Monday, September 24, 2007

“MENANTI SANG PEMIMPIN YANG BERVISI KELAUTAN”

(Refleksi Untuk Calon Gubernur Maluku Utara 2007-2012)
Asmar Hi. Daud
Sekretaris DPD HNSI Maluku Utara
Fenomena Suksesi
Pemilihan kepala daerah (Gubernur) langsung Maluku Utara 2007-2012 masih terbilang satu tahun lagi. Dan saat ini wacana tentang siapa bakal calon ke depan sudah mulai ramai dibicarakan public. Tidak hanya di tingkat komunitas politik paling atas, pada level masyarakat paling bawah sekali pun fenomena suksesi Gubernur tersebut terasa begitu hangat di telinga kita. Di ruang publik apa saja, kapan, dan mana saja, pasti kita temukan perbincangan seputar hal itu. Mulai dari siapa saja bakal calon, dari mana asal-usul dan latar belakangnya, sampai seperti apa strategi dalam kepemimpinannya nanti menjadi wacana dan isu yang paling menarik diperbincangkan. Bahkan secara gamblang dan cerdas dipetakan oleh publik di negeri ini. Luarrr biasa memang! Kalau kita mencermati dan mengikuti terus perkembangan politik-demokrasi menjelang suksesi Gubernur Maluku Utara 2007-2012 itu.
Wacana dan isu-isu strategis dalam setiap kali pergantian kepemimpinan (suksesi) di mana pun dan negeri siapa pun, sudah menjadi suatu hal yang biasa. Apalagi masyarakat-rakyatnya hidup di sebuah negeri yang notabene sangat demokratis. Akan tetapi, yang sangat fenomenal tentunya adalah harapan dan cita-cita rakyat ketika itu. Rakyat tidak hanya ikut terlibat dalam pesta demokrasi, karena substansi dari demokrasi itu sesungguhnya adalah milik rakyat. Tetapi lebih dari itu, ada segudang harapan baru yang lahir di tengah-tengah mimpi-mimpi mereka. Rakyat tidak hanya sekedar menentukan siapa pemenangnya dalam sebuah adegan politik-demokrasi yang dilakoninya, Selebihnya, rakyat juga ingin ikut serta merekonstruksi dan menentukan arah kebijakan pembangunan di negerinya. Agar kelak orang-orang (figure) atau kandidat yang mereka pilih, harapan dari mimipi-mimpi dan cita-cita mereka itu dapat terwujud. Inilah yang semestinya disadari oleh setiap pemimpin yang telah diberikan amanat dan kepercayaan oleh rakyat kepadanya.
Dalam konteks ini, suksesi Gubernur Maluku Utara 2007-2012 nantinya merupakan momentum awal yang sangat strategis dan menentukan. Karena selain rakyat Maluku Utara sendiri yang melakoni proses tersebut untuk yang pertama kalinya dalam sejarah politik-demokrasi di negeri ini, sejak negeri Maluku Utara dimekarkan menjadi sebuah propinsi, masa depan kita dan negeri ini juga sangat ditentukan oleh siapa yang akan kita pilih (siapa yang akan memimpin kita nanti). Sudah tentu, ini merupakan kesempatan emas buat kita (rakyat Maluku Utara) untuk mengubah sejarah, masa depan dan negeri yang kita cintai ini. Maka tidak ada harapan lain, kecuali peristiwa politik-demokrasi yang akan kita lakoni nanti, dengan bekal kedewasaan dan kecerdesan kita semua, kita bisa melahirkan pemimpin yang cerdas, jujur, amanah, visioner serta punya komitmen yang kuat untuk membangun negeri Maluku Utara ke depan yang lebih baik.
Meski terkesan masih samar. Sekarangpun gendang perang itu sudah mulai ditabu. Dan untuk memenuhi ambisi politik mereka, hal apa yang tidak bisa mereka lakukan? Ya! Kalau bukan untuk menarik simpati rakyat!. Fenomena ini akan semakin jelas ketika masa kampanye mulai tiba. Saat itu tentu kita tidak sekedar disuguhkan sebuah tontonan biasa. Berbagai spanduk, poster, pampflet dan atribut kampanye lainnya, hingga debat para kandidat di media massa, menjadi ajang perang yang sangat menarik untuk disimak. Slogan-slogan dan yel-yel para pendukung masing-masing kandidat pun akan membahana memenuhi ruang public saat itu. Mereka pasti saling berlomba merebut simpati rakyat pemilihnya. Janji-janji manis bukan lagi hal yang baru. Dari masalah pokok-kebutuhan dasar masyarakat, isu pemberantasan KKN, penegakan hukum, transparansi, akuntabilitas, berpihak kepada rakyat, sampai pada apa yang belum pernah didengar oleh kita, menjadi pemanis bibir para kandidat. Demikian pula visi-misi dan strategi dalam memimpin, pasti tidak luput dari agenda itu. Angin surga perubahan sudah menjadi sesuatu yang umum, biasa, dan sering dihembuskan ke telinga rakyat dalam setiap kali kegiatan kampanye. Tidak hanya itu, siapa pun dia, dengan penuh semangat akan mewujudkan kesejahtreraan dan kemakmuran negeri dan rakyatnya, jika katanya “ia” dipilih atau terpilih menjadi pemimpin. Semoga saja!

Negeri Lautan Visinya Daratan
Dari semua dagelan politik yang dilakoni para kandidat dalam setiap kali kegiatan kampanye selama ini, entah itu di tingkat pusat maupun daerah, pemilihan anggota legislative atau kepala pemerintahan, kita nyaris seperti tidak mendengar ada seorang kandidat yang menampakan atau mewarnai kegiatan kampanyenya pada isu-isu pembangunan kelautan dan perikanan. Biasanya, mereka (para kandidat) lebih senang memfokuskan perhatian dan kepeduliannya pada sektor-sektor lain yang dipandang lebih menjanjikan. Kalaulah ada kandidat yang menyebut bidang kelautan dan perikanan , toh itu hanya, sekedar pemanis bibir belaka. “Visi dan misi serta strategi” mereka pun cenderung lebih pada pandangan pembangunan berorientasi daratan. Padahal, sesungguhnya sector kelautan adalah salah satu keunggulan negeri kita. Fakta sejarah, maupun kekayaan sumber daya alam menunjukan, bangsa kita tidak terlepas dari budaya bahari. Selama berabad-abad nenek moyang kita mampu dan tetap eksis dengan bertumpuh pada hasil laut. Tapi entah, apakah karena konstruksi budaya dari sebuah kolonial yang ditinggalkan sebagai warisan, ataukah memang kita sendiri yang sengaja melupakan darah bahari yang mangalir di dalam tubuh kita sendiri, sehingga setiap generasi yang lahir sebagai pemimpin di negeri yang pernah dijuluki oleh Koes Ploes sebagai negerinya “kolam susu”, tidak pernah mencerminkan visi kebaharian dalam setiap kali kepemimpinannya.
Pada masa Orde baru, pemenuhan kebutuhan nasional, baik pangan, maupun sandang, di genjot dengan mendirikan pabrik-pabrik besar. Pulau Jawa dipandang sebagai kawasan yang paling siap dan sangat representative untuk pengembangan manufaktur tersebut. Pada akhirnya pembangunan yang berbasis daratan tersebut menimbulkan kesanjangan yang luar biasa lebarnya antara kawasan Barat dan kawasan timur Indonesia, yang terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi laut itu. Ketika hal tersebut berjalan selama fase pemerintahan Orde baru, negara ini juga kemudian kebingungan mau mengarah menjadi negara apa? Agraris, ataukah negara industri?. Kebingungan para pelaku kebijakan (pemimpin bangsa) dalam menetapkan visinya, serta komitmen untuk membangunan negeri ini dimulai dari mana, telah menempatkan bangsa ini di ujung kehancuran. Kebijakan dan pertumbuhan ekonomi bangsa yang pernah dibanggakan, ternyata hanya dibangun di atas fondasi yang keropos, yang kemudian sangat rentan terhadap badai krisis. Terbukti, pada tahun 1997 ekonomi bangsa ini hancur berantakan diterpa badai krisis itu. Pertanyaan kemudian adalah, apakah benar kehancuran ekonomi bangsa ini lantaran kita telah memalingkan wajah asli kita yang sesungguhnya, entalah?. Hanya sejarah yang tahu!
Perubahan Paradigma vs Lemahnya Dukungan Kebijakan Sector Kelautan
Wacana tentang perubahan paradigma pembangunan nasional dari format inland oriented menjadi ocean oriented telah ramai diperbincangkan dan menjadi isu nasional pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Puncaknya ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden ketika itu. Kontribusi besar seorang Gus Dur dalam meletakan sejarah politik Kelauatan dan Perikanan (KP) dibuktikan dengan kebijakannya mendirikan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP. R.I). Semangat dan Visi Gus Dur tersebut patut disambut gembira, mengingat negara kita adalah negara kepulauan dengan luas wilayah dan besarnya potensi kekayaan hayati laut yang dimilikinya cukup menjanjikan (diperkirakan lebih dari 80 juta U$ yang bisa kita genjot dari potensi kelautan ini setiap tahunnya). Potensi sumberdaya perikanannya apalagi!. Bayangkan, kalau secara nasional kita punya potensi perikanan laut lestari (MSY) mencapai 6,8 juta ton per tahun, dan, kalau saja nelayan kita bisa menangkap separu dari itu, berapa besar sumbangsi terhadap pendapatan nelayan dan negara. Maka tidak salah, kalau kemudian DKP memiliki harapan besar untuk menjadikan sector kelautan dan perikanan sebagai sector unggulan (leading sector) dalam pembangunan nasional. Harapan besar ini tercermin dalam Rencana Strategis (RENSTRA) DKP R.I 2002-2004 sampai saat ini. Sejatinya, sector K&P diharapkan bisa menjadi salah satu solusi krisis keterpurukan ekonomi bangsa.
Yang terjadi justru adalah Spirit dan visi kelautan yang sudah susah paya dibangun, ternyata belum juga berkinerja dengan baik seperti yang diharapkan. Bahkan dalam perjalannya terseok-seok seiring dengan pergantian estalase kepemimpinan bangsa. Hal mana bisa di lihat, dengan tidak maksimalnya kepemimpinan Megawati Soekarno Putri pasca Gus Dur dalam memanfaatkan terobosan Gerbang Mina Bahari yang dirancang oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai salah satu pilar untuk mendongkrat sector riil. Toh, bagaimana pun juga, DKP adalah Departemen teknis yang tidak memiliki kekuatan politik lebih untuk memaksa instansi lain untuk tunduk pada platform yang dirancangnya. Sehingga semestinya Megawati yang diharapkan menjadi nakhoda perjalanan sector Kelautan dan Perikanan tersebut, dengan menyandang trade mark atau “sebutan” sebagai ibu kelautan gagal memperolehnya. Hal yang sama terjadi pada rezim baru dengan semangat baru “Bersatu Kita Bisa” yang dipimpin oleh Sosilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kala. Visi kebaharian bahkan tidak pernah menemukan bentuknya dalam kabinet SBY-JK ini. Bahkan pada waktu itu, ada kecenderungan Departemen K&P digabungkan kembali dengan departemen pertanian. Tapi untungnya hal itu tidak terjadi.
Pertanyaannya dibalik lemahnya posisi tawar sektor KP dalam kebijakan ekonomi bangsa ini dijawab secara “sederhana" oleh salah satu Pakar sosial ekonomi Perikanan Arif Satria, yaitu bahwa masalah sector kelautan dan perikanan bukan semata-mata pada persoalan tehnis (tehnologi, ekonomi, manajemen, social dan budaya), melainkan lebih pada persoalan politik. Dan persoalan politik yang melatar belakangi lemahnya spirit dan visi KP menurut catatannya dapat di cermati dari beberapa aspek:
Pertama; visi membangun sektor Kelautan & Perikanan berbasis rakyat terganggu oleh kepentingan politik. Politik selalu menetapkan kepentingannya pada indicator-indakotor ekonomi yang menakjubkan (mengejar kecepatan pertumbuhan ekonomi) sebagai citra rezim, sehingga setiap kebijakan dituntut membuahkkan hasil secara cepat, dengan demikian rezim dianggap sukses. Kondisi demikian mendorong terulangnya pragmatisme pembangunan, yang ujung-unjungnya selalu menempatkan pelaku besar saja yang berkipra. Sementara nelayan kecil kita hanya gigit jari menunggu giliran yang tak kunjung datang. Hal ini mengingat nelayan betapapun sulitnya dalam jangka pendek dan cepat harus memenuhi target-target politik tersebut. Situasi ini akan mengulang kondisi masa lalu di mana pembangunan hanya bertumpuh pada pelaku besar.
Kedua; visi anggota legislative terhadap pembangunan sektor Kelautan & Perikanan masih bersifat jangka pendek, padahal DPR sangat powerful dalam menentukan anggaran pembangunan. DPR hanya bermain pada hitungan-hitungan sederhana, bahwa anggaran pembangunan disesuaikan dengan sumbangannya pada sumber pamasukan APBN. Kalau Departemen K&P (DKP) mendapat jata satu triliun rupiah, artinya ia harus menyumbang pendapatan negara bukan pajak (PNBP) lebih dari satu triliun. Sementara DKP saat ini hanya mampu menyetor sekitar 300 meliar rupiah. Tuntutan legislative seperti itu sangat kontraproduktif terhadap upaya menciptakan iklim investasi yang kondusive. Karena untuk memenuhi tuntutan DPR tersebut, mau tidak mau DKP harus gencar melakukan pengutan non pajak, yang tentu sangat tidak disukai oleh nelayan. Sementara legislative tidak terlalu melihat efek pengganda (multplier effect) dari pembangunan KP itu, seperti meningkatkan ekspor, terserapnya tenaga kerja, pendapatan masyarakat, dan beberapa variable penopang pertumbuhan ekonomi lainnya yang bersifat tidak langsung. Belum lagi nilai geopolitis yang kita peroleh saat sector KP mapan, serta nilai social saat identitas sebagai bangsa bahari kembali kita raih. Sehingga legislative (DPR) berfikir jangka panjang, dan tidak menjadikan DKP sebagai mesin uang. Departemen adalah regulator, dan mesin uang adalah BUMN atau sawasta.
Ketiga; terpinggirkannya nelayan kecil (nelayan tradisional) dalam proses politik tersebut terjadi karena rendahnya posisi tawar nelayan. Juga karena hubungan nelayan dengan pelaku usaha kecil kelautan (UKK) dengan Partai Politik belum berupa ikatan instrumental moral, melainkan secara emosional primordial, baik keagamaan maupun ketokohan, yang kemudian tidak berdampak pada signifikansi dalam memperjuangkan hak-hak dan nasip nelayan. Kasus illegal fishing oleh nelayan asing yang sangat mengganggu nelayan local diberbagai daerah, pemberian izin penangkapan ikan oleh aparat yang tidak mempertimbangkan kondisi nelayan setempat, tertangkapnya kapal nelayan asing maupun daerah lain oleh aparat yang tidak memliki dokumen perizinan yang jelas, kemudian dilepas, serta penggusuaran nelayan diberbagai tempat, tanpa perlawanan dan advokasi dari kalangan politisi atau wakil rakyat merupakan buktinya.
Di sini, jelas bahwa rasionalitas politik nelayan belum menemukan bentuknya, juga kesamaan makna tentang laut antara nelayan dan masyarakat politik belum terbangun. Padahal rasionalitas ini diharapkan menjadi, atau merupakan basis bagi ikatan instrumental, dan juga merupakan dasar kekuatan ikatan moral. Meski ada pengakuan dikalangan politisi bahwa laut sangat kaya, tapi langka politik yang dilakukannya tidak pro nelayan. Persoalan lain yang mungkin tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi lemahnya visi kelauatan dan perikanan adalah bisa jadi karena setiap anak bangsa yang dilahirkan sebagai pemimpin di negeri ini bukan berasal dari anak “seribu pulau” (bukan dari anak-anak pesisir-nelayan).
Otonomisasi dan Visi Daerah
Pergeseran peta kekuasaan dari pemerintahan yang sentralistik, yakni otoritarian negara yang sangat kuat terhadap rakyat menjadi pemerintahan yang mengedepankan desentralisasi yang lebih partisipatif telah terbukti menciptakan harmonisasi hubungan antara negara dan rakyat. Dalam konsep pemerintahan yang desentralistik, posisi tawar-menawar (beganing position) keduanya sama kuat dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari suatu program yang dikerjakan. Adanya pengakuan dari negara kepada rakyat itulah yang menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam dapat berjalan secara berkelanjutan (sustainable) karena mansyarakat merasa memiliki terhadap sumberdaya yang ada.
Pergeseran kekuasaan yang kemudian disiasati dengan pilihan kebijakan otonomi daerah merupakan suatu langka yang sangat strategis untuk menciptakan keadilan ekonomi-politik, social dan budaya, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Itu berarti, dalam konteks otonomi, kebijakan pembangunan suatu daerah tidak semestinya merupakan turunan atau cerminan dari kebijakan pembangunan ekonomi bangsa-negara, karena substansinya jelas ada pada semangat otonomisasi tadi (Baca: Otonomisasi). Apalagi suatu daerah otonom memiliki spesifikasi sumber daya alam yang merupakan cirri unggulan dari daerah itu. Perbedaan lingkungan strategis antara satu daerah dengan daerah yang lain diharapkan dapat mempengaruhi proses kebijakan yang ditempu. Dalam scenario otonomisasi ini pula, kebijakan pemerintah daerah harus disesuaikan, atau paling tidak diarahkan pada lingkungan strategis sesuai dengan karakteristik sumber daya alam yang dimilikinya, baik kebijakan dari aspek politik, maupun kebijakan dari aspek ekonomi sesuai dengan tuntutan kebutuhan lingkungan strategis dimaksud, serta pertimbangan karakteristik social-budaya masyarakat sebagai pelaku utama (stake kholders) pada sumber daya ini.
Dalam konteks Maluku Utara, lingkungan strategis yang dimaksudkan tidak lain adalah pontensi kekayaan sumber daya kelautan yang dimiliki oleh daerah ini. Julukan Maluku Utara sebagai Propinsi kepulauan dan negeri maritime-bahari memang layak kita disandang. Betapa tidak! Karena fakta geografis menunjukan demikian. Propinsi ini ditaburi ribuan pulau, dengan meminjam istilah orang Jawa pedalaman, negeri yang dikelilingi oleh danau asin-kolam garam (negeri perairan). Tak kurang dari 1470-an pulau yang dimiliki oleh Maluku Utara (laporan DPN R.I), dengan kurang-lebihi 76 persen dari total luas wilayahnya adalah lauatan (106.977,32 km2). Jumlah pulau yang ada ini mungkin merupakan yang terbanyak dari seluruh propinsi di Indonesia, dan dari sisi potensi sumber daya hayati kelautan yang dimilikinya merupakan bagian terbesar atau representasi dari negerinya “kolam susu”yang pernah ada di nusantara ini.
Sebagai bagian dari negerinya “kolam susu,” Maluku Utara memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya. Mulai dari perikanan pelagis besar, seperti tuna dan cakalang, perikanan pelagis kecil, perikanan domersal, ikan karang,-kerang (seperti kima, mutiara, lobster, teripang, bulu babi, dll), alga (rumput laut), udang, kepiting, dan sebagainya, sampai pada keunikan ekosistem pendukung yang merupakan rumah bagi kehidupan biota laut tersebut (seperti ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta ekosistem hutan pantai yang dikenal dengan bakau atau mangrove itu).
Belum lagi potensi budi daya laut yang bisa dikembangkan (budi daya rumput laut, lobster, ikan kakap, kerapu dan boronang dll), potensi budi daya air payau dan tambak (udang, kepiting bakau dan bandeng). Plus, jasa-jasa lingkungan pesisir dan keindahan-panorama alam bawah laut dari ribuan pulau-pulau kecil yang dimiliki oleh negeri ini yang bisa dijual sebagai asset wisata bahari). Dan masih banyak lagi sumber daya pesisir dan lautan lain yang belum teridentifikasi, yang bisa digenjot dan dimanfaatkan untuk masa depan negeri ini, kesejahteraan serta kemakmuran masyarakatnya. Didukung dengan peta demografis yang kurang lebih 90 persen penduduknya terdistribusi dan bermukim di kawasan pesisir dari pulau-pulau tersebut. Kondisi masyarakat Maluku Utara yang demikian menunjukan bahwa metabolisme ketergantungan ekologis dan ekonomi terhadap sumber daya pesisir dan laut, baik dari jasa-jasa lingkungan maupun sumber daya hayati yang tersedia merupakan sebuah konsekuensi logis (sangat besar), dan secara sosio-kultural, karakter masyarakat Maluku Utara sesungguhnya sudah sejak lama terbangun pada, dan dari sumber daya ini.
Dari fakta geografis, dengan besarnya “estimasi” potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki, serta dukungan masyarakat yang begitu besar ketergantungannya terhadap sumber daya ini, tidak berlebihan jika di era otonomisasi ini, harapan kita, Visi-Misi dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi Maluku Utara di arahkan ke sana (dari laut) dengan menjadikan sector Kelautan & Perikanan (KP) sebagai mascotnya (leading sector) pembangunan ekonomi Maluku Utara. Namun, meski lingkungan strategis sumber daya itu mendukung, dan ada jaminan-harapan bahwa negeri Maluku Utara akan makmur dan sejahtera, jika kita mampu mengelola dengan cerdas, dan memanfaatkan sebaik mungkin segenap potensi kekayaan sumber daya tersebut secara optimal dan berkelanjutan maka tidaklah mustahil, harapan itu adalah sebuah keniscayaan. Tapi, ternyata dukungan politik (polical will) maupun kebijakan pembangunan terhadap sector KP Maluku Utara serta masyarakat pesisir-nelayan sebagai pelaku utama di sector ini (antara legislative-eksekutif) masih jauh dari harapan. Bahkan, sumber daya dan pelaku utama pembangunan sector KP masih tetap saja dianaktirikan.
Komitmen dari mana negeri Maluku Utara akan dibangun, dan dari sumber daya alam berbasis local apa yang harus dijadikan prioritas pembangunan ekonomi di daerah ini semakin tidak jelas implementasinya. Apalagi di dalam dokumen perencenaan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Maluku Utara 2004-2007, sector KP yang konon ‘katanya’ merupakan visi Gubernur Makuku Utara ternyata hanya berada di bawah sector-sektor yang lain. Ketidak berpihakan pemerintah daerah dalam membangunan sector-sektor unggulan berbasis sumber daya alam local seperti pada sector KP ini semakin memperjelas ketidak berdayaan masyarakat pesisir-nelayan lokal dan keterpurukan kondisi sumber daya alam tersebut. Betapa tidak?!!!. Di satu sisi Maluku Utara bangga dengan luas dan besarnya potensi sumber daya kelauatan-perikanan yang dimilikinya, pada saat yang bersamaan masyarakat pesisir-nelayan local kita dibiarkan tumbuh bergelut dengan ketidak berdayaannya, terputus dan terisolasi secara geografis, serta ketiadaan akses teknologi yang tidak memadai. Data kemiskin dari sumber independen yang bisa dipercaya menunjukan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat Maluku Utara miskin, dan peresentasinya jauh lebih besar kepada mereka yang berada pada garis pesisir (masyarakat pesisir-nelayan). Padahal, masyarakat pesisir-nelayan punya akses sumber daya alam yang melimpah. Ironi lain yang sungguh-sungguh sangat mengecewakan adalah, ternyata sumber daya alam perikanan kita yang begitu melimpah lebih banyak dikuras habis oleh nelayan dari negeri lain. Ironis memang, tapi apa yang bisa diperbuat? Dan ketika sumber daya alam laut (ikanya) dijarah-dicuri oleh nelayan asing, mereka (para nelayan local kita) hanya bisa menjadi penonton di wilayah perairannya sendiri.
Maraknya kasus illegal fishing oleh nelayan asing, dan sederetan kegiatan perikanan lain yang tidak bertanggung-jawab (penggunaan bom dan pembiusan), selain jelas-jelas membunuh produktifitas nelayan local kita (semakin menurunnya produksi hasil tangkapan dari tahun-ke tahun), colapsnya dunia usaha perikanan, yang lebih mengkuatirkan lagi dari kegiatan illgal fishing tersebut adalah, adanya kecenderungan sumber daya perikanan utama di wilayah ini terancam habis. Gejala ini semakin jelas dengan ditandai semakin berkurang atau langkanya beberapa jenis ikan ekonomis penting di pasaran, dan ikan hasil tangkapan nelayan yang sudah mulai menunjukan ketidak sesuaian ukuran ikan yang layak tangkap. Jeritan kerugian meliyaran rupaih setiap tahun oleh beberapa Perusahaan Perikanan yang sudah lama eksis di daerah ini (seperti PT. Usaha Mina di Bacan), ancaman pemutusan hubungan kerja ratusan karyawan oleh PT. Bayatri dan Usaha Mina, serta ancaman utang-piutang yang tidak mampu dilunasi oleh nelayan plasma (nelayaan binaan perusahaan PT. Mitra Mas Cabang Ternate) adalah sederetan persoalan yang tidak habis pikir di tengah gencarnya semangat impotensi pemerintah daerah dalam merangsang dunia investasi di sektor KP.
Demikian juga Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi yang merupakan satu-satunya institusi yang diharapkan mampu menjembatani dan menjadi motor penggerak pembangunan sector KP di Maluku Utara terkesan tidak memiliki konsep yang jelas bagaimana seharusnya, dan tidak mempunyai komitmen yang kuat untuk membangun sector KP di Maluku Utara?. Padahal sebagai lembaga yang mempunyai otoritas penuh di sector KP, DKP Propinsi seharusnya mampu memformulasikan konsep-konsep strategis yang lebih efisien dan efektif yang pada gilirannya diharapkan mampu menjadi terobosan dan orientasi baru dalam menggerakan kegiatan ekonomi masyarakat local berbasis pada sumber daya alam ini.
Kemauan inilah yang nampaknya tidak dimiliki oleh Dinas KP Propinsi, sehingga berapa pun besarnya penggunaan anggaran - dana yang dikolah oleh Dinas tidak berdampak signifikan bagi perkembangan nelayan dan peningkatan kapasitas SDM nelayannya., termasuk nilai-kontribusi pada daerah (PAD) di sector ini. Idikator lain dari lemahnya komitmen Dinas K&P Propinsi Maluku Utara dalam mengusung visi besar DKP RI dapat di lihat dari tidak maksimalnya Dinas Propinsi dalam memberdayakan masyarakat pesisir-nelayannya. Terkait dengan pemberian paket bantuan misalnya, secara tehnis justru nelayan tidak bisa mengoperasikan armada tangkap yang diberikan. Proses diversifikasi yang kita harapkan bisa dijembatani sampai nelayan benar-benar berdaya, dan cerdas secara teknis, ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Nelayan hanya sekedar diberikan bantuan, tanpa adanya proses pendampingan. Bahkan ada beberapa kelompok nelayan yang mengeluhkan paket bantuannya tidak layak pakai. Belum lagi paket-paket bantuan lain yang dikemas dalam bentuk program, seperti program pengembangan budi daya laut, program rehabilitasi ekosistim pesisir (transplantasi karang-rehabilitasi hutan mangrove) dan lain sebagainya, hampir dapat dipastikan menuai kegagalan. Setelah dianalisis, problem yang sangat mendasar dari proses kegagalan ini terletak pada strategi pendekatannya. Artinya bahwa pendekatan dari hampir semua kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas K&P selama ini tidak berbasis science (program).
Meskipun demikan, Menurut saya, Kita belum terlambat untuk membangunan sector K&P di Maluku Utara. Asalkan ada dukungan politik dan sentuhan kebijakan pemerintah daerah yang benar-benar pro pada sector ini. Demikian juga nelayan dan semua pelaku utama (strake kholders) di bidang tersebut, secara sinergis harus mampu memainkan perannya sebagai subjek sekaligus menjadi instrument dalam rencana pengelolaan dan pemanfatannya, serta ikut berperan aktif dalam proses pengawasan pembangunan dan keberlanjutan sumber daya alam tersebut. Karena untuk mewujudkan Citra Propinsi Maluku Utara sebagai daerah kepulauan dan negeri “maritime”, (ia) butuh keseriusan semua pihak, keterlibatan semua stake holders, dan sentuhan kebijakan sebagai daerah maritime dengan kesadaran terintegral. Citra ini bisa terkukuhkan, manakala Visi-Misi dan strategi kebijakan pembangunan daerah di arahkan ke sana (dari laut). Tanpa itu, mustahil Propinsi Maluku Utara tidak akan pernah menjadi terdepan sebagai Negeri Bahari.
Memang tidak muda untuk merubah paradigma itu, akan tetapi sekali lagi, ke depan kita tidak memiliki pilihan lain, selain untuk mewujudkan Citra itu. Konsekuensi logis dari pencitraan ini, tentu ada pada sektor-sektor unggulan berbasis sumber daya alam local. Dan upaya untuk mewujudkannya tidak lain kecuali sector KP harus benar-benar menjadi skala prioritas bagi pembangunan ekonomi daerah. Hal ini akan berjalan maksimal jika semua sektor di belakangnya juga secara sinergis ikut serta membangun sektor unggulan tersebut. Untuk itu, Visi kebaharian harus diperbaharui! Dan komitmen untuk membangunannya, harus dipertegas dalam bentuk rencana strategis kebijakan pembangunan daerah, enta kemudian tertuang dalam bentuk Midle Term Programe (RPJM) atau Long term Programe (RPJA).
Persoalan kemudian adalah, bagaimana meyakinkan publik dan masyarakat politik di negeri ini bahwa laut sebagai masa depan Maluku Utara, menumbuhkan kembali optimisme serta keyakinan akan potensi KP dan keberadaan kita sebagai masyarakat pesisir dan negeri bahari sebagaimana yang sudah pernah ditunjukan oleh sejarah nenek moyang kita di negeri ini. Sehingga mereka memiliki konsep pemahaman yang sama dengan masyarakat KP tentang makna laut secara ekonomi, budaya, eklogis dan politik. Ini menjadi sangat penting artinya, karena selama ini persoalan kelautan dianggap hanya semata-mata kepentingan, atau persoalan nelayan dan bukan kepentingan atau persoalan kita bersama. Untuk itu, diharapkan para politisi pun menyadari, dan kemudian ikut ambil bagian dalam perjuangannya membangun sektor KP. Di sini, peran media masa juga sangat penting dalam membentuk opini publik. Karena selama ini laut masih dianggap belum punya nilai berita, sehingga masih sangat jarang menjadi topik utama pemberitaan media masa lokal.
Tampaknya inilah yang akan menjadi PR besar, sekaligus tantangan bagi calon pemimpin Gubernur Maluku Utara produk 2007. sungguh pun selama satu priode masa pemerintahan Gubernur di bawah kepemimpinan Taib Armain telah diupayakan pembangunan KP dengan Visi besarnya “Terdepan Sebagai Negeri Kepulauan Berbasis Sumber daya Alam Lokal”, tetapi itu baru merupakan pijakan dasar dan masih jauh dari hasil yang diharapkan. Apalagi Maluku Utara diperhadapkan dengan masa pemulihan pasca konflik, tentu lima tahun adalah waktu yang amat singkat untuk sebuah program membangun negeri Maluku Utara sebagai negeri bahari yang maju dan mandiri.
Untuk itu, menakar platform pasangan cagub dan wagub pada suksesi Maluku Utara 2007-2012 nanti boleh jadi harapan itu akan terlaksana, jika rana kebaharian dapat disentuh dan memancing kepedulian para kandidat. Hal ini bukan saja akan turut menguak pemahaman dan kepedulian publik pada bidang kebaharian, tetapi sekaligus meletakan dasar-dasar strategi kebijakan pembangunan sektor KP sebagai bagian dari proyek besar bagi masa depan pembangunan ekonomi Maluku Utara.
Dan, kalau Gubernur sekarang (Taib Armain) telah diberi gelar sebagai “Bapak rekonsiliasi dan Bapak pembangunan pasca konflik selama kepemimpinan lima tahunnya” maka Gubernur pada periode 2007-2012 nanti diharapkan mampu mengembalikan harkat dan citra Propinsi Maluku Utara sebagai negeri maritim-bahari, yang pada akhirnya seluruh komponen masyarakat di negeri ini secara tulus dapat memberikan gelar sebagai “Bapak Kemaritiman Maluku Utara”. Hanya persoalannya siapakah di antara para kandidat pemimpin Gubernur Maluku Utara 2007-2012 yang memiliki visi kemaritiman itu? Enta siapa dia? Kami, masyarakat perikanan Maluku Utara dan seluruh komponen pesisir di negeri ini tentu akan sangat merindukan kehadirannya!!!

No comments: