu lirik di album “Manusia ½ Dewa” dalam lagunya yang berjudul “17 Juli 1966”, Iwan mengatakan dengan lirik sebagai berikut: “Sengkuni kilik sana sini, Kurawa dan Pandawa rugi, Dewa-dewa kerjanya berpesta Sambil nyogok bangsa manusia (para kuli tinta)”. Iwan pun kembali dipermasalahkan oleh salah seorang Raja Bali, dengan alasan pelecahan lagi, karena Dewa mereka dalam kitab sucinya tidak pernah berpesta pora sambil menyogok manusia. Iwan pun tergugat lagi !
Kasus serupa belum lama juga terjadi pada seorang novelis perempuan, yang juga terkenal sebagai penyanyi yang tergabung dalam mantan grup RDS (Rida, Sita, Dewi). Perempuan yang melejit namanya lewat Trilogi novelnya Super Nova ini, ketika menulis novelnya yang kedua “Akar”, Dewi atau Dee mencantumkan gambar/simbol “Om” (salah satu simbol Hindu) pada sampulnya. Serta merta Aria Wedakarna bereaksi dan berbicara ke setiap media infoteinment bahwa Dee melecehkan agama Hindu. Persoalannya adalah siapakah yang sesungguhnya tidak memahami arti dan lambang dari agama Hindu ini. Memang orang yang bukan penganut Hindu akan sangat awam dalam memahami agama ini, apakah Hindu dipandang sebatas kebudayaan, ataukah memang ia (Hindu) benar-benar sebuah agama?
Mempelajari agama Hindu tidaklah segampang yang diperkirakan orang, karena sangat kompleks, menyangkut banyak dewa yang harus disembah, banyak simbol-simbol yang dipelajari terutama menyangkut kepercayaan kepada tiga dewa (Trimurti) yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa yang menciptakan, memelihara dan membinasakan. Dengan demikian dewa-dewa Hindu beserta simbol-simbol yang ada didalamnya tidaklah begitu muda kita memakainya, karena sesuatu yang kita anggap lumrah dan biasa-biasa saja, ternyata sangat berbeda dengan mereka ( Hindu). Contoh Hanoman dalam lirik lagu Iwan Fals, (Hanoman adalah seekor kera). Untuk kita “Kera” adalah hewan yang sering kita pakai untuk umpatan, makian dan yang berkonotasi jelek, tapi bagi masyarakat Hindu Kera adalah hewan yang menyelamatkan Dewi Sinta dari Rahwana seorang raksasa jahat dari kerajaan Alengka. Demikian halnya dengan hewan sapi atau lembu, di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu sangat menghormati sapi, hewan ini tidak dapat di usir apabila dia nyasar dan duduk di tengah-tengah jalan raya, lebih baik bagi mereka adalah berbalik arah daripada harus mengusir hewan tersebut, hewan ini akan dibiarkan sampai pergi sendiri. Bagi kita mungkin ini terlalu berlebihan, tapi tidak bagi mereka, karena sapi adalah kendaraan bagi Dewa Ciwa, dan sapi ini dalam kepercayaan agama Hindu namanya adalah Nandi atau sering disebut sebagai “Lembu Nandi”.
Untuk memahami agama Hindu, kita harus mengenal Kitab yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran dari dewa-dewa kepercayaan mereka, seperti halnya ketika kita mempelajari Al-qur`an, Injil, Taurat dan Zabur, yang isinya adalah ajaran-ajaran dari Tuhan yang disampaikan melalui para Nabi.
Agama Hindu mengakui bahwa Tuhan mereka adalah satu tetapi mempunyai tiga badan, atau disebut “Trimurti“ yang maksudnya adalah Dewa yang tertinggi (Icwara) yang menjadikan dan menguasai alam semesta. Dewa ini berbadan tiga, sesuai dengan kekuasaan Icwara yang tiga macam : mencipta, memelihara atau melangsungkan dan membinasakan. Ketiga macam kekuasaan yang masing-masing diwakili oleh satu badan dewa ini kemudian menjadi diwakili oleh seorang dewa. Demikianlah dewa pencipta adalah Brahma, dewa pemelihara adalah Wisnu dan dewa pembinasaan adalah dewa waktu (Ciwa).
Di antara ketiga dewa tertinggi ini hanya Wisnu dan Ciwa yang mendapat pemujaan luar biasa. Hal ini adalah wajar, kalau kita mengingat bahwa yang dihadapi manusia ialah apa yang sudah tercipta. Maka dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, manusia lebih cenderung lebih memperhatikan apa-apa yang sudah diciptkan. Pun kenyataannya bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.
Dengan demikian tidaklah salah ketika seorang penyanyi kharismatik sebesar Iwan Fals memilih Wisnu sebagai simbol di sampul kasetnya. Sebuah kebanggaan sebenarnya bagi umat Hindu, karena dengan demikian mereka tidak perlu lagi bersusah payah untuk menyiarkan agamanya, karena Iwan Fals telah mempopulerkannya lewat lagunya “Manusia ½ Dewa” yang dalam beberapa lagunya menggambarkan tentang dewa-dewa serta makna simbol dari agama Hindu. Dalam lirik lagunya “Matahari Bulan dan Bintang” Iwan yang sedang susah meminta bantuan Hanoman, karena Hanoman dipercaya dapat menyelamatkannya, seperti halnya ketika Hanoman menyelamatkan Dewi Shinta dari Rahwana. Demikian juga ketika Iwan mencantumkan gambar Wisnu di sampul kasetnya. Penulis bisa menangkap bahwa Wisnu yang digambarkan sini adalah Wisnu yang dapat memelihara apa yang sudah diciptakan Brahma. Dalam segala bentuk dan perwujudannya Wisnu tetaplah dewa yang memelihara dan melangsungkan alam semesta. Maka sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam kesalamatan dunia. Untuk keperluan ini Wisnu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan macamnya bahaya. Penjelmaan ini disebut Awatara. Bagi Iwan ini merupakan sebuah sindiran bagi politisi kita dan bagi siapa saja yang tidak bisa menjaga alam yang sudah ada, maunya hanya mengeksploitasi dan merusak apa yang sudah diciptakan.
Kendaraan atau alat angkut bagi dewa Wisnu adalah burung Garuda. Di sampul kasetnya, Iwan melukiskan dengan apik Dewa Wisnu yang lagi mengendarai Garuda, yang sekarang dipakai oleh bangsa Indonesia sebagai lambang negara.
Kalau berbicara tentang lambang, maka tidak terhitung jumlahnya lambang Hindu yang dipakai oleh bangsa Indonesia. Salah satu contoh, untuk logo Universitas yang ada di Indonesia yaitu Institut Tekhnologi Bandung memakai Ganesha sebagai logonya. Ganesha adalah anak dari dewa Ciwa, Ganesha adalah dewa berkepala gajah yang disembah sebagai dewa Ilmu dan dewa penyingkir rintangan-rintangan. Seperti di ketahui dewa dalam agama Hindu bisa menikah dan mempunyai anak. Istri Ciwa adalah Durga yang mempunyai kendaraan yaitu singa. Selain beranakkan Ganesha, Ciwa juga mempunyai anak yang bernama Kartikeya yaitu dewa yang selalu digambarkan sebagai kanak-kanak naik burung merak dan mempunyai kedudukan sebagai dewa perang.
Demikian juga dengan logo Universitas tertua di Maluku Utara yaitu Universitas Hairun, Ganesha dipakai juga sebagai lambang, yang jadi masalah disini adalah, Maluku Utara tidak mengenal dan terpengaruh dengan agama Hindu, tapi kenapa lambang ini dipakai. Dengan demikian logo Unkhair harus diganti. Jangan-jangan kita juga akan diprotes oleh FMHD karena dianggap melecehkan agama Hindu. Tapi ini tidaklah masalah karena seiring dengan penegrian Unkair yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno Puteri, Unkhair telah menyelenggarakan lomba logo yang menggambarkan potensi kekayaan alam serta simbol-simbol yang memuat filosofi dari daerah Maluku Utara sendiri.
Kembali kepada agama Hindu, dalam perkembangan selanjutnya, agama yang bersifat kerakyatan ini tidak dapat menghindarkan diri dari anasir-anasir filsafat dan Mystik oleh karena kuatnya kepercayaannya akan hukum karma dan cita-cita akan moksa.
Kegaiban-kegaiban yang meliputi para dewa, tempat manusia menyandarkan nasibnya dan memohonkan kurnianya, menimbulkan berbagai pemikiran. Meskipun kepada dewa-dewa dikenakan sifat-sifat seperti manusia, namun mereka sangat berbeda juga. Dewa itu kekal, tidak dapat dan tidak akan mati seperti manusia. Maka bertentanganlah kalau (yang kekal) itu berbuat, karena perbuatan itu ada mulanya dan ada akhirnya.
Dengan demikian setelah membaca uraian yang ada di atas menyangkut agama Hindu, masihkah kita bisa memakai lambang atau simbol-simbol yang ada dalam agama ini, tergantung anda, bagaimana anda menilainya apakah Agama Hindu kita lihat sebatas agama, ataukah dari segi kebudayaannya., karena batasannya sangat tipis, seorang penyanyi pop yang digilai anak-anak muda Avril Lavigne, dalam video klipnya “Knocing on Heaven`s door” salah seorang modelnya mempertontonkan lambang “om” yang digambar di telapak tangannya, lambang ini sama dengan sampul bukunya Dewi Lestari. Dewi diprotes, sementara Lavigne tidak. Lambang Swastika yang identik dan menjadi simbol dari Nazi Jerman, juga tidak diprotes, bahkan mungkin sebagian orang tidak memahami bahwa swastika adalah lambang dari sebuah agama. Ataukah karena akar sejarahnya Hindu menyangkut ras Arya, sehinnga bisa ditarik benang merahnya, antara Hindu dengan ras Arya Jerman, karena seperti kita ketahui bangsa Arya yang merupakan induk bangsa Indo-Eropa, memasuki daerah hulu sungai Sindhu yang terkenal dengan nama Panjab (5 sungai) pada kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi. Disini mereka membangun kota-kota yang sangat modern yaitu Mohenjo Daro dan Harappa.
Kesimpulannya orang Hindu harus bangga, bahwa agamanya sangat Universal. Bisa melewati batas suku, ras bahkan agama itu sendiri. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan Indonesia telah mulai mengalami perubahan besar dengan adanya agama Hindu. Pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki jaman sejarah, tetapi juga membawa perubahan dalam susunan masyaraktanya, yaitu timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan, dan dalam alam pemikiran pula dengan adanya bentuk keagamaan yang baru. Dengan sendirinya penghidupan dan adat kebiasaan ikut berubah.
Maka biarkanlah imajinasi manusia terbebaskan, tidak di pasung untuk kepentingan sekelompok orang yang mengatas namakan agama, sehingga kita bisa hidup secara damai, tidak ada lagi ketakutan ketika kreatifitas kita mengembara, karena kebebasan manusia satu-satunya yang ada di dunia ini, adalah ketika dia dapat berimajinasi dengan bebas, baik melalui lagu, maupun tulisan.

”Penduduk Asli/Masyarakat Adat dan Pelestarian Lingkungan”

Irza Arnyta Djafaar , M. Hum

Menurut The World Conservation Union, dari sekitar 6.000 kebudayaan di dunia, 4.000 – 5.000 di antaranya adalah masyarakat adat/suku asli. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70 – 80 persen dari semua masyarakat budaya di dunia. Sebuah jumlah yang cukup besar yang tidak boleh dipandang remeh, kendati dalam kerangka dominasi ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mereka selalu dipinggirkan dan diabaikan.
Masyarakat adat dalam hal ini suku asli, selalu diabaikan dan dipinggirkan karena menurut anggapan masyarakat modern, masyarakat adat adalah masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah dengan demikian pemahaman tentang lingkungan juga dianggap rendah karena keterbatasan pengetahuan dalam hal ini adalah pendidikan. Padahal dalam kenyataannya justru merekalah yang paling concern dalam menjaga alam dan lingkungannya.
Hal yang paling fundamental dari perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat di seluruh dunia yang memandang dirinya, alam dan relasi di antara keduanya dalam perspektif religius, perspektif spiritual. Maka, alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional/masyarakat adat sebagai sakral, sebagai hal yang suci. Spiritualitas merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan mewarnai seluruh relasi dari semua ciptaan di alam semesta, termasuk relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib atau yang suci. Demikian pula, spiritualisasi akan selalu menjiwai, mewarnai dan menandai setiap aktivitas manusia, yang tidak lain adalah aktivitas dalam alam yang sakral itu.
Dalam perspektif kesakralan tersebut, agama dipahami dan hayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Dalam penghayatan agama seperti itu, masyarakat adat selalu ingin mencari dan membangun harmoni diantara manusia, alam, masyarakat dan dunia gaib, dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Harmoni dan keseimbangan sekaligus juga dipahami sebagai prinsip atau nilai paling penting dalam tatanan kosmis.
Pengaruh langsungnya adalah setiap perilaku manusia, bahkan sikap batin yang paling tersembunyi di lubuk hatinya, harus ditempatkan dalam konteks yang sakral, dalam spiritualitas. Maka, baik secara individu maupun kelompok, terhadap diri sendiri, sesama manusia, harus murni, bersih, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik, yang tidak boleh dirusak dengan prilaku yang merugikan, menjadi prinsip moral yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan upacara religius- adat.
Dalam arti itu, moralitas adalah tuntutan setiap masyarakat adat. Moralitas ini tidak hanya menyangkut perilaku manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan dirinya dan juga dengan alam. Ada keyakinan religius moral, bahwa sikap batin dan prilaku yang salah, yang bengkok, yang merusak hubungan dengan sesama dan alam, akan mendatangkan malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun bagi komunitas. Dalam konteks itu bisa dipahami bahwa semua bencana alam- banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan merupakan konsekuensi dari kesalahan sikap batin dan perilaku manusia, baik terhadap sesama maupun terhadap alam. Dengan demikian maka perlu adanya rekonsiliasi dalam bentuk upacara religius, upacara adat, dengan membawa korban baik untuk sesama yang dirugikan maupun untuk alam yang telah dirusak. Perlu ada pemulihan kembali relasi yang rusak. Dengan kata lain, perilaku moral, baik terhadap sesama maupun terhadap alam, adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan, dari etika masyarakat adat tersebut.
Masyarakat adat/suku asli memandang dirinya sebagai bagian integral dari komunitas ekologis, komunitas alam. Maka, mereka berkembang menjadi dirinya, baik secara individu maupun secara kelompok, dalam ikatan dan relasi dengan alam semesta seluruhnya, dengan seluruh makhluk di alam semesta. Mereka tidak pernah berusaha menjalani hidup yang hanya mementingkan hubungan dengan sesama. Yang juga penting bagi mereka adalah relasi dengan alam sekitarnya : dengan hutan, dengan laut, dengan danau, dengan sungai, dengan gunung, dan dengan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan di alam. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa cara berpikir, berperilaku, dan seluruh ekspresi serta penghayatan budaya masyarakat adat sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh relasi dengan alam sebagai bagian dari hidup dan eksistensi dirinya.
Dalam komunitas ekologis itu, masyarakat adat – sebagai mana misalnya yang ditemukan pada suku Maori dan suku- suku di India- memahami segala sesuatu di alam semesta ini sebagai terkait dan saling tergantung satu sama lain. Begitu juga dengan suku-suku yang ada di Maluku Utara, Makian misalnya. Dalam tradisi membuka lahan baru (menebang hutang untuk berkebun), atau tradisi oleh masyarakat nelayan tradisional Ternate sebelum melaut harus lebih dulu dilakukan upacara ritual untuk menghormati alam sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai atau kekuatan magis, maka sesajen-sesajenpun harus diberikan kepada roh-roh penunggu alam semesta. Ketika alam murka dan gunung memuntahkan laharnya, tradisi Kolili Kie adalah sebuah solusi dimana masyarakat bersama Sultannya mengelilingi pulau Ternate dengan memakai perahu-perahu tradisional, mereka meminta supaya alam jangan lagi murka, dan percaya atau tidak, alampun bersahabat lagi dengan manusia. Alam dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Sebaliknya, dan perkembangan kehidupan manusia menyatu dengan proses evolusi dan perkembangan kehidupan alam semesta seluruhnya. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang didasarkan pada kekerabatan hidup dan hidup layak sebagai manusia dalam arti seluas-luas dan sepenuhnya, manusia bergantung pada alam, bukan hanya pada sesama manusia.
Mengapa kearifan tradisional yang dikenal di seluruh dunia mengalami erosi, kalau bukan punah? Ada beberapa jawaban yang bisa diberikan di sini, yaitu terjadi proses de-sakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Alam yang dipahami sebagai sakral oleh masyarakat adat dan menyimpan sejuta misteri yang sulit bisa dijelaskan dengan menggunakan akal budi, sehingga membangkitkan sikap kagum penuh rasa hormat, kehilangan sakralitas dan misterinya dalam terang ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Orang tidak lagi memandang gunung, hutan dan laut beserta isinya sebagai tempat yang sakral. Gunung Gammalama yang dulunya menghimpun berjuta misteri karena didalamnya tersimpan berbagai macam mitos dan takhyul serta kepercayaan yang akan menyelamatkan alam, sekarang diabaikan. Atas nama ilmu pengetahuan yang selalu dikaitkan dengan logika dan segelintir orang yang tidak mau dicap kampungan karena selalu merasa dirinya orang modern, mereka tidak lagi memperdulikan kelestarian tempat-tempat yang dianggap sakral. Sepanjang jalan menuju ke puncak Gammalama bertebaran sampah-sampah an-organik yang tidak akan musnah meskipun tulang belulang kita telah musnah, pohon-pohon besar yang menyimpan begitu banyak misteri, sekujur tubuhnya dipenuhi dengan coretan-coretan yang tidak bermakna, alampun menangis!
Bersama dengan itu, kekuatan magis alam menjadi hilang. Terjadi desakralisasi alam, yang membuat alam tidak lagi menarik untuk dihormati, disembah, dan dipelihara penuh takjub. Maka, manusia pun melihat dirinya begitu agung dan superior berhadapan dengan alam yang tidak berarti sama sekali. Oleh karena itu, sikap hormat, perilaku merawat, mencintai dan menjaga keharmonisan atau hubungan baik dengan alam menjadi tidak relevan dan tidak punya tempat lagi.
Penduduk asli merupakan satu-satunya penjaga habitat-habitat luas yang tidak terganggu di bagian-bagian terpencil setiap benua. Wilayah-wilayah ini, yang kalau digabungkan meliputi suatu daerah yang lebih luas dari pada Australia, memberikan pelayanan -pelayanan ekologi yang penting : mereka itu mengatur siklus air, mempertahankan stabilitas iklim setempat dan global, dan memuat kekayaan hayati serta keanekaragaman genetik. Memang, tempat tinggal penduduk asli boleh jadi merupakan tempat perlindungan yang aman bagi lebih banyak spesies tumbuhan dan binatang yang terancam dari pada seluruh cagar alam di dunia. Apalagi penduduk asli kerapkali memegang kunci gudang-gudang keanekaragaman hayati ini. Mereka mempunyai kumpulan pengetahuan ekologi yang tertulis dalam bahasa, kebiasaan, dan praktek-praktek subsistensi mereka yang menyaingi perpustakaan-perpustakaan ilmu pengetahuan modern.
Di seluruh dunia, penduduk asli/masyarakat adat sedang berjuang untuk memperoleh wilayah nenek moyang mereka. Mereka berjuang di pengadilan-pengadilan dan parlemen-parlemen nasional, mendapatkan kekuasaan melalui gerakan-gerakan massa baru serta kampanye-kampanye international, dan sebagaimana di lereng-lereng Gunung Apo membela warisan mereka dengan nyawa mereka, Pertanyaannya adalah, Siapakah yang akan berjuang bersama mereka?.
Penduduk asli (atau penduduk “setempat” atau “suku-suku”) ditemukan di setiap benua dan di kebanyakan negara. Amat beragamnya cara hidup mereka serta keadaan mereka sekarang memustahilkan membuat batasan yang gampang. Memang, banyak ahli antropologi menegaskan bahwa penduduk asli/masyarakat adat hanya didefinisikan oleh cara mereka mendefinisikan diri mereka sendiri. mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai anggota bangsa yang khusus. Namun, banyak kebudayaan asli mempunyai sejumlah sifat yang sama sehingga mempermudah untuk melukiskannya, kalau tidak mendefinisikannya.
Jadi siapakah yang dapat digolongkan kedalam penduduk asli itu? Mereka biasanya keturunan penduduk asli suatu wilayah yang diambil alih oleh orang-orang luar yang lebih kuat. Mereka berbeda dengan kelompok dominan negara mereka dalam hal bahasa, budaya atau agama. Kebanyakan mempunyai konsep penjagaan terhadap tanah serta daya sumber daya lain, sehingga dengan mendefinisikan diri mereka sendiri dalam hubungannya ke habitat tersebut tempat mereka mencari nafkah. Lazimnya mereka hidup di dalam atau mempertahankan hubungan-hubungan yang kuat dengan ekonomi subsistensi : banyak yang menjadi atau keturunan dari pemburu- pengumpul, nelayan, penggembala, berpindah-pindah atau musiman, petani perambah hutan, atau petani subsistensi. Dan hubungan-hubungan sosial mereka kerapkali bersifat kesukuan, menyangkut pengelolaan bersama sumber daya –sumber daya alam, jaringan ikatan-ikatan yang sangat kuat antara individu-individu, dan pengambilan keputusan secara berkelompok, kerapkali dengan musyawarah di antara penatua.
Penebangan hutan, secara istimewa, merupakan ancaman karena begitu banyak penduduk asli tinggal di hutan–hutan, para kontraktor bangunan jepang, misalnya tengah melahap hutan-hutan kayu keras kuno di Kalimantan di wilayah tropis, tempat tinggal suku Penan dan suku-suku Dayak lainya. Hal ini terjadi juga di Maluku Utara, dengan rakusnya para pengusaha kayu dari Malaysia melahap habis hutan-hutan kita yang berada di daratan Halmahera, yang tinggal hanyalah hutan-hutan gundul yang merana. Para pengusaha kayu pulang dengan kekayaan melimpah sementara masyarakat asli hanya terpuruk meratapi nasib hutannya yang dilibas habis.
Akibat-akibat penambangan di tanah-tanah milik suku bersifat merusak juga. Pada akhir tahun 1980-an, misalnya, puluhan ribu pencari emas memasuki tempat hunian suku Yanomami di bagian utara Brasil yang sangat terpencil, kelompok besar terakhir dari penduduk asli di Amerika. Para penambang mengubah kali-kali menjadi tempat pembuangan tinja, mencemari lingkungan hidup itu dengan 1.000 ton merkuri beracun yang mereka gunakan untuk memurnikan emas, dan mempercepat datangnya wabah malaria yang membunuh lebih dari 1.000 anak-anak dan orang-orang tuanya.
Hal yang sama terjadi juga di daerah kita, sekarang ini banyak sekali penambangan-penambangan yang tidak memperdulikan kelestarian lingkungan, mulai dari penambangan emas, nikel dan lain sebaginnya, tanpa memperdulikan hak dari masyarakat adat/penduduk asli mereka menambang tanpa memikirkan dampaknya bagi keberlangsungan hidup umat manusia yang ada di sekitarnya. Kejadian di Brasil akan mungkin terjadi juga di kita, kalau kita tidak mengindahkan etika lingkungan yang selama ini kita sengaja abaikan.

ANAK JALANAN DAN KONVENSI HAK ANAK

IRZA ARNYTA DJAFAAR M. HUM

Apa hadiah terbaik untuk anak? Masa kanak-kanak! Demikianlah kata orang bijak. Segala macam hadiah permainan dan benda tidak berharga kalau dibandingkan dengan masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak seharusnya masa yang penuh canda, permainan, dan kesempatan untuk belajar semaksimal mungkin, karena masa-masa antara menangis dan tertawa hanya berjarak pendek. Periode dalam hidup kita mudah diberikan kata-kata manis dan lembut serta belaian kasih dapat diharapkan setiap saat, dan tingkah manja dapat memperoleh tanggapan positif. Ini yang dialami oleh kita semua. Kita bermain dan belajar sampai mencapai usia 18 tahun. Bagi beberapa di antara kita bahkan sampai usia 25 tahun belum mempunyai tanggung jawab yang cukup besar. Bagaimana dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa di usia yang sangat dini mereka mempunyai tanggung jawab yang sangat bersar untuk dirinya sendiri dan keluarganya.
Amin, yang berusia 11 tahun, sehari-hari hidupnya di jalanan di depan Bank BNI, tugasnya sehari-hari adalah menutup kendaraan roda dua (motor) dari cuaca panas, sekaligus menjaga keamanan dari motor tersebut. Demikian juga halnya dengan Umar, berumur 10 tahun dan duduk dibangku Sekolah Dasar kelas IV, pekerjaannya sama dengan Amir. Yang membedakan mereka adalah lokasi tempat mereka mengais rejeki, kalau Amin di seputaran Swering, Umar di depan salah satu Mini Market (Swalayan) di Kota Ternate. Selain mereka berdua masih banyak lagi anak-anak usia sekolah yang mengais rejeki di jalanan.
Tanggung jawab mereka cukup besar, karena tanpa kontribusi tenaganya maka orang tuanya akan sangat kesulitan untuk menafkahi hidupnya. Amin, mempunyai penghasilan sehari rata-rata Rp. 10.000. Rp.5000 diberikan kepada ibunya untuk makan mereka sehari-hari, dan Rp.5000 nya lagi untuk ditabung, tabungannya nanti dibongkar ketika Amin memerlukan untuk membeli seragam atau buku-buku sekolahnya serta membayar uang sumbangan pendidikan. Untuk pekerjaannya sekali menutup motor Amin akan diberikan uang jasa antara Rp.500 sampai Rp.1000 tergantung kebaikan dari yang empunya motor.
Uang yang mereka terima tidak sepadan dengan keselamatan dan kesehatan mereka di jalanan. Dari segi keselamatan mereka tentu saja tidak aman, karena sering terjadi kecelakaan di saat mereka memburu kenderaan yang mau mereka jaga, karena ketika motor belum berhenti mereka akan berebutan, belum lagi dengan lalulalang kenderaan di jalanan yang ngebut seenaknya sangat membahayakan jiwa mereka. Dari segi kesehatan, mereka setiap hari menghirup asap knalpot yang mengandung gas beracun, sehingga penyakit seperti paru-paru dan sakit mata akan sangat rentan terjangkit, belum lagi penyakit kulit, karena sering terkena panas matahari dan kena pengaruh udara malam yang dingin. Jadi dalam segala hal anak-anak jalanan ini akan sangat dirugikan. Selain resiko fisik anak juga harus menanggung beban psikis, seperti mendapat perlakuan dan perkataan kasar, pelecehan seksual dan lain sebagainya.
Di seluruh dunia saat ini diperkirakan terdapat 300 juta anak yang terpaksa bekerja, setengahnya atau sekitar 100-150 juta terdapat di Asia, kebanyakan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jumlah pekerja anak di seluruh dunia bertambah dengan 80.000 anak perhari. Di Indonesia sendiri perkiraan resmi mengenai jumlah pekerja anak berkisar 2, 45 juta anak, dan bakal bertambah banyak lagi kalau sudah di survey sampai ke Maluku Utara mengingat bahwa pasca konflik pasti meninggalkan dampak, salah satunya adalah anak-anak jalanan yang bermunculan. Sebelun konflik horisontal terjadi di Maluku Utara pada era 90-an pernahkah kita melihat anak-anak jalanan?
Ada beberapa sebab penyebab keberadaan pekerja anak, salah satunya dan yang utama adalah “Kemiskinan”. Jika kelangsungan hudup keluarga menjadi terancam oleh kemiskinan, maka seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak terpaksa dikerahkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Padahal Convention on the Right of the Children atau Konvensi Hak anak yang dibuat di Jenewa pada tahun 1989 merupakan wujud upaya penangulangan atas keprihatinan negara-negara terhadap permasalahan anak termasuk di dalamnya adalah anak jalanan. Indonesia sebagai salah satu negara yang menyepakati, meratifikasi CRC pada tahun 1990. Pasca event ini permasalahan anak lebih mendapat perhatian. Beberapa program dibuat untuk mengatasi permasalahan anak-anak, baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun lembaga-lemabaga Swadaya non pemerintah. Dengan program-program ini ada identifikasi sektor-sektor yang melibatkan anak dalam kerja juga gambaran eksploitasi yang terjadi, misalnya keterlibatan anak di jalanan, nelayan, industri dan perkebunan. Mudah-mudahan hal ini sudah disentuh oleh pemerintah daerah kita dan lembaga-lembaga swadaya lainnya, karena suatu permasalahan yang tidak diungkap, akan tenggelam begitu saja, tidak ada keberpihakan, perjuangan, perubahan terhadap pihak-pihak yang tercerabut hak-haknya dalam hal ini adalah anak-anak jalanan yang penulis yakin, ditangan merekalah terjamin masa depan sebuah bangsa. Selamat Hari Anak!

“Mau Maju dalam Pendidikan, Belajarlah dari Jembrana dan Tanah Datar”

Irza Arnyta Djafaar M. Hum
Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Khairun Ternate
(Pemerhati Pendidikan)

Bagi orang Jembrana di Bali yang namanya pendidikan dan kesehatan bukanlah barang mewah dan mahal, begitu juga untuk maasyarakat Tanah Datar di Sumatera Barat, bagi mereka pendidikan adalah hal murah yang bisa mereka nikmati sepuas-puasnya. Sebuah hal yang sangat langka bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, karena untuk Indonesia pendidikan dan kesehatan tetaplah menjadi barang mewah, hal ini disebabkan karena ketidakperpihakan pemerintah daerah untuk mau memperhatikan kedua hal tersebut. Di daerah lain di Indonesia orang akan enggan berobat karena mahalnya tarif dokter dan mahalnya obat-obatan, kalaupun ada dan murah pasti pelayanannya yang sangat kurang. Demikian juga untuk bidang pendidikan, berbagai uang pungutan selalu ada dengan berbagai macam dalih dan alasan yang ujung-ujungnya selalu menyusahkan orang tua murid.
Hal ini berbeda dengan Pemda Jembrana, Pemda telah menyubsidi seluruh kebutuhan Sekolah Negeri dari tingkat dasar hingga menengah atas. Seluruh ongkos belajar mengajar didalam kelas, hingga ekstra kurikuler murid disekolah ditanggung Pemda. Jumlah subsidi berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi sekolah, terutama jumlah murid dan pengajar. Dan untuk meningkatkan kualitas dan mutu guru terdapat sejumlah program bagi guru yakni pemberian insentif tambahan untuk guru setiap jam Rp. 5000,- (diluar tunjangan guru) dan bonus Rp. 1.000.000,- setiap tahun atau sebagai gaji ke 14.
Terbuka pula kesempatan melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi bagi guru dengan biaya sebagian ditanggung Pemda Jembrana. Guna membayar insentif guru itu saja Pemda Jembrana mengalokasikan Rp. 5,1 Milyar pada tahun 2004. Tidak heran muncul kelakar diantara pegawai Pemda bahwa profesi paling enak saat ini di Jembrana adalah menjadi seorang guru. Dengan demikian yang namanya impian guru Indonesia bisa sama dengan guru di negara Jepang yaitu profesi mulia karena terhormat dan mendapatkan fasilitas yang memadai bisa juga terjadi di negara kita.
Dana untuk membayar intensif dan lain-lain diperoleh dari PAD Jembrana yang hanya Rp. 11,5 Milyar. Jika ditambahkan dengan total pembagian dari pusat, total APBD Rp. 232 Milyar. Dan yang membanggakan, berdasarkan APBD 2004 Jembrana tidak berutang sama sekali. Hal ini dikarenakan beberapa kebijakan yang cukup ekstrim yang diambil oleh Pemda Jembrana antara lain perampingan dan penyederhanaan organisasi. Jumlah karyawan tidak dipotong, akan tetapi jumlah pejabat eselon IIb, IIIb, IVa, dikurangi drastis. Otomatis tunjangan jabatannya berkurang. Mobil dinas cukup dengan menyewa karena jauh lebih murah, tidak perlu perawatan, dan dapat selalu memilih jenis terbaru. Demikian pula dengan fasilitas rumah. Efisiensinya luar biasa mereka bisa mendapatkan Rp. 2 Milyar mulai tahun 2003. Dengan upaya dasar kualitas hidup itu diharapkan warga Jembrana menjadi sehat dan cerdas. Yang saat ini masih kanak-kanak begitu dewasa mampu menginterfensi keluarga dan masyarakatnya. Ujungnya, visi Jembrana adalah sejahtera, adil, iman, dan budaya tidak lagi menjadi sebuah khayalan atau mimpi kosong. Kapan masyarakat Maluku Utara bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.
Bupati Jembrana Prof. Dr. drg I Gede Winasa menyebutkan Jembrana bisa membebaskan biaya pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas utnuk semua murid sekolah negeri dan memberi beasiswa yang besarnya antara Rp. 7.500,- hingga Rp. 20.000,- per bulan untuk siswa SD hingga SLTA Swasta yang berprestasi gurupun diberi kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan.
Dalam efisisensi sarana Winasa menyatukan semua kantor kabuten didalam satu lokasi sehingga menghemat biaya listrik dan mempercepat rantai komando. Peningakatan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan melaui sistem Bolck Grant dan bukan proyek sehingga efisiensi penggunaan dana meningkat sebanyak 15 – 30 persen selain meningkatkan partisipasi masyarakat dalm pendidikan yang rata-rata sampai 40 persen karena yang mengerjakan adalah komite sekolah.
Senada dengan Bupati Jembrana, Bupati Tanah Datar Masriadi mengatakan bahwa langkah pertama pelayanan unggul untuk pendidikan adalah penetapan rasio guru dan murid. Ia berpendapat idealnya seorang guru membina maksimal 25 murid supaya terjadi komunikasi intensif dalam proses belajar mengajar. Guru tak hanya mengajar, tapi tahu betul keadaan murid dirumah dan lingkungannya.
Penyediaan sarana dan prasarana dasar untuk kelangsungan pendidikan, seperti gedung sekolah, guru, dan kurikulum adalah tanggung jawab pemerintah. Begitu juga terselenggaranya pendidikan yang baik aman dan lancar. Dengan demikian setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya setelah mengenyam pendidikan minimal tertentu. Namun partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk terlaksananya pendidikan tersebut serta peningkatan kualitasnya. Partisipasi tersebut antara lain melalui Komite sekolah, pembayaran uang sekolah, dan bantuan lain sesuai dengan kemampuan.
Dana partisipasi pendidikan oleh masyarakat itu digunakan untuk membayar gaji guru honor, menambah buku perpustakaan, mengadakan alat peraga pendidikan dan kebutuhan lain untuk peningkatan kualitas sekolah yang bersangkutan. Di Tanah Datar dana partisipasi masyarakat seperti uang sekolah tak begitu besar : Rp. 10.000 hingga Rp. 30.000 per bulan. Kebijakan lanjutan dari sokongan masyarakat ini adalah apabila suatu sekolah tak mancapai kemajuan, Kepala Sekolahnya diganti oleh yang mampu dan punya kompetensi lulus TOEFL ujian bahasa Inggris.
Berkaitan dengan upaya peningkatan peningkatan mutu guru dan kesiapan memasuki era globalisasi., pemda Tanah Datar telah mengirimkan 15 guru bahasa Inggris SMU di Tanah Datar mengikuti kursus singkat di Adelaide Language School, Australia. Sepulang dari Australia setiap guru selain menularkan pengalamannya kepada guru lainnya, juga diminta menyiapkan pola dan strategi yang cocok untuk pengajaran bahasa Inggris dan membentuk English Club. Di Tanah Datar setiap sekolah punya satu laboratorium komputer. Melalui program One School One Computer Laboratorium, peserta didik ditargetkan dapat menggunakan komputer dan internet. Kini sudah ada 400 unit komputer yang menyebar diberbagai sekolah. Tahun 2005 ini akan ada tambahan sebanyak 1.000 unit. Pemerintah kabupaten Tanah Datar merencanakan dalam tiga tahun ini memfasilitasi pembentukan laboratorium komputer di SLTA, SLTP, Madrasah dan SD sehingga rasio peserta didik dan komputer nanti akan 1 : 50.
Salah satu indikator meningkatnya mutu pendidikan di Kabupaten Tanah Datar dapat dilihat dengan terus menigkatnya jumlah mahasiswa asal Tanah Datar yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, baik melaui program tanpa tes, beasiswa maupun melalui tes sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Untuk Sumatera Barat, prestasi pendidikan di Kabupaten Tanah Datar sungguh mengejutkan. Tanggal 16 Agustus 2004 Bupati Masriadi Martunus meraih Piagam Penghargaan sebagai pengelolah pendidikan terbaik dari gubernur Sumatera Barat.
Jadi sudah selayaknya kita bercermin dan banyak belajar kepada dua orang Bupati dengan daerah yang dipimpinnya yaitu Jembrana dan Tanah Datar, karena Lembaga bergengsi semacam Lembaga International Partnership dan Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, sebagai satu dari tujuh Kapubaten terbaik dari 400 lebih kabupaten dan kota di Indonesia.
Maluku Utara belum tertingal, yang penting kita masih punya keinginan yang kuat untuk memperbaiki diri, hal ini bukanlah hal mustahil yang tidak bisa dilakukan. Bukankah Tanah Datar yang menjadi salah satu kabupaten terkecil di Sumatera Barat (luas 133.600 hektar) dengan jumlah penduduk 329. 962 jiwa pada awalnya tidak pernah dikenal dan nyaris tidak pernah tersentuh prestasi yang membanggakan, sekarang bisa bangkit dan dikenal oleh daerah-daerah lain di Indonesia bahkan di luar negari.