Monday, September 24, 2007

“Pengungsi dan Nurani Kemanusiaan Kita”

Irza Arnyta Djafaar
Dosen Fakultas Sastra Universitas Khairun Ternate

Terhenyak penulis ketika membaca sebuah media lokal dan nasional membeberkan tentang kondisi pengungsi yang ada di Maluku Utara (Kota Ternate).Sebagai manusia yang mempunyai hati nurani pernahkah kita pikirkan sejenak nasib mereka. Sebagai manusia terkadang kita lalai, karena hal-hal yang menjadi prioritas kita selalu bertumpu ke masalah hukum dengan korupsinya, ekonomi, politik sampai ke masalah budaya, itu yang selalu kita dengungkan, sementara yang ada di depan mata kita berpura-pura tidak tau, padahal masalah pengungsi ini dapat kita kaitkan kesemua aspek yang disebut tadi. Disini tidak akan dibahas menyangkut benar tidaknya atau atau siapa yang paling benar dalam hal ini, apakah pemerintah daerah kita ataukah para pengungsi, tetapi sampai sejauh mana nurani kita akan terketuk dengan sisi kemanusiaan.
Keadaan Pengungsi
Inilah fakta yang dikutip dari koran Kompas, 29 Mei 2005. Di lokasi penampungan pengungsi yang merupakan bekas gudang kopra milik sebuah perusahan minyak goreng (Gudang Bimoli) di daerah Tanah Raja, Kelurahan Muhajirin, Ternate Selatan, sekitar 300 keluarga pengungsi hidup berdesak-desakan. Meraka terbagi dalam tiga blok gudang dan hidup tersekat -sekat dalam bilik yang sebagian besar berdinding kardus. Setiap keluarga yang rata-rata terdiri atas empat hingga lima orang anggota itu tinggal di dalam bilik berukuran 3 x 4 meter. Bandingkanlah dengan keadaan kita yang biasanya menempati satu kamar untuk kita sendiri.
Atap Gedung yang rendah membuat udara dalam gudang terasa panas dan gelap. Meskipun siang hari, di dalam ruangan terlihat gelap. Bilik -bilik kardus yang berdesakan tak beraturan membuat suasananya semakin suram. Para pengungsi lebih memilih beraktivitas di luar gudang untuk memperoleh udara segar dan menghindari suasana sumpek. Sementara kita lebih menikmati kamar kita karena berpendingin udara yang akan membuat kita merasa betah dan nyaman.
Saluran air pun banyak yang mampat. Sejumlah genangan air hitam terdapat di sekitar lokasi pengungsian. Saat hujan turun, seperti yang sering terjadi , air pun masuk ke dalam gudang dan membanjiri bilik warga dengan ketingian air hingga sebatas betis orang dewasa.
Dalam lokasi pengungsian yang dihuni sekitar 1.300 jiwa tersebut hanya terdapat sebuah kamar mandi dan kakus. Sumber air pun hanya satu yang digunakan oleh warga secara bersama- sama. Saluran pembuangan dari kakus pun sudah rusak sehingga kotoran dan air limbah tercecer di mana-mana. Hewan piaraan seperti anjing bebas berkeliaran. Kita yang mempunyai tiga kamar mandi dengan lima orang penghuni kadang saja bisa antri karena menunggu, bagaimana dengan perbandingan 1.300 jiwa berbanding satu kamar mandi dan kakus. Coba kita renungkan, terlalu enak hidup kita dibandingkan mereka yang ada di pelupuk mata.
Rentan Penyakit
Kondisi sanitasi dan lingkungan yang buruk membuat para pengungsi rentan terhadap sejumlah penyakit. Penyakit yang sering menjangkit warga di antaranya adalah muntaber, malaria, dan sesak napas. Jika warga berobat ke puskesmas atau rumah sakit milik pemerintah, mereka tidak dikenai biaya, sedangkan bila berobat ke rumah sakit swasta, warga harus menanggung biayanya.
Karena buruknya sanitasi dan kondisi tempat tinggal yang jauh dari memadai, maka berbagai macam penyakit dengan mudah dapat menghinggapi mereka. Kondisi di tempat pengungsi lain di Ternate tidak jauh berbeda dengan di gudang Bimoli. Tempat lain yang di jadikan lokasi penampungan pengungsi di Ternate di antaranya bekas Bioskop Benteng dan bekas Pusat KUD Halmahera Jaya. Para pengungsi mendiami bekas gudang kopra tersebut sejak tahun 2003 setelah mereka di pulangkan dari Bitung dan Manado. Warga mengungsi dari Maluku Utara ke Sulawesi Utara akibat konflik yang terjadi tahun 1999. Sebanyak 125 keluarga dari 300 keluarga pulang dengan biaya sendiri.
Namun setelah kembali ke Ternate, warga bingung harus tinggal di mana. selama di pengungsian warga tidak punya gambaran untuk pulang karena rumah dan tanah milik mereka sudah di jual saat pergi mengungsi. Ada pun yang masih memiliki rumah, tetapi sudah dihuni pengungsi lain. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada mereka karena kalau kita diposisikan seperti mereka, kita juga akan melakukan tindakan seprti yang mereka ambil. Pada waktu terjadi konflik dalam keadan tertekan dan ketakutan mereka harus merelakan harta bendanya terutama rumah untuk dijual daripada rumah tersebut akan hancur dirusak massa. Bagaimana sakitnya perasaan kita ketika tempat tinggal kita yang dibangun dengan hasil kredit sedikit demi sedikit hancur dirusak orang. Daripada rusak lebih baik rumah tersebut dijual meskipun dengan harga yang tidak masuk akal. Bayangkan saja rumah-rumah tersebut di jual dengan harga ada yang cuma 12 juta, demi mendapatkan sedikit uang supaya bisa cepat-cepat keluar dari daerah konflik. Hal tersebutpun dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak mempunyai hati nurani. Ada yang rumahnya dititipi untuk dijaga nanti keadaan aman baru mereka pulang, ternyata dijual dengan memalsukan tandatangan dan semua berkas dari rumah tersebut. Akhirnya ketika pulang merekapun tidak mempunyai tempat tinggal lagi Karena itu, para pengungsi meminta untuk segera direlokasi ke daerah mana pun di Maluku Utara, khususnya ke Tobelo atau Jailolo.

Masalah Sosial
Yang tidak pernah terpikirkan dampak dari tempat tinggal pengungsi yang berjumlah banyak ini adalah masalah sosial. Diantaranya cepat atau lambat akan terjadi tindakan kriminalitas. Disamping itu masalah sosial lainnya adalah akan terjadi perbuatan-perbuatan a moral, hal ini dikarenakan yang hidup disini adalah keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anak. Kalau anak-anaknya masih kecil mungkin tidak masalah tapi kalau anak sudah besar, dia kan melihat hubungan orang dewasa yang tidak pantas dilihatnya, dan hal ini akan berakibat buruk bagi si anak tersebut bisa-bisa adegan tersebut dipraktekkan ke orang lain.
Kebutuhan biologis untuk orang dewasa juga akan semakin susah untuk bisa disalurkan, dan ini bisa berakibat yang negatif juga. Dan ketika mereka tidak mendapat pekerjaan tetap yang layak, maka pekerjaan-pekerjaan tidak halal pasti akan di lakukan, tidak menutup kemungkinan pekerjaan-pekerjaan yang mengarah pada masalah sosial prostitusi misalnya bisa menjadi alternatif bagi mereka. Dan sebelum hal ini terjadi, marilah kita bersama-sama mencari solusi yang tepat untuk para pengungsi, yang merupakan saudara-saudara kita juga karena mereka telah mendiami Ternate jauh sebelum kita diami. Kita tidak perlu mencari kambing hitam untuk mengatakan siapa yang benar dan salah, tapi mencari jalan keluar yang baik agar masalah-masalah sosial seperti yang digambarkan di atas jangan sampai terjadi, mumpung belum terjadi!

No comments: