Monday, September 24, 2007

”Penduduk Asli/Masyarakat Adat dan Pelestarian Lingkungan”

Irza Arnyta Djafaar , M. Hum

Menurut The World Conservation Union, dari sekitar 6.000 kebudayaan di dunia, 4.000 – 5.000 di antaranya adalah masyarakat adat/suku asli. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70 – 80 persen dari semua masyarakat budaya di dunia. Sebuah jumlah yang cukup besar yang tidak boleh dipandang remeh, kendati dalam kerangka dominasi ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mereka selalu dipinggirkan dan diabaikan.
Masyarakat adat dalam hal ini suku asli, selalu diabaikan dan dipinggirkan karena menurut anggapan masyarakat modern, masyarakat adat adalah masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah dengan demikian pemahaman tentang lingkungan juga dianggap rendah karena keterbatasan pengetahuan dalam hal ini adalah pendidikan. Padahal dalam kenyataannya justru merekalah yang paling concern dalam menjaga alam dan lingkungannya.
Hal yang paling fundamental dari perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat di seluruh dunia yang memandang dirinya, alam dan relasi di antara keduanya dalam perspektif religius, perspektif spiritual. Maka, alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional/masyarakat adat sebagai sakral, sebagai hal yang suci. Spiritualitas merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan mewarnai seluruh relasi dari semua ciptaan di alam semesta, termasuk relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib atau yang suci. Demikian pula, spiritualisasi akan selalu menjiwai, mewarnai dan menandai setiap aktivitas manusia, yang tidak lain adalah aktivitas dalam alam yang sakral itu.
Dalam perspektif kesakralan tersebut, agama dipahami dan hayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Dalam penghayatan agama seperti itu, masyarakat adat selalu ingin mencari dan membangun harmoni diantara manusia, alam, masyarakat dan dunia gaib, dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Harmoni dan keseimbangan sekaligus juga dipahami sebagai prinsip atau nilai paling penting dalam tatanan kosmis.
Pengaruh langsungnya adalah setiap perilaku manusia, bahkan sikap batin yang paling tersembunyi di lubuk hatinya, harus ditempatkan dalam konteks yang sakral, dalam spiritualitas. Maka, baik secara individu maupun kelompok, terhadap diri sendiri, sesama manusia, harus murni, bersih, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik, yang tidak boleh dirusak dengan prilaku yang merugikan, menjadi prinsip moral yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan upacara religius- adat.
Dalam arti itu, moralitas adalah tuntutan setiap masyarakat adat. Moralitas ini tidak hanya menyangkut perilaku manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan dirinya dan juga dengan alam. Ada keyakinan religius moral, bahwa sikap batin dan prilaku yang salah, yang bengkok, yang merusak hubungan dengan sesama dan alam, akan mendatangkan malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun bagi komunitas. Dalam konteks itu bisa dipahami bahwa semua bencana alam- banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan merupakan konsekuensi dari kesalahan sikap batin dan perilaku manusia, baik terhadap sesama maupun terhadap alam. Dengan demikian maka perlu adanya rekonsiliasi dalam bentuk upacara religius, upacara adat, dengan membawa korban baik untuk sesama yang dirugikan maupun untuk alam yang telah dirusak. Perlu ada pemulihan kembali relasi yang rusak. Dengan kata lain, perilaku moral, baik terhadap sesama maupun terhadap alam, adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan, dari etika masyarakat adat tersebut.
Masyarakat adat/suku asli memandang dirinya sebagai bagian integral dari komunitas ekologis, komunitas alam. Maka, mereka berkembang menjadi dirinya, baik secara individu maupun secara kelompok, dalam ikatan dan relasi dengan alam semesta seluruhnya, dengan seluruh makhluk di alam semesta. Mereka tidak pernah berusaha menjalani hidup yang hanya mementingkan hubungan dengan sesama. Yang juga penting bagi mereka adalah relasi dengan alam sekitarnya : dengan hutan, dengan laut, dengan danau, dengan sungai, dengan gunung, dan dengan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan di alam. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa cara berpikir, berperilaku, dan seluruh ekspresi serta penghayatan budaya masyarakat adat sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh relasi dengan alam sebagai bagian dari hidup dan eksistensi dirinya.
Dalam komunitas ekologis itu, masyarakat adat – sebagai mana misalnya yang ditemukan pada suku Maori dan suku- suku di India- memahami segala sesuatu di alam semesta ini sebagai terkait dan saling tergantung satu sama lain. Begitu juga dengan suku-suku yang ada di Maluku Utara, Makian misalnya. Dalam tradisi membuka lahan baru (menebang hutang untuk berkebun), atau tradisi oleh masyarakat nelayan tradisional Ternate sebelum melaut harus lebih dulu dilakukan upacara ritual untuk menghormati alam sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai atau kekuatan magis, maka sesajen-sesajenpun harus diberikan kepada roh-roh penunggu alam semesta. Ketika alam murka dan gunung memuntahkan laharnya, tradisi Kolili Kie adalah sebuah solusi dimana masyarakat bersama Sultannya mengelilingi pulau Ternate dengan memakai perahu-perahu tradisional, mereka meminta supaya alam jangan lagi murka, dan percaya atau tidak, alampun bersahabat lagi dengan manusia. Alam dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Sebaliknya, dan perkembangan kehidupan manusia menyatu dengan proses evolusi dan perkembangan kehidupan alam semesta seluruhnya. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang didasarkan pada kekerabatan hidup dan hidup layak sebagai manusia dalam arti seluas-luas dan sepenuhnya, manusia bergantung pada alam, bukan hanya pada sesama manusia.
Mengapa kearifan tradisional yang dikenal di seluruh dunia mengalami erosi, kalau bukan punah? Ada beberapa jawaban yang bisa diberikan di sini, yaitu terjadi proses de-sakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Alam yang dipahami sebagai sakral oleh masyarakat adat dan menyimpan sejuta misteri yang sulit bisa dijelaskan dengan menggunakan akal budi, sehingga membangkitkan sikap kagum penuh rasa hormat, kehilangan sakralitas dan misterinya dalam terang ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Orang tidak lagi memandang gunung, hutan dan laut beserta isinya sebagai tempat yang sakral. Gunung Gammalama yang dulunya menghimpun berjuta misteri karena didalamnya tersimpan berbagai macam mitos dan takhyul serta kepercayaan yang akan menyelamatkan alam, sekarang diabaikan. Atas nama ilmu pengetahuan yang selalu dikaitkan dengan logika dan segelintir orang yang tidak mau dicap kampungan karena selalu merasa dirinya orang modern, mereka tidak lagi memperdulikan kelestarian tempat-tempat yang dianggap sakral. Sepanjang jalan menuju ke puncak Gammalama bertebaran sampah-sampah an-organik yang tidak akan musnah meskipun tulang belulang kita telah musnah, pohon-pohon besar yang menyimpan begitu banyak misteri, sekujur tubuhnya dipenuhi dengan coretan-coretan yang tidak bermakna, alampun menangis!
Bersama dengan itu, kekuatan magis alam menjadi hilang. Terjadi desakralisasi alam, yang membuat alam tidak lagi menarik untuk dihormati, disembah, dan dipelihara penuh takjub. Maka, manusia pun melihat dirinya begitu agung dan superior berhadapan dengan alam yang tidak berarti sama sekali. Oleh karena itu, sikap hormat, perilaku merawat, mencintai dan menjaga keharmonisan atau hubungan baik dengan alam menjadi tidak relevan dan tidak punya tempat lagi.
Penduduk asli merupakan satu-satunya penjaga habitat-habitat luas yang tidak terganggu di bagian-bagian terpencil setiap benua. Wilayah-wilayah ini, yang kalau digabungkan meliputi suatu daerah yang lebih luas dari pada Australia, memberikan pelayanan -pelayanan ekologi yang penting : mereka itu mengatur siklus air, mempertahankan stabilitas iklim setempat dan global, dan memuat kekayaan hayati serta keanekaragaman genetik. Memang, tempat tinggal penduduk asli boleh jadi merupakan tempat perlindungan yang aman bagi lebih banyak spesies tumbuhan dan binatang yang terancam dari pada seluruh cagar alam di dunia. Apalagi penduduk asli kerapkali memegang kunci gudang-gudang keanekaragaman hayati ini. Mereka mempunyai kumpulan pengetahuan ekologi yang tertulis dalam bahasa, kebiasaan, dan praktek-praktek subsistensi mereka yang menyaingi perpustakaan-perpustakaan ilmu pengetahuan modern.
Di seluruh dunia, penduduk asli/masyarakat adat sedang berjuang untuk memperoleh wilayah nenek moyang mereka. Mereka berjuang di pengadilan-pengadilan dan parlemen-parlemen nasional, mendapatkan kekuasaan melalui gerakan-gerakan massa baru serta kampanye-kampanye international, dan sebagaimana di lereng-lereng Gunung Apo membela warisan mereka dengan nyawa mereka, Pertanyaannya adalah, Siapakah yang akan berjuang bersama mereka?.
Penduduk asli (atau penduduk “setempat” atau “suku-suku”) ditemukan di setiap benua dan di kebanyakan negara. Amat beragamnya cara hidup mereka serta keadaan mereka sekarang memustahilkan membuat batasan yang gampang. Memang, banyak ahli antropologi menegaskan bahwa penduduk asli/masyarakat adat hanya didefinisikan oleh cara mereka mendefinisikan diri mereka sendiri. mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai anggota bangsa yang khusus. Namun, banyak kebudayaan asli mempunyai sejumlah sifat yang sama sehingga mempermudah untuk melukiskannya, kalau tidak mendefinisikannya.
Jadi siapakah yang dapat digolongkan kedalam penduduk asli itu? Mereka biasanya keturunan penduduk asli suatu wilayah yang diambil alih oleh orang-orang luar yang lebih kuat. Mereka berbeda dengan kelompok dominan negara mereka dalam hal bahasa, budaya atau agama. Kebanyakan mempunyai konsep penjagaan terhadap tanah serta daya sumber daya lain, sehingga dengan mendefinisikan diri mereka sendiri dalam hubungannya ke habitat tersebut tempat mereka mencari nafkah. Lazimnya mereka hidup di dalam atau mempertahankan hubungan-hubungan yang kuat dengan ekonomi subsistensi : banyak yang menjadi atau keturunan dari pemburu- pengumpul, nelayan, penggembala, berpindah-pindah atau musiman, petani perambah hutan, atau petani subsistensi. Dan hubungan-hubungan sosial mereka kerapkali bersifat kesukuan, menyangkut pengelolaan bersama sumber daya –sumber daya alam, jaringan ikatan-ikatan yang sangat kuat antara individu-individu, dan pengambilan keputusan secara berkelompok, kerapkali dengan musyawarah di antara penatua.
Penebangan hutan, secara istimewa, merupakan ancaman karena begitu banyak penduduk asli tinggal di hutan–hutan, para kontraktor bangunan jepang, misalnya tengah melahap hutan-hutan kayu keras kuno di Kalimantan di wilayah tropis, tempat tinggal suku Penan dan suku-suku Dayak lainya. Hal ini terjadi juga di Maluku Utara, dengan rakusnya para pengusaha kayu dari Malaysia melahap habis hutan-hutan kita yang berada di daratan Halmahera, yang tinggal hanyalah hutan-hutan gundul yang merana. Para pengusaha kayu pulang dengan kekayaan melimpah sementara masyarakat asli hanya terpuruk meratapi nasib hutannya yang dilibas habis.
Akibat-akibat penambangan di tanah-tanah milik suku bersifat merusak juga. Pada akhir tahun 1980-an, misalnya, puluhan ribu pencari emas memasuki tempat hunian suku Yanomami di bagian utara Brasil yang sangat terpencil, kelompok besar terakhir dari penduduk asli di Amerika. Para penambang mengubah kali-kali menjadi tempat pembuangan tinja, mencemari lingkungan hidup itu dengan 1.000 ton merkuri beracun yang mereka gunakan untuk memurnikan emas, dan mempercepat datangnya wabah malaria yang membunuh lebih dari 1.000 anak-anak dan orang-orang tuanya.
Hal yang sama terjadi juga di daerah kita, sekarang ini banyak sekali penambangan-penambangan yang tidak memperdulikan kelestarian lingkungan, mulai dari penambangan emas, nikel dan lain sebaginnya, tanpa memperdulikan hak dari masyarakat adat/penduduk asli mereka menambang tanpa memikirkan dampaknya bagi keberlangsungan hidup umat manusia yang ada di sekitarnya. Kejadian di Brasil akan mungkin terjadi juga di kita, kalau kita tidak mengindahkan etika lingkungan yang selama ini kita sengaja abaikan.

No comments: