Sunday, September 23, 2007

“PENDOSA MODEREN DAN KEPRIBADIAN MAYAT

(Mereduksi Kembali Fitrah dan Keragaman Kita)
Asmar Hi. Daud

Staphen R. Covey, dalam bukunya “The Seven Habits of Higly Efectif People” atau dalam edisi Indonesia berjudul “Tujuh kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif”, mengulas tuntas tentang keutamaan sifat dasar manusia (character etic) dan membedakannya dengan personal etic atau etika kepribadian.
Caracter etik yang dimaksud Covey adalah nilai-nilai yang secara tradisional-universal dapat diterima sebagai kebaikan. Di antaranya ialah kejujuran - kerendahan hati,- kesetiaan,-pengendalian diri, ‘keberanian,’-keadilan-kesabaran,-keuletan,-kesederhanaan,-dan kesopanan. Sifat-sifat tersebut menurutnya sebagai prinsip dasar dalam kehidupan yang sangat efektif yang harus ditanamkan jauh ke dalam batin.
Sebagai simpul dari nilai-nilai tersebut, Covey menyebutkan tujuh kebiasaan yang diyakini dapat mengantarkan kesuksesan manusia secara utuh. Yaitu; sukses spiritual - moral,– mental,–fisik,- dan social. Tujuah kebiasaan itu adalah proaktif – senantiasa berfikir ketujuan masa depan – mendahulukan yang utama (first think first),– berfikir menang-menang,– berusaha mengerti baru dimengerti,– menciptakan senerja,– dan terus belajar sambil memperbaharui komitmen.
Sementara personal etic menurut Covey adalah kecenderungan sikap dan perilaku yang terlampauh mengutamakan penampilan. Tipe manusia seperti ini, berupaya tersenyum dan memperhatikan orang lain hanya sebagai sikap basa-basi, manipulatif, munafik, tidak berakibat langgeng, tidak menyenangkan, dan tidak membahagiakan. Inilah trend manusia modern dalam perspektif personal etiknya. Ciri manusia seperti ini, berusaha keras menguasai cara tersenyum dengan baik dan berpenampilan yang menarik tapi tidak mengerti kapan dan dari mana senyum dan penampilan itu lahir.
Dari siniberawal manusia kehilangan jati diri atau nilai kemanusiaannya. Padahal jati diri adalah identitas – fitrah – sekaligus cermin dalam bersikap, dan tindakan kita dalam berperilaku. Dalam filosofi hikmah, identitas adalah cermin yang dapat memantulkan apa dan siapa kita. Dan fitrah adalah potensi untuk berevolusi menuju ketinggian, keluhuran dan kesempurnaan. Identitas sesungguhnya adalah pantulan aura itu, dan fitrah adalah ciri khas manusia. Sayangnya, kita sendiri yang mendistorsi fitrah kita sendiri. Dan karena kita sudah kehilangan identitas kemanusiaan kita maka tidak ada lagi ruang yang tepat untuk mendialogkan apa yang kita kenal dengan kejujuran, kebenaran, keadilan, emosi, moral, cinta dan spritualitas. Meski ada ruang untuk itu, cermin yang kita gunakan tidak lagi membiaskan wajah-wajah kita yang sesungguhnya, kenapa? “Karena kita, kata Djalaludin Rumi, tidak lagi bisa menjadi cermin bagi diri kita sendiri”.
Dalam dunia yang syarat dengan kompitisi, kita sering kali tidak mau menerima kemenangan dan kelebihan orang lain sebagai prestasi yang harus dihargai dan dihormati. Falsafah win/lose sudah tidak lagi menjadi hal yang biasa yang dapat diterima dengan besar hati, tapi sudah menjadi sesuatu yang luar biasa. Tak ada persaingan yang sehat yang dapat melahirkan prestasi keadilan. Saingan-lawan atau apapun namanya, tidak hanya dikalahkan (ditunduhkan), lebih dari itu adalah musuh yang harus disingkirkan. Jatuhkan kehormatan lawan atau siapa saja yang kita anggap sebagai musuh dengan memberikan gelar-gelar dan sebutan-sebutan buruk.
Agar membuat orang lain tetap percaya, kita pakai bahasa yang paling santun. Jangan sebut mereka islam ekstrim, teroris, Kafir atau Yahudi. Tapi sebut saja mereka dulu pengisap darah, dari kasta rendahan! Kita zalimi yang namanya perbedaan, memaksakan satu versi keberagaman dan mengeliminasi keragaman, seolah di dunia ini hanya kita yang paling hebat, paling benar, paling baik dan paling suci. Dengan itu pula, kita memonopoli jalan menuju Tuhan.
Inilah kita! Sebabnya? Karena nilai-nilai kemanusian yang universal yang seharusnya diterima sebagai kebaikan, direduksi oleh personal etik kita yang keliru. Bukan tampilan identitas dan fitrah kita yang sesungguhnya. Yang akhirnya menjadi penyakit keburukan - penyakit social. Sebuah penyakit yang dalam bahasa Qur’an disebut dengan al-Ikhsan’du (penyakit hati) alias dengki - iri hati. Kecenderungan yang mengedepankan sikap dan perilaku serta jiwa yang sakit ini, oleh sosiolog Lyman memberi cap sebagai “pendosa moderen”.
Dahulu “mungkin” para sosiolog tidak peduli pada apa yang disebut dengan baik dan buruk. Konon mereka hanya percaya-peduli pada kebenaran. Sebab dahulu kata para sosiolog, pelaku dosa adalah mahluk yang aneh, devian, dan berbicara dengan lidah-lidah Iblis. Sekarang para sosiolog baru percaya bahwa sebenarnya pendosa moderen adalah mahluk normal, orang kebanyakan dan sangat spesialis. Ciri pendosa moderen lanjut Lyman, adalah berbicara dengan bahasa monoton, impersonal, sangat tehnis, tanpa perasaan dan ikatan moral. Dalam cacatannya History and Spirit, Covel kemudian mencermati kehidupan dunia moderen ini yang disebutnya sebagai “dunia tanpa ruh”. Kata-kata Covel ini kemudian disempurnakan oleh seorang Phsykiater terkenal Laing, dengan menyebut dunia moderen sebagai dunia yang gila “Dalam dunia yang sudah gila ini, katanya; yang normal hanyalah orang gila itu sendiri”.
Eric From kemudian menganalogikan manusia moderen dengan istilah “Nekrofil Personality” kepribadian mayat”. Seperti mayat, manusia moderen sudah kehilangan perasaan, tidak ada lagi yang namanya pertimbangan moral, empati positif dan tidak ada sesuatu yang mengharukan (emotif). Kita hanya bisa menyaksikan penderitaan orang lain di sekitar kita tanpa rasa simpatik. Sedemikian hampa hidup kita, kosong, tanpa rasa, olehnya tanpa nilai. Untuk mengatasi kehampaan hidup akibat mati rasa, kita mencari hiburan, tetapi hiburan hanya membuat kita menjadi “cheerful robots”.
Kebudayaan yang seharusnya menjadi nilai-nilai dasar dan instrument untuk mendewasakan filosofi kemanusiaan kita, justru kita ditegakan di atas lelucon dengan tawa tanpa makna. Dalam bahasa Nietzhe, harapan terpasung di atas optimisme tragis. Kita tenggelam dalam budaya apolonia, mengejar-ngejar kesenangan yang menyedihkan, dan mendewakan kegersangan intelektual di atas perhitungan untung-rugi.
Jadi apa yang sesungguhnya menjadi penyebab segala dosa manusia? Bisa jadi, karena kita sudah kehilangan keakraban hubungan manusiawi, kata Djalaludin Rumi. Manusia moderen hanya bisa melakukan sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri, materailistik dan sangat individual. Tak ada lagi prinsip “altruisme” yang bisa ditegakan, yang ada hanyalah egoisme. Goerge Santayana menyimpulkan motif kebaikan manusia modern dengan pandangannya yang singkat, “bahwa dorongan untuk berbuat baik hanyalah kesenangan yang menipu diri.....tapi coba galilah sedikit di bawah permukaan, anda akan menemukan manusia yang rakus, berhati kakus, dan benar-benar mementingkan diri sendiri”. Jeremy Bentham, bercerita tentang manusia yang perilakunya hanya dikendalikan oleh prinsip mengejar kesenangan sendiri.
Prinsip egoisme ini yang kemudian melatari lahirnya teori ekonomi. Denis Mueller menulis, satu-satunya asumsi yang mendasari ilmu perilaku manusia yang deskriptif dan prediktif adalah egoisme. Para ekonom, mengambil homo ecomomicus dari biologi. Dalam ekologi system, di alam mahluk berebut hidup. Seluruh mekanisme evolusi dimaksudkan untuk membelah kepentingan diri. Tidak ada tindakan yang dapat menguntungkan pihak lain, kata para biolog. Hanya yang kuatlah yang akan menang. Hukum marga satwa ini kemudian diadopsi oleh manusia. Dalam realitas kehidupan, berlaku prinsip “Homo Homini Lupus” Manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain. Kerakusan mengeksploitasi dan kebiasaan memangsa yang lemah sudah menjadi tradisi klasik dalam drama kepiluhan kehidupan kita sehari-hari.
Inilah fakta peradaban yang dibangun di atas fondasi tanpa roh (jiwa yang keropos) dilakoni oleh manusia-manusia yang lagi-lagi dalam bahasa Eric From berkepribadian mayat. Benarkah manusia itu pada dasarnya jahat, karena kita bagian dari binatang itu? Ataukah kita ada untuk mengendalikan kejahatan? Mana yang benar? Rujukan apa yang kita pakai? Mengapa manusia harus saling memangsa manusia? Apakah ini sudah menjadi hukum alam? Entalah!
Berawal dari jalan pikiran kita yang naïf, dunia pun kita bagi menjadi dua. Ada golongan putih dan golongan hitam. Ada kelompok kita, dan kelompok mereka. Seperti film, kejadian di dunia harus dijelaskan dengan pertempuran “yang punya lakon” yakni kita yang punya kekuatan dan kekuasaan. Dengan kefasihan bicara, kita tanamkan fanatisme yang berbau doktrin (ras agama dan suku seolah menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Itu pula yang membedakan manusia satu dengan yang lain, dengan itu pula kita sering menjustifikasi diri dan kelompok kita). Ala Hitler yang berhasil menyihir jutaan akal manusia untuk menjadikan kepongan sebagai idiologi, dan berhasil menciptkan robot-robot bag bulduzer yang siap mati hanya untuk membelah Ras Aria. Jutaan orang Yahudi dibantai, ribuan muslim bosnia digiring ke dalam lubang-lubang mayat yang memang sudah disiapkan. Ratusan tubuh tak berdosa terbengkalai kita saksikan, dan jeritan kemanusiaan tidak lagi asing ditelinga kita, untuk siapa dan atas nama apa?. Tindakan ini kemudian menjadikan agama, meminjam ungkapan Kimball dalam When Religion Becomes Evil (2002), sebagai kejahatan dalam bentuk yang seutuhnya. Agama menjadi corrupted religion yang carakternya selain klaim kebenaran yang absolute, kepanutan yang membuta, dan deklerasi “perang suci” juga cenderung menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Watak terakhir ini mengantar penganutnya pada aneka tindakan yang sering merugikan pihak lain. Lalu di mana manusia harus memposisikan firman Tuhan atas keragaman dan keberagamaan yang diciptakan itu?.
Keragaman dan keberagama-an lagi-lagi dibebani aneka kepentingan, diletakan dalam kerangka klaim kebenaran yang hanya merujuk ke dalam kelompok dan golongan sendiri. Keberkahan yang sebenarnya milik semua orang, lintas keregaman dan keberagamaan ternyata di justifikasi milik satu kelompok atau golongan saja. Islam, dengan demikian gagal mengembang misi “universal” “Rahmatan Lil Alamin”.
Kenapa kita tidak beribada dengan baik? Dan beramal dengan ikhlas? Bukankah Fitrah manusia itu cenderung hanif kepada kebaikan? Lupakah kita pada pesan al-Qur’an yang mengajarkan kepada kita tentang makna kebersamaan hidup? Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Tuhanmu, menjadi saksi-saksi keadilan. Dan Janganlah karena kebencian kamu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil…Berlaku adillah, sesungguhnya keadilalan itu mendekatkan kamu kepada Tuhanmu (taqwa) (QS 5:8). Dalam kehidupan social dan keagamaan semua orang harus diapandang sebagai mitra dalam kafilah menuju Tuhan…..Dan berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan…dan hendaklah kamu saling membantu dalam kebaikan itu (QS 5:2). Dalam konteks keragaman, bukan menjadi halangan bagi sikap untuk menghormati martabat manusia. Islam mengakui dan menghormati segala bentuk pluralisme sebagai fakta sejarah yang tidak perlu dirisaukan. Di sini, Tuhan mengingatkan …dan di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasamu dan perbedaan warna kulitmu…dan setiap kelompok di antara kamu telah kami tetapkan shiraathnya, yaitu suatu jalan menuju kebenaran, dan cara menuju kebenaran itu.
Dalam sosilogi semua agama, ternyata bahwa manusia itu lebih cenderung berbuat baik. Oleh karena itu, secara phsykologi ternyata manusia akan menjadi lebih sehat jika selalu berbuat kebajikan. Menurut Maslow, salah satu fitrah manusia ialah kecenderungan untuk mengetahui dan diketahui, selanjutnya mencintai dan dicintai, serta menyayangi dan disayangi. Tanpa itu, Manusia tidak akan bisa hidup sehat. Jauh sebelum pernyataan Maslow ditulis, pernyataan Tuhan sudah tercatat dalam kitabNya. Dalam salah satu haditz Qudzi Tuhan berkata; Aku adalah pembendaharaan tersembunyi-zat tersembunyi-materi tersembunyi, Aku mencinta maka Aku mencipta, dan karena cinta Aku ingin diketahui. Itu artinya kehidupan ini ada (tercipta) karena atas dasar cinta, dan dengan cinta pula Tuhan menginginkan agar diriNya dan kehidupan ini diketahui. Dan hubungan harmonisasi manusia dengan Tuhan bisa terjalin dan tercapai, jika sebelumnya hubungan harmonisasi di antara sesama manusia telah terjalin dengan baik. Dengan cinta dan kasih sayang, di sana pasti akan bertahta kesetiaan, menghargai kejujuran, memperjuangkan kebenaran, berlaku adil, merendah hati, mengenali dan mengendalikan diri, berani dalam bertindak, sabar dalam ujian, ulet dalam bekerja, sederhana dalam hidup, dan menghormati kesopanan.
Olehnya itu, jikalau kita hendak sukses secara fisik-sosial moral dan spiritual, serta ingin hidup bahagia maka jadilah pribadi-manusia yang baik dalam saling ketergantungan demikan Staphen R. Covay menasehati. Berperilaku alamia (kembali kepada fitrah) dan berbuat baiklah, kita pasti juga akan disebut manusia, dan akan menjadi manusia yang manusiawi (Being a Man)!!!!.

No comments: