Sunday, September 23, 2007

MENCARI MAKNA DALAM IBADAH

Oleh: Asmar Hi. Daud

Apa yang menjadi ukuran keber-agama-an seseorang? Etika- Ahlaknya? Amal salehkah, ataukah keikhlasan? Banyak dari kita yang slalu berbuat baik menurut penilaian orang lain, tapi apakah pelaku kebaikan sendiri ikhlas pada perbuatan kebaikannya itu? Tidak sedikit juga manusia beramal saleh, tapi apakah ia juga ikhlas kepada perbuatan kesalehannya? Demikian juga, kadang kita ikhlas dalam berbuat kebajikan, tapi jarang kita beramal saleh! Etika adalah ahlak, dan moral adalah perbuatan kebajikan yang menjadi standar penilaian, apakah kita berbuat baik atau tidak menurut orang lain. Sedangkan keiklasan hanya dapat diukur dengan parameter batiniah pada diri yang berbuat kebaikan itu.
Inti keberagamaan kita sesungguhnya adalah ahlak, dan ibadah ritual yang ditetapkan dimaksudkan untuk mengantarkan kita kepada ketinggian ahlak itu. Ucapan Allahu Akbar dalam setiap gerakan shalat dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa hanya Tuhanlah yang besar. Lebih sering kita melakukan shalat, lebih terasa bahwa diri kita sangatlah kecil, hina dan rendah. Sebegitu rendahnya kita, sampai-sampai Nabi pernah menyebut dirinya dihadapan Tuhan sebagi sang Abid (hamba yang menghamba, budak yang mencari kebaikan, ridha, dan kasih sayang Tuannya).
Orang yang pasrah kepada Tuhan, tidak pernah mengklaim bahwa dia telah berbuat kebaikan. Kalaupun ternyata ada kebaikan dan amal saleh, segalah puji bagi Tuhan. Tuhan yang diberi kredit, dan Tuhan pulalah yang memberi kredit bagi jiwa yang ikhlas kepadaNya. Ucapan Allahu Akbar dimaksudkan untuk memupus egoisme dan kesombongan diri. Sebab yang sombong dalam sejarah Tuhan hanyalah Iblis, yaitu ketika ia menolak menghormati keutamaan dan kelebihan Adam yang diberikan Tuhan kepadanya. Kesombongan adalah dosa kesetanan, dan peringatan Nabi, tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat seberat atom dari perasaan sombong.
Oleh karena itu, ingat kepada Tuhan (bertasbi dan berzikir) dalam agama sebenarnya merupakan penyedaran bahwa kita hanyalah mahluk yang tidak punya harga apa-apa di Mata Tuhan, kecuali dengan pengakuanNya. Inilah yang menjadi pokok dalam agama, agama apapun namanya adalah kesediaan untuk menyesuaikan eksistensi diri di bawah cahaya kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup, yang berarti kesadaran untuk menjalani hidup dengan standar ahlak yang tinggi.
Bukankah setelah sebulan penuh sebagian dari kita menahan diri dari makan dan minum. Untuk apa? Tidak lain untuk mencapai, atau sampai pada penghayatan akan keberadaan kita yang paling dasar. Bahwa kita bukan seperti apa yang kita makan (Feuerbach). Jati diri kita bukan dari apa yang kita makan, minum, dan bukan dari apa yang kita pakai. Tetapi persis pada wilayah kebalikannya, yakni wilayah non-fisik dan spiritual. Fitrah kita bukan pada seberapa besar prestasi dan capaian materi serta kuasa yang ada ditangan kita, tetapi lebih kepada seberapa besar moralitas kita sebagai insan kepada sesama mahluk, dan seberapa dekat ketakwaan kita kepada Tuhan.
Ada persoalan moralitas di tengah pluralisme iman, sebaliknya!. Meski tidak sedikit orang menemukan norma moral tanpa harus dengan bantuan iman. Orang ateis misalnya, mereka tidak beragama, tapi moralnya luhur. Banyak juga orang yang tidak pernah menjalangkan ibadah-ibadah ritul meski mereka beragama, tapi mereka tidak pernah korup, berbuat jahat, atau tidak jujur. Ini berarti, orang yang beragama bukan jaminan niscaya akan elok moralnya. Ini pula berarti iman bukan sayarat mutlak psikologis buat moral. Lantas?, Kebingungan saya, dan juga mungkin anda. Persoalan mana yang kita nisbikan?. Padahal, dalam agama ada jalan keharusan dari iman ke etika. Dan Agama telah membuka ruang untuk itu. Karena antara iman dan persoalan moral diharapkan dapat berjalan bergandengan agar menjadi nyata bahwa etika - moralitas merupakan ungkapan iman keber-agama-an seseorang.
Barang siapa yang ibadah - shalatnya tidak mencegah pelakuknya dari perbuatan yang tidak bermoral (keji dan mungkar), maka sesungguhnya ibadah shalatnya hanya akan menempatkan dirinya lebih jauh lagi dari Tuhan. Sabda Nabi, puasa melati orang untuk mengendalikan hawa nafsunya, menundukan diri kepada Tuhannya, dan akkhirnya mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia.
Ibadah yang tampak khusuk, boleh jadi tidak menimbulkan transformasi spiritual. Kesemarakan ibadah di bulan Ramadhan tidak selamanya mencerminkan makin berkurangnya kerakusan mengumpulkan dan memupuk harta dan kekayaan. Kerajinan memelihara waktu shalat tidak dengan sendirinya menyebabkan kita mampu memelihara amanah. Hingga menjadi nyata Firman Tuhan, celakalah bagi orang-orang yang melakukan shalat, Aneh?
Lantas apa makna shalat, puasa dan atau ibadah ritual lainnya, jika semua yang kita lakukan hanya berhenti pada “bentuknya?”. Sungguh!, Tuhan tidak memperhatikan bentuk-bentuk kamu; kata Nabi, tetapi Tuhan hanya melihat jantung kamu. Lalu apa jantung ibadah itu?. Entah dalam agama apa yang memberi makna tentang ibadah, yang jelas dalam islam seluruh ibadah adalah mi’raj, yaitu menemui Tuhan dan kembali menemui umat manusia. Takbir dalam shalat menaikan kita ke langit, dan salam mengembalikan kita kembali ke bumi - kepada manusia.
Dalam filosofi muslim, bukan hanya manusia yang melakukan mi’raj, tetapi semua isi alam ini. Keinginan alam untuk kembali mencari Tuhan menyebabkan ada gerak berputar. Matahari berputar mengelilingi bima sakti, bumi mengelilingi sang surya, rembulan mengelilingi bumi dan sterusnya. Untuk kembali ke asal, manusia dan seisi jagat raya ini bergerak dan berputar mencari Tuhan “Innalillahi wainnailaihi rajiuun” (kita semua dari Tuhan, dan akan kembali menemui Tuhan).
Ibadah puasa yang baru saja kita selesaikan, Idul Fitri yang kemudian kita raih, Hari Kurban, Natal dan Tahun Baru yang akan kita jelang, mestinya menggugah kesadaran kita bahwa kita hanyalah homo viator (mahluk peziarah) di dunia yang fanah ini. Kita, mungkin tidak akan pernah berhenti dalam pencarian diri. Modernitas dan pencerahan budi boleh membuat kita merasa sudah menjadi akil balik, dan mampu menetapkan dan menerjemahkan makna hidup kita sendiri. Tetapi makna yang paling hakiki tidak akan pernah ditemukan dalam diri manusia, “sang pencari makna” itu sendiri. Kecuali, jika mungkin manusia telah melihat wajah Tuhan dalam kehidupan setelah kematiannya.
Dunia laksana sumur tanpa dasar, ketika ia kita jadikan sebagai focus pencarian makna hidup. Keluar dari diri, itulah yang harus kita lakukan. Dan bercermin pada kelahiran diri kita, serta pengorbanan yang sebisa mungkin kita lakukan atas dasar keikhlasan kita akan melihat diri kita kembali kepada fitrah kemanusiaanya. Hanif, dan cenderung kepada kebaikan itu. Sekali lagi, awal akan menjadi akhir yang baik dari seluruh rangkaian ibadah kita, jika kita benar-benar iklas. Karena puncak kebaikan dari seluruh ibadah sesungguhnya hanya terletak pada keihlasan. Dan hanya dengan keiklasan itu, manusia akan menemukan jalan menuju kasih Tuhan (manusia kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ridha (ihlas), dan Tuhan pun menyambut mereka dengan kasih sayang). Mereka iklas dan Tuhan pun ridha kepada mereka.

No comments: