Sunday, September 23, 2007

KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN MASA DEPAN MANUSIA

Oleh : Asmar hi. Daud
Dosen Fak. Perikan dan Ilmu Kelautan Unkhair Ternate

Bangunan peradaban yang kita bangun dan merupakan sesuatu yang kita banggakan sudah menjadi sedemikian rumit, tetapi ketika ia tumbuh kian rumit, kita makin merasa jauh dari akar kita di bumi. Di satu sisi, peradaban itu sendiri merupakan sebuah perjalanan dari dasar dari dunia alami ke dunia manufaktur terkendali dan terencana dengan rancangan tiruan dan congkat yang kita buat sendiri yang harus kita bayar dengan harga yang mahal. Pada titik yang lain kita telah kehilangan perasaan keterkaitan dengan bagian lain dari lingkungan di sekitar kita. Perespektif kita kian picik dalam hal lain pula. Kita seringkali tidak mau melihat sesuatu di luar diri sendiri untuk melihat dampak dari tindakan-tindakan kita saat ini terhadap alam dan generasi kita berikutnya.
Uniknya lagi, ketika kita diperhadapkan pada isu-isu tentang kerusakan lingkungan, anggapan kita seolah-olah ia (kerusakan lingkungan) hanyalah sesuatu yang kasat mata. Padahal, kerusakan lingkungan (invironmental refugees) bukanlah sesuatu yang abstarak. Sebab ketika petaka itu datang, ia tampil dengan berbagai wajah, bahkan dimensi-dimensi kerusakannya menampakan kengerian dengan berbagai pola. Kerusakan lingkungan juga tidak serta merta terjadi, dan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan banyak hal dan banyak kepentingan yang saling berkaitan.
Keterkaitan kita dengan alam dan dunia di sekeliling kita semakin tidak terelekan seiring dengan semakin menigkatnya laju populasi manusia yang kian tak terbendung. Dari 7 miliar dan diperkirakan meningkat menjadi 10,6 miliar pada tahun 2050 seakan menambah beban persoalan hubungan kompleksitas kita dengan alam dan lingkungan di sekitar kita. Mengapa?, Karena dahulu, sekarang, bahkan pada masa yang akan datang, kita tidak akan pernah bisa mengelak bahwa selama itu pemenuhan kebutuhan dasar kita dan generasi kita berikutnya sangat tergantung pada seberapa besar kapasitas sumber daya alam yang tersedia di dalamnya.
Konsekuensi logis dari ketergantungan kita terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan selama itu, hampir pasti kita tidak pernah memberikan kesempatan baginya untuk memulihkan diri. Meski alam punya cara dan kemampuan untuk hidup dan tetap mempertahankan eksistensi alamiahnya (memulihkan diri). Toh, sekali daya dukungnya terlampaui systemnya akan berubah. Dan perubahan itu benar-benar terjadi manakala tingkat ekstraksi dari tindakan kreatif kita terhadap alam jauh melebihi kapasitas daya dukungnya (carring capacity).
Empat system biologi yang dibangun dan tersusun atas hutan belantara, padang rumput, perikanan dan lahan pertanian yang ditenagai oleh sebuah proses yang dikenal dengan “fotosintesis” yang mendukung semua proses kehidupan di bumi, termauk 5,4 miliar anggota species kita juga terancam musnah. Hutan rimbah yang menjadi paru-paru bumi, kita ubah menjadi gundul tak manarik. Lebih dari 2,5 juta hektar hutan per tahun kita babat habis tanpa ganti. Kapasitas lahan pertanian menunjukan gejala penurunan yang dramatis (terjadinya krisis pangan di beberapa Negara di dunia), lebih dari ¼ sumber daya ikan (perikanan) kita musnahkan, pencemaran (udara, tanah, dan air), makin berkurangnya sumber air, semakin menipisnya sumber daya energi (khususnya minyak bumi) merupakan ancaman serius bagi masa depan umat manusia.
Sejak tahun 1980 hingga tahun 2000 pemerosatan bumi dan perubahan-perubahan atmosfer juga berlangsung dengan kecepatan yang meresahkan. Alam mulai menunjukan ketidak seimbangannya sejak permulaan tahun itu. Dan manusia yang secara biologis menempati posisi puncak piramida ekologis dalam rantai makanan yang paling atas semakin mengukuhkan keabsahan eksistensialnya sebagai penguasa (khalifah) di bumi untuk menghancurkan ekosistem di alam ini.
Organisasi alam yang begitu kompleks dirancang dalam keteraturannya, dan bumi sebagai bola kehidupan, planet yang unik, satu-satunya alasan di mana kehidupan dapat ditemukan telah menunjukan gejala kematian secara terstruktur. Kekuatiran banyak orang, dan sudah menjadi kegelisahan kita semua, bahwa bumi akan kiamat kian mendekat telah menjadi fakta. Hanya dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, kita dikejutkan dengan berbagai peristiwa alam yang mengerihkan. Gempa bumi, banjir, tanah longsor, kekeringan, abrasi, fenomena El-Nina dan la-Nina, serta gelombang tsunami yang menghantam berbagai belahan bumi kita, menghancurkan peradaban yang dengan susah payah dibangun, dan menewaskan ribuan jiwa manusia dalam waktu hanya sekejab mata. Hal ini merupakan bukti bahwa secara alamiah, alam telah menunjukan keengganannya untuk bersahabat dengan kita, dan bumi sudah tidak mampu lagi menahan jeritan dalam memenuhi kesarakahan umat manusia.
Pada tingkat yang lebih ekstrim, tanda-tanda kemerosotan alam itu bahkan lebih merisaukan, dan proses-proses yang menyebabkannya, kata Lester R. Brown sangat sulit untuk dibalikan, apalagi dikendalikan!. Pada tahun 1991 saja, oleh Badan Aeronautika dan Ruang Angkasa Amerika Serikat (NASA) memperlihatkan bahwa lapisan ozon sebagai pelindung bumi telah menipis dengan kecepatan dua kali lebih cepat dari yang dibayangkan oleh para ilmuan. Bagaimana tidak?, kalau lebih dari 6 miliar ton CFC (Chlorofluorocarbon) kita tumpahkan ke atmosfer tanpa disadari sejak kita mengenal - menciptakan teknologi, mesin- mesin industri dan cerobong-cerobong peradaban yang kita banggakan itu.
Para ilmuan pun yakin bahwa di Amerika Serikat saja akan terjadi 200.000 kematian tambahan karena kanker kulit selama 50 tahun yang akan datang. Belum lagi kematian yang terjadi di negara-negara lain oleh sebab yang sama. Dr R.K. Pachauri, Chairman dari komisi PBB untuk perubahan iklim (Intergovermental Panel on Climate Change/IPCC), misalnya telah mempridiksi bahwa pada tahun 2050 diperkirakan 150 juta orang akan menjadi pengungsi akibat dari kerusakan lingkungan. Perubahan iklim ini menurutnya, akan mengundang berbagai penderitaan bagi umat manusia. Pachauri kemudian memberi contoh konkrit bahwa akibat dari perubahan iklim yang tidak teratur tersebut, 60 juta orang India harus mengungsi, Mesir harus kehilangan 12 hingga 15 wilayah suburnya. Total 15 juta orang harus berpindah. Perubahan cuaca yang tak menentu, gelombang panas yang mendera Andra Pradesh pada tahun 2003 menyebabkan kematian lebih dari 1.500 orang. Pada tahun yang sama diketahui 5000 orang meninggal di Prancis akibat suhu udara yang luar biasa panasnya. Juga tempratur di Inggris bahkan mencapai 37,9 derajat Celcius, sebuah rekor/prestasi tertinggi dalam sejarah mereka (Inggris). Demikian juga di Jerman, suhu di sungai Rhine tercatat hingga 40 derajat Celcius dan menyerang hingga mati 30 ribu ekor belut.
Pada kasus yang lain, akibat dari pemanasan global dan menipisnya lapisan penyangga bumi (atmosfer) ini, Es di kutub yang semulah dianggap abadi berhasil kita cairkan lebih dari 300 juta ton sejak tahun 1960-an. Akibat dari mencairnya es di kutub ini, salinitas (kadar garam) di perairan sekitar menurun secara drastis, volume air laut kian hari kian meningkat. Bahkan diperkirakan 15 - 90 cm per tahun akan menghantam - menenggelamkan sebagian besar daratan pesisir pulau-pulau di berbagai belahan bumi kita. Suatu hal yang sangat mengkuatirkan bagi negara-negara kota pantai di dunia. Meningkatnya volume permukaan air laut ini tidak sekedar fenomena, Bangladesh misalnya. Negara ini harus relah kehilangan 7 persen dari wilayahnya karena tenggelam, dan memaksa 15 juta orang harus berpindah pemukiman. Hal serupa juga terjadi di negeri kita ini, ada sebagian wilayah pesisir dari pulau-pulau besar dan kecil kita yang telah terabrasi bahkan terancam tenggelam.
Wajah bumi, masalah lingkungan hidup, krisis sumber daya alam yang kita hadapi dan yang kita rasakan saat ini, tentu tidak hanya dapat digambarkan dengan tingkat deforestasi semata, atau fenomena lain yang secara fisikal dapat di lihat dan atau dapat dijelaskan secara oral, kualitatif atau kuantitatif sebagaimana yang dijelaskan di atas. Tetapi dibalik semua itu, kita sedang mengahadapi sebuah kehancuran yang secara sistematis, sengaja kita rancang sendiri, tanpa kita sadari telah menempatkan kita dan generasi kita pada resiko yang sangat besar di masa yang akan datang.
Ibarat sebuah mesin, makin lama ia dipaksa untuk bekerja, makin banyak energi yang dikeluarkan, makin aus komponen-komponen penyusunnya, dan ahirnya hancur. Mobil apa saja, Baik BMW, CAMRY, VOLVO atau sejenis kijang buatan Jepang, akan berkurang kenerjanya lantaran waktu. Jika alam semesta ini diibaratkan sebuah mesin raksasa maka akan mengalami nasip seperti mobil. Makin lama dikuras, makin habis energi dan sumber dayanya. Dan tak ada yang dapat mengubahnya kecuali menghancurkan. Tak perlu ribuan tahun, alam semesta akan berhenti pada suatu keadaan, yang disebut Peter Coveney dan Roger Highfield sebagai saat ketika entropi dan keacakan mencapai tingkat paling tinggi, saat semua kehidupan berakhir. Jika demikian, siapakah yang merancang kiamat atas alam ini? Apakah manusia dengan keserakan dan kepongahannya sendiri, ataukah memang sentuhan kecerdasan Tuhan?

No comments: