Sunday, September 23, 2007

“KESETARAAN GENDER, SEBUAH KENISCAYAAN!"

Asmar H. Daud

Perbincangan seputar Perempuan hampir memenuhi semua lembaran sejarah peradaban kemanusiaan modern. Begitu banyak dan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan, hingga memacu kesadaran sosial kita bahwa persoalan ini sudah merupakan sebuah realitas objektif yang tak terbantahkan.
Sejarah mencatat bahwa sejak awal perempuan sering kali diperlakukan secara nista. Pada banyak peradaban besar, perempuan dianggap sebagai “setengah manusia”, manusia kelas dua, makhluk pelengkap yang hak dan kewajiban bahkan keberadaannya di dunia ditentukan oleh laki-laki. Kalangan elit Yunani kuno menempatkan perempuan sebagai makhluk tahanan yang “disekap” dalam istana bahkan perempuan diperlaakukan sebagai barang dagangan yang bisa diperjual belikan. Masyarakat Hindu pra abad ke- 7 Masehi sering memperlakukan perempuan sebagai sesajen bagi para Dewa, istri dibakar hidup-hidup. Demikian tradisi Arab Jahiliah menghalalkan dibunuhnya seorang bayi hanya karena ia terlahir sebagai perempuan.
Diskriminasi/ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan merupakan persoalan krusial yang mungkin tak akan habis di bicarakan dari masa kemasa, sepanjang tidak ada komitmen dan batasan yang jelas antara kesamaan dan perbedaan dari kedua makhluk yang sama-sama bernama manusia ini. Wajar jika kemudian muncul semacam anggapan (Prejudice) yang sangat pesimis disebagian kalangan perempuan, bahwa kaum perempuan pada zaman apapun dan dalam “posisi apapun” selalu dan tidak pernah diuntungkan.
Fenomena diskriminasi perempuan atas laki-laki sebagaimana diketahui terjadi hampir disemua aspek kehidupan perempuan, baik budaya, sosial, politik, maupun ekonomi. Dalam aspek budaya, keberadaan perempuan dibatasi dan dieliminasi perannya di sektor publik yang hanya memaksa perempuan untuk merasa puas berkutat di lingkungan “dapur, kasur, dan sumur”. Inilah salah satu bentuk diskriminasi terselubung yang terjadi pada perempuan.
Dibidang sosial, diskriminasi yang di derita oleh perempuan terutama pada aspek pelayanan kesehatan (terutama terkait dengan layanan kesehatan reproduksinya) dan kesehatan pendidikan. Artinya bahwa masih banyak perempuan yang tidak tersentuh pendidikan, kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan yang memadai.
Dalam aspek politik, pola diskriminasi serian diarahkan pada dibatasinya kesempatan bagi perempuan untuk duduk pada posisi strategis di Pemerintahan, parlemen, parpol, ormas maupun organisasi publik lainnya.
Disektor ekonomi, diskriminasi itu terjadi ketika perempuan dibatasi pada pekerjaan Steriotype yang biasanya memberikan imbalan jasa yang rendah atau adanya konsentrasi tenaga kerja perempuan di sektor informal sebagai pekerja keluarga yang tidak mendapatkan upah atau biasanya perempuan “dipaksa” harus merasa puas menerima upah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat upah yang diterima oleh laki-laki (untuk kasus Indonesia yakni hanya 65-70% dari upah laki-laki). Padahal tingkat produktifitas dan jam kerja keduanya sama. Ketimpangan ekonomi ini tampak pengaruhnya pada tingkat perolehan penghasilan perempuan hanya mencapai 25,3% dari total penghasilan yang diterima tenaga kerja. Sementara itu,diskriminasi peluang karier gambaran penempatan posisi administrator dan manajer perempuan yang hanya sebesar 6,6% dari total tenaga kerja yang menempati posisi-posisi yang dimaksud (Kompas,1 Mei 1997).
Inilah profil “suram” potret nasib perempuan yang kian didramatisasi dengan penisbatan berbagai istilah “persoalan perempuan”. Deskriminasi adalah salah satu penisbatan itu.
Belakangan harus diakui bahwa banyak persoalan perempuan telah mendapat banyak simpatik yang besar dari berbagai kalangan. Simpatik ini kemudian terjewantahkan ke dalam kesadaran untuk memperjuangkan nasib mereka dengan berbagai cara dan methode tertentu. Gerakan kesadaran ini yang kemudian dikenal dengan gerakan Feminisme, yang kemudian santer memperjuangkan kesamaan hak-haknya atas laki-laki dengan istilah yang umum kita kenal “kesetaraan jender” (gender equality).
Gerakan ini sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi secara berlebihan oleh kaum laki-laki, baik yang terjadi dilingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun yang terjadi dilingkungan masyarakat itu sendiri, sehingga harus ada upaya mengakhirinya.
Gerakan pembebasan ini dimulai pada abad ke –19 ketika teori sosialisme ala Marx hadir sebagai antitesisnya sistem kapitalis, yang kemudian melahirkan idiologi pembebasan yang pada intinya merupakan teori penyadaran bagi kelompok tertindas, termasuk kaum perempuan.
Menurut Marx kedudukan kaum perempuan identik dengan kaum proletar pada masyarakat barat. Marx kemudian mencontohkan, lembaga perkawinan seolah menjadi alat legitimasi bagi kaum laki-laki untuk menjadikan sang istri sebagai “milik pribadi”. Disisi lain, karena secara kultural perempuan sudah terplot untuk menempati posisi ranah domestik yang tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat materi, maka inipun kemudian memperkuat posisi perempuan sebagai milik pribadi suaminya, sehingga secara sosio-kultural sang istri hanya terlibat hubungan kerja secara seksual. Dari sinilah sistem petriarkal berlaku yang cenderung akan memunculkan barbagai bentuk penindasan atas perempuan.
Kaum perempuan akan terbebas dari segala bentuk penindasan, jika sistem masyarakat kapitalis diganti dengan sistem masyarakat sosialis, yakni masyarakat yang egaliter tanpa kelas, demikian tawaran Marx dalam teori sosialnya. Dan untuk mencapai masyarakat sosialis ini, harus dimulai dari lingkungan keluarga, dimana para istri harus dibebaskan agar dia dapat menjadi dirinya sendiri, bukan milik suaminya. Kalau sistem egaliter ini tercipta dalam keluarga kata Marx, maka didalam kehidupan sosialpun akan tercermin. Paradigma sosialis Marx ini kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk gerakan Feminisme sebagai visi perjuangan kesadaran dan penyadaran kaum perempuan. Perempuan harus membebaskan diri dari perbudakan dari berbagai dominasi sistem yang senngaja diciptakan oleh “laki-laki”. Caranya adalah dengan mendorong kaum perempuan untuk berkiprah seluas-luasnya disektor publik yang akan membuatnya “produktif” (menghasilkan materi/uang), yang pada akhirnya akan membawa perempuan pada posisi tawar yang lebih tinggi atau paling tidak sepadan dengan laki-laki (gender equality).
Terlepas dari perspektif jender yang oleh kalangan feminis dianggap sebagai biang keladi merebak sebagai stereotype (pelabean negatif), marginalisasi (kemiskinan ekonomi), subordinasi, dan kekerasan atas perempuan sekaligus menjadi asas terbangunnya mekanisme kontorl patrialkal (domonasi laki-laki atas perempuan) didalm masyarakat, pemutlakan karakteristik perilaku seperti, kuat, jantan, rasional dan perkasa yang secara sosio-kultural dinisbatkan sebagai pemilik kaum laki-laki atas kelembutan, emosional dan keibuan yang dipunyai perempuan harus ditiadakan, karena tidak sesuai dengan fakta sebab tak jarang ditemukan laki-laki yang berperilaku seperti perempuan dan sebaliknya.
Oleh karenanya, sifat yang berdasarkan gender sesungguhnya bukan sesuatu yang bersifat permanent (tidak semata-matabersifat kodrat), artinya bahwa persoalan gender dapat dipertukarkan, meskipun secara biologis keduanya dapat dibedakan. Disini jenis kelamin (seks) merujuk pada penyifatan jenis secara biologis sedangkan gender lebih menunjuk pada penyfatan secara sosial dan budaya.
Meskipun tuntutan kesetaraan gender banyak mengundang kontroversi dengan berbagai “alasan”, toh kaum perempuan tetap percaya bahwa untuk memperjuangkan ide tersebut adalah sebuah keniscayaan, bahkan merupakan sebuah keharusan jika keterpurukan perempuan ingin disembuhkan.
Oleh karena itu, banyak pendekatan yang digunakan untuk membebaskan mereka dari fenomena diskriminasi/ketidak adilan gender itu, misalnya keterlibatan perempuan dalam program pengembangan masyarakat atau organisasi-organisasi kemasyarakatan, peningkatan pendidikan, maupun melalui upaya melibatkan diri dalam fungsi kekuasaan disektor publik.
Dan sekarang, dibelahan dunia manapun harus diakui bahwa gerakan pembebasan perempuan ini telah membawa perubahan yang signifikan dan nyata dalam semua level kehidupan. Kaum perempuan telah berhasil mendapatkan kebebasannya untuk mengekspresikan diri, bekerja dibidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya tanpa harus merasa takut dengan berbagai hal tabu selama ini dianggap mengisolasi kebebasan ekspresi mereka. Fenomena ini terjadi di AS, yang tercatat jumlah prosentasi perempuan yang bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75% pada tahun 2000. Begitu juga di Indonesia. Meningkatnya jumlah perempuan terdidik, dan meningkatnya partisipasi politik formal perempuan, termasuk kian banyaknya perempuan yang berkiprah dibidang pemerintahan merupakan sebuah “prestasi” besar atas keberhasilan perjuangan perempuan dimanapun.
Bila kita lihat berdasarkan data distribusi gender tenaga kerja/pegawai negeri dibeberapa instansi pemerintah di Propinsi Maluku Utara menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Perbedaan ini jelas menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang dimiliki dan posisi strategis yang ditempati oleh perempuan masih terlampau rendah di bandingkan dengan kaum laki-laki. Fenomena tersebut bukan tanpa alasan, karena selama ini tradisi selalu mengajarkan kita bahwa secara kodrati kedudukan perempuan dalam masyarakat masih terbelenggu dengan kekaburan pemahaman tentang hak dan kewajiban perempuan
Artinya bahwa meskipun perempuan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi namun pada akhirnya mereka tetap diposisikan kepada fungsi utamanya yaitu sebagai ibu rumah tangga. Sehingga banyak orang tua yang cenderung dan lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki dalam lingkungan keluarganya. Kondisi ini diperparah dengan anggapan bahwa perempuan tidak bisa mengambil kebijakan berdasarkan rasionalitas kaum laki-laki.

No comments: